Headlines
Loading...
Oleh : Yuliati Sugiono

Kami meninggalkan Surabaya tepat pukul 14.00 siang. Rada telat sih karena harus datang diacara syukuran rumah baru mas ipar di Menganti. Baru setelah itu berangkat ke Lumajang untuk menjemput Sinan liburan pondok. 

Tiba di pondok sudah jelang Maghrib, otomatis kami harus bermalam di Lumajang karena tidak mungkin langsung menuju air terjun Tumpak Sewu dalam kondisi gelap. Alhamdulillah setelah searching sana sini, dapatlah homestay murah : Wallet.

Pemiliknya seorang master pendidikan. Sepertinya ini bisnis keluarga karena karyawan yang mengurusi homestay ya anak mantunya sendiri.

Kami menginap semalam saja, setelah sarapan yang disediakan homestay,  langsung berangkat ke Pronojiwo, nama kecamatan dimana Tumpak Sewu berada.

Setelah perjalanan selama dua jam, sampailah kami di lokasi. Ternyata air terjun ini terletak di perbatasan antara Lumajang dan Malang. Dengan jalan yang semakin menanjak, semakin sejuk udara semakin hijau pemandangan. Kami berempat disambut ramah salah satu petugas yang menjelaskan tentang savety treking menuju air terjun.

Pertama kami melihat view Tumpak Sewu atau disebut juga Coban Sewu dari atas. Masyaallah kawasan ini terdapat dua belas air terjun yang menyembul dari balik lembah. Terjun bebas dengan ketinggian 800 meter dengan derasnya. Putihnya air beradu dengan hijaunya lembah sungguh memanjakan mata. Tak jemu jemu mata memandang, benar benar breathtaking. Sungguh lukisan yang sangat indah, ciptaan Yang Maha Kuasa. 

Selanjutnya kami treking menuruni lembah yang sangat curam menuju dasar air terjun. Jalan yang harus dilalui sepanjang satu kilometer curam menurun ke bawah. Lebar jalan hanya semeter. Kadang kondisi tanah licin, untung di kanan kiri ada pagar, jadi bisa untuk pegangan agar tidak jatuh.

Yang menegangkan ternyata di tengah perjalanan, kami harus melewati jalan yang dialiri air terjun dengan kemiringan lima puluh derajat. Wow.. betul betul memacu adrenalin.   
Tapi disinilah moment yang paling berkesan. Kami melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana air-air itu mengalir muncul dari bebatuan. Sangat deras meluncur ke bawah. Kemudian mengalir membentuk sungai jernih yang sangat berlimpah. 

Seketika kami teringat dengan firman Allah di surat Al-Baqarah : 74.

ثُمَّ قَسَتْ قُلُوْبُكُمْ مِّنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ اَوْ اَشَدُّ قَسْوَةً ۗ وَاِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الْاَنْهٰرُ ۗ وَاِنَّ مِنْهَا لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الْمَاۤءُ ۗوَاِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللّٰهِ ۗوَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ

Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras, sehingga (hatimu) seperti batu, bahkan lebih keras. Padahal dari batu-batu itu pasti ada sungai-sungai yang (airnya) memancar daripadanya. Ada pula yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya. Dan ada pula yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah. Dan Allah tidaklah lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.

Maha benar Allah dengan segala firman-Nya. Air meluncur jatuh karena takut kepada Allah, penciptanya. Bagaimana dengan kita manusia? Tak adakah rasa takut ? Berani mengatakan bahwa Islam belum sempurna karena tidak ada yang sempurna di dunia ini. Berani mengatakan semua agama benar. 
Berani membuat peraturan yang bisa melegalkan seks bebas. 
Berani mengotak-atik hukum dengan rekontekstualisasi fikih. 
Berani mengkriminalisasi para ulama. Berani memenjarakan ulama. 

Berani .... berani...berani...
Berani tanda hati keras membatu bahkan lebih keras. Padahal dari batu ada sungai yang airnya memancar, bahkan terjun karena takut kepada Allah.

Setelah puas ngadem, kami lanjutkan perjalanan ke dasar air terjun. Masih setengah perjalanan lagi dari air terjun yang sudah dilewati. Jalan semakin menurun curam, napas semakin tersengal-sengal menahan beban tubuh. Semua terbayar ketika sudah di pos terakhir. Buliran-buliran air halus dari air terjun menyemprot keseluruh area. Sensasinya seperti kispray raksasa.

Kembali kami terpesona dengan kekuasaan Allah melalui ciptaanNya. Terasa diri kecil dihadapanNya.
Ahh.. untuk urusan ketakwaan sepertinya kami harus belajar kepada : Tumpak Sewu!!


Baca juga:

0 Comments: