Headlines
Loading...


Oleh. NS. Rahayu

Di Indonesia bulan Suro dianggap bulan yang sakral, apalagi pada malam 1 Suro. Satu hari yang dianggap malam istimewa karena ada nuansa mistis dan keramat sekaligus dianggap penuh keberkahan nan sakral. Momen ini biasa digunakan para pecinta barang-barang mistik [antik] yang dianggap keramat untuk dilakukan ritual. 

Tidak dimungkiri sebagian masyarakat Jawa masih mempercayai bahwa malam satu Suro memang malam istimewa. Bahkan berbagai daerah banyak melakukan tradisi memperingati Tahun Baru Jawa sekaligus Islam ini.

Dilansir dari Pacitanku.com [30 Juli 2022] bahwa dalam rangka menyambut Tahun Baru Islam Muharram 1444 H / 2022 M yang bertepatan dengan hitungan kalender Jawa 1 Sura, maka himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Pantai Teleng Pacitan menggelar acara Festival Nelayan.
Acaranya dengan menggelar tasyakuran sedekah laut, dihadiri oleh tokoh masyarakat dan Bupati Pacitan Indrata Nur Bayuaji. Diawali tasyakuran sedekah laut dengan sholawat dan mahalul qiyam, berikut tausyiah oleh ketua MUI Pacitan Abdullah Sajad serta doa bersama. Hingga puncak acara  kirab tumpeng (buceng) dengan 3 buceng utama yakni Buceng Bebrayan, Buceng Suci serta Buceng Gedhe.

Festival-festival seperti ini sudah sangat sering dilakukan dan dianggab lumrah, karena telah dianggap menjadi bagian dari kearifan lokal [budaya] yang patut untuk dilestarikan. Dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi magnet wisata ditengah masyarakat yang mayoritas beragama Islam. 

Festival yang memadukan antara kejawen dan Islam adalah pencampuran antara budaya dengan agama merupakan sinkretisme. Makna sinkretisme dalam kamus KBBI adalah paham (aliran) baru yang merupakan perpaduan dari beberapa paham (aliran) yang berbeda untuk mencari keserasian, keseimbangan, dan sebagainya.

Tak terasa paham sinkretisme masuk dengan sangat halus hingga muslim menganggap bahwa itu menjadi bagian dari agama dan tidak bertentangan dengan agama. Jika ditelisik lebih mendalam acara-acara festival ‘suran’ sangat kental moderasi beragama [cara pandang dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem]. 

Umat perlahan diajak untuk moderat [jalan tengah] yaitu bisa menerima ajaran lainnya dengan kemasan acara-acara bernuansa kearifan lokal, jelas hal ini membahayakan akidah umat. 

Moderasi di Balik Kearifan Lokal

Islam memiliki tolok ukur berbeda tentang budaya dari buah pemikiran manusia. Jika tidak bertentangan dengan Islam, maka boleh menambilnya. Namun jika bertentangan, maka haram mengambil dan menerapkannya. 

Festival nelayan dalam rangka ’suran’ yang sering diadakan dengan memadukan antara budaya kejawen dengan Islam. Satu acara yang dikemas sedemikian rupa sehingga seolah-olah itu islami dan tidak bertentangan dengan Islam.

Dalam Islam sudah jelas, antara kaidah relasi Islam dan budaya lokal. Islam adalah standarnya, sedangkan budaya lokal adalah objek yang distandarkan. Jadi, budaya lokal musti sesuai dengan Islam. Sedang dalam moderasi justru memosisikan budaya lokal sebagai standar.

Dan Allah telah memberikan standart aturannya, sebagaimana dalam firman-Nya :
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa” [QS Al Babaqarah : 2

Moderasi bertentangan dalam Islam! Moderasi menempatkan Islam menjadi objek yang distandarkan, Islam harus tunduk dan kalah di bawah budaya lokal. Ini cara berpikir yang keliru dan rusak. Naudzubillahi min dzalik.
Inilah salah satu bahaya yang harus umat pahami. Atas nama moderasi beragama, keyakinan pada ajaran agama dan ketaatan pada syariatnya harus tunduk dengan budaya lokal. Umat dipaksa membiarkan sesuatu yang bertentangan dengan agamanya. Moderasi bak jebakan. Jadi harus berhati-hati dengan jebakan ini. Umat Islam sedang digiring untuk sedikit demi sedikit menjauh dari syariat Islam dengan mengatasnamakan budaya lokal yang dibungkus rapi dalam kemasan moderasi beragama. 

Sementara jika adat/budaya tidak bertentangan dengan akidah dan hukum Islam, boleh saja untuk kita ambil dan amalkan. Sebaliknya, adat/budaya yang bertentangan dengan Islam dan/atau lahir dari akidah serta hukum non-Islam, Allah Swt melarang kaum muslim untuk mengambil maupun menerapkannya. 
Tugas negaralah untuk memberikan benteng pada akidah umat dari budaya-budaya yang berseberangan dengan Islam. Dan hal ini hanya bisa terwujud ketika aturan Allah Swt dijadikan sebagai sistem dalam kehidupan secara menyeluruh. Wallahualam bissawab. 
Ngawi, 10 Agustus 2022

Baca juga:

0 Comments: