Headlines
Loading...
Akankah Perubahan Pola Seleksi Masuk Kampus Bisa Membawa Perbaikan?

Akankah Perubahan Pola Seleksi Masuk Kampus Bisa Membawa Perbaikan?

Oleh Yuli Ummu Raihan
Penggiat Literasi

Tes mata pelajaran atau Tes Kemampuan Akademik (TKA) di Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) akan dihapus karena dinilai sangat membebani peserta didik maupun guru. 

Kualitas pembelajaran dinilai turun ketika ujian dilakukan dengan banyak materi dari beragam mata pelajaran. Kondisi ini menjadi beban sehingga membuat para siswa harus mengikuti pembelajaran tambahan, melalui les privat atau bimbingan belajar (bimbel) secara mandiri. 

Rencananya, Tes Kemampuan Akademik (TKA) di SBMPTN akan diganti dengan tiga seleksi yaitu berdasarkan prestasi dan tes secara nasional, dan seleksi langsung oleh PTN. Seleksi masuk PTN akan lebih difokuskan pada pengukuran kemampuan penalaran dan pemecahan masalah. Seleksi berdasarkan tes hanya diukur dari empat hal, yaitu potensi kognitif, penalaran matematika, literasi dalam bahasa Indonesia, dan literasi dalam bahasa Inggris. 

Seleksi secara mandiri akan lebih transparan dengan mewajibkan PTN melakukan beberapa hal sebelum dan setelah pelaksanaan seleksi mandiri. Yaitu mengumumkan jumlah calon mahasiswa yang akan diterima di masing-masing program studi/fakultas, metode penilaian, kerja sama tes melalui konsorsium perguruan tinggi, dan besaran biaya yang dibebankan bagi calon mahasiswa yang lulus. 

Perubahan skema seleksi masuk PTN ini dinilai memiliki sisi positif dan negatif. Positifnya, aturan baru ini akan membuat siswa terlatih berpikir kritis dan menggunakan nalar. Jadi tidak perlu repot lagi ikut bimbel atau les tambahan. Perubahan ini juga dinilai membuat persaingan lebih kompetitif, jadi tidak ada lagi istilah untung-untungan masuk PTN lewat nilai rapor. Perubahan ini juga dinilai lebih transparan. 

Namun di sisi lain, perubahan ini belum mampu menjawab kebutuhan hak pendidikan warga. Pemerhati kebijakan pendidikan, Noor Afeefa menilai, ini hanya ranah teknis, tidak menyentuh akar masalah. Menurutnya, memberi kesempatan seluruh mata pelajaran dalam pertimbangan jalur prestasi rapor mungkin terlihat lebih adil bagi semua guru mata pelajaran. Namun, tidak terlalu signifikan bagi siswa. Karena biasanya siswa yang berprestasi mendapatkan nilai yang baik hampir di semua mata pelajaran. Dominasi pelajaran tertentu tetap menjadi faktor penentu penerimaan. 

Sayangnya, pelajaran pembentukan kepribadian Islam akan semakin terpinggirkan, bahkan levelnya setara dengan pelajaran tsaqofah lain. Pelajaran agama yang seharusnya mendapat perhatian dan porsi lebih besar jadi dikesampingkan. 

Penyelenggaraan tes skolastik dirasakan juga akan menyulitkan, karena kurikulum pengantarnya belum terbentuk dengan baik. Meskipun transparan dan tidak dikorupsi, faktanya untuk masuk PTN tidaklah murah. Kuota penerimaan yang terbatas memaksa calon mahasiswa lain merogoh kocek lebih dalam untuk masuk Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Di sini terlihat bahwa ada ketidakadilan bagi peserta didik dalam mendapatkan hak mengenyam pendidikan, khususnya di tingkat Perguruan tinggi. Semua peserta didik seharusnya berhak mendapatkan kesempatan kuliah dengan biaya murah dan kualitas baik. Sisi negatif lain,  menurut Noor Bayah adalah kualitas SDM hasil didikan kampus lebih terfokus mencetak manusia kapitalis. (MNews, 12/09/2022) 

Perubahan aturan ini menjadi bukti bahwa negara belum siap dengan metode pendidikan yang bagus dan terstruktur. Siswa dan guru justru menjadi korban karena dijadikan kelinci percobaan dari satu aturan ke aturan lainnya. Sistem kapitalisme juga menjadikan lembaga pendidikan hanya berfungsi sebagai pabrik pencetak pekerja demi kepentingan kapitalis. 

Berbeda dengan sistem pendidikan dalam Islam yang bertujuan menghasilkan para pakar di berbagai disiplin ilmu, dan Intelektual yang mampu memberikan solusi bagi masalah umat, serta "faqih fiddin" (orang yang menguasai agama). 
Sistem pendidikan dalam Islam bertujuan mencetak generasi unggul yang akan memberikan sumbangsih terbaik untuk peradaban dunia. 

Dalam Islam, menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan. Maka, negara Islam akan menjamin setiap umatnya untuk mendapatkan pendidikan terbaik dengan menyediakan berbagai fasilitas pendukung. 

Menuntut ilmu dalam Islam bukan sekadar untuk kepuasan akal apalagi demi materi. Akan tetapi, menuntut ilmu lebih ke arah manfaat ilmu itu bagi kehidupan manusia. Maka, tentu sangat aneh jika seleksi masuk PTN dianggap sebagai sesuatu yang membebani. Dalam Islam,  ilmu harus sejalan dengan amal dan iman. Visi misinya juga harus bebas dari liberalisasi dan sekularisasi. 

Oleh karena itu, sudah seharusnya pola seleksi masuk PTN itu mudah dan memudahkan. Semua ini membutuhkan upaya menyeluruh; mulai dari kurikulum, kesiapan peserta didik dan guru serta peran serta negara. 

Wallahu a'lam bishawwab.

Baca juga:

0 Comments: