Headlines
Loading...

Oleh Desi

"Mad, Hana memerhatikan kamu tuh." Rajiman menyikut lengan Ahmad yang masih fokus mengerjakan tugas matematika dari Pak Ardi, wali kelas 6 SD Karangduwur 2.

"Tengok sih, Mad. Hana makin kelihatan cantik ya." Sekali lagi Rajiman mencoba mengalihkan perhatian Ahmad dari soal-soal yang baginya begitu membosankan. Sedangkan Ahmad sama sekali tak menggubris ocehannya.

Tiba-tiba bel tanda istirahat berbunyi. Pak Ardi mempersilahkan anak-anak untuk istirahat terlebih dahulu kemudian menyelesaikan kembali tugas yang diberikannya.

"Ayang, kamu mau jajan apa?" tanya Rajiman kepada Evalina. 
"Aku pengin siomay, Man. Hayuu kita ke kantin," ajak Evalina.
Mendengar obrolan Rajiman dan Evalina membuat teman sekelas menyorakinya. Tetapi tidak dengan Ahmad. Dia justru bingung melihat pemandangan yang menurutnya tidak lazim. "Ada apa dengan mereka berdua, kok kayanya akrab banget," gumam Ahmad.

"Kamu nggak salah manggil ayang sama Evalina, Man?" tanya Ahmad setelah mereka kembali dari kantin.
"Keren kan," ucap Rajiman dengan lagak menyombongkan diri.
"Keren dengkulmu," timpal Ahmad.
"Cocok nggak, Mad?" tanya Rajiman.
"Maksudnya?" Ahmad justru balik bertanya.
"Ah kamu mah katro." Rajiman tampak kesal dengan reaksi Ahmad.

Setelah jam pelajaran selesai, anak-anak berhamburan keluar kelas. Ada beberapa anak yang berlari menuju tempat sepeda mereka diparkir. Mereka berebutan agar bisa menjadi yang pertama keluar pintu gerbang.

Ahmad berjalan santai sambil mengamati gerak-gerik Rajiman. Tampak dari kejauhan Rajiman berboncengan sepeda dengan Evalina. 
"Ada yang nggak beres dengan Rajiman, nih," ucap Ahmad lirih. 

Ahmad mengeluarkan sepedanya dari tempat parkir dan mulai mengayuh perlahan. 
"Han, kok jalan kaki. Sepedamu ke mana?" Ahmad mengerem sepedanya ketika melihat Hana berjalan sendirian.
"Sepedaku bocor, Mad. Belum diperbaiki," jawab Hana.
"Mau aku antar?" Ahmad menawarkan diri untuk mengantar Hana.
"Sepedamu nggak ada boncengannya kali," ujar Hana.
"Kan bisa di depan mboncengnya, Han," goda Ahmad.
"Huh... Sudah sana pulang," usir Hana.
"Iya deh. Hati-hati ya, Han," pamit Ahmad.

Sesampainya di rumah, Ahmad disambut oleh ibunya dengan kehangatan kasih sayang. Ahmad sangat beruntung tumbuh dalam keluarga yang penuh cinta. Ayahnya seorang tukang service komputer yang kreatif. Ia sering melibatkan Ahmad setiap ada kerjaan memperbaiki piranti komputer. Hal ini membuat Ahmad tumbuh menjadi pribadi yang mandiri. 

Sedangkan ibunya adalah seorang pengemban dakwah yang aktif di berbagai acara kajian. Kemampuannya mengolah kata membuat Ahmad betah ngobrol dengan ibunya. Bagi Ahmad, ibunya seperti kamus berjalan. Sebab setiap kali Ahmad bertanya tentang hal apapun, pasti ibunya mempunyai jawaban yang memuaskan akalnya.

Seperti kejadian yang dilihatnya hari ini, Ahmad sudah menyiapkan beberapa pertanyaan untuk ibunya. Biasanya, ba'da Maghrib adalah kesempatan ngobrol panjang lebar bersama ibunya. Ahmad sudah tidak sabar menunggu azan Magrib berkumandang.

"Bu, tadi ya di sekolah Rajiman bertingkah aneh." Ahmad tidak mau menyia-nyiakan waktu saat usai salat Maghrib.

"Aneh kenapa?" tanya ibunya penasaran.

"Rajiman manggil ayang sama Evalina. Terus mereka ke kantin bareng, makan bareng, pulang juga bareng boncengan pake sepeda. Kaya yang akrab banget gitu, Bu," cerita Ahmad.

"Bukannya kalo kaya gitu gak boleh ya. Terus itu Evalina kan sudah baligh, harusnya kan gak boleh deket-deket sama cowok ya, Bu?" 

"Kalo Rajiman sih kayaknya belum baligh. Suaranya masih kecil tapi kok berani berdekatan dengan Evalina. Harusnya kan jaga pandangan ya, Bu." Ahmad memberondong ibunya dengan pertanyaan yang membuatnya bingung.

"Jangan-jangan mereka pacaran, Bu." Ahmad berucap lagi padahal ibunya sudah akan menjawabnya.

"Ok stop. Ibu sudah menangkap semua ucapan mu. Sekarang dengarkan omongan Ibu," pinta ibunya.

"Kamu inget Ibu pernah bilang kalo pacaran itu haram?" tanya ibunya mengingatkan kembali apa yang pernah disampaikan.

"Ingat, Bu. Yang kata Ibu perempuan wajib menutup aurat dan laki-laki harus menjaga pandangan begitu kan, Bu?" Ahmad masih jelas mengingat pesan ibunya.

"Ya, betul. Manusia itu lemah tetapi punya musuh yang tidak pernah berhenti menggoda agar manusia jatuh dalam lubang kemaksiatan. Setan selalu menghembuskan bisikan-bisikan menyesatkan tetapi dikemasnya menjadi indah terasa seperti angin surga di telinga manusia. Membangkitkan hawa nafsu yang mengatasnamakan cinta. Perasaan ini jika dituruti justru akan menyengsarakan pelakunya," jelas ibunya.

"Lah kalau sudah suka sama perempuan itu gimana? Apa nggak boleh suka ya, Bu?" tanya Ahmad.

"Manusia itu memiliki tiga naluri, yaitu naluri taddayun atau naluri beragama, naluri baqa' atau naluri mempertahankan diri dan naluri nau' atau naluri berkasih sayang. Nah rasa cinta kita terhadap lawan jenis merupakan naluri berkasih sayang, itu fitrahnya manusia tidak bisa ditolak. Tetapi ada aturannya, boleh berkasih sayang kalau sudah menikah. Kalau belum menikah, tidak boleh meluapkan kasih sayangnya dengan pacaran. Lalu bagaimana kalau sudah terlanjur suka?" Ibunya berhenti sejenak untuk minum air putih.

"Selain naluri yang menuntut untuk dipenuhi, manusia juga punya kebutuhan jasmani yang harus dipenuhi juga. Apa saja kebutuhan jasmani manusia? Manusia butuh makan dan minum, butuh berpakaian untuk menutup aurat. Nah kebutuhan jasmani ini jika tidak dipenuhi maka bisa menimbulkan kematian. Contoh, kamu nggak makan seminggu. Kira-kira bisa menimbulkan bahaya tidak?" Ibu melempar pertanyaan sederhana agar Ahmad paham.

"Bisa mati, Bu." Ahmad menjawab singkat.

"Tepat. Kebutuhan jasmani jika tidak dipenuhi bisa mengancam jiwa. Tetapi kebutuhan naluri jika tidak dipenuhi tidak sampai menimbulkan kematian. Lalu bagaimana agar naluri berkasih sayang ini tidak meluap? Maka harus dikendalikan atau dialihkan. Alihkan perasaan itu dengan berbagai kegiatan positif. Pelajari ilmu agama agar paham batasan-batasan yang diperbolehkan dan dilarang. Berusaha istikamah mengkaji ilmu Islam agar tidak gagap ketika menghadapi masalah. Untuk bekal menjalani kehidupan agar setiap perilaku kita sesuai dengan syariat Allah. Bagaimana, sudah jelas?" penjelasan ibunya disambut dengan mulut Ahmad yang melongo diiringi anggukan kepala berulangkali.

"Oiya, Bu. Tadi aku nawarin boncengan ke Hana. Kalo kaya gitu sih boleh gak?" 

"Astaghfirullah, Mad. Jangan diulangi ya, itu nggak boleh. Kalo mau bantu bukan dengan kamu yang boncengin tetapi carikan teman perempuan yang bisa boncengin dia. Oh iya kamu bisa kan nasehati Rajiman tentang bahaya pacaran?"

"Siap, Bu!"

Keesokan harinya, Ahmad bertanya kepada Rajiman tentang kedekatannya dengan Evalina. Rajiman mengakui jika ia menyukai Evalina, begitu pun sebaliknya. Lalu Ahmad menjelaskan ulang apa yang dia dengar dari ibunya.

"Lagian kita ini masih kecil, Man. Baligh aja belum. Terus nanti kalau kita masuk SMP pasti ketemu lebih banyak lagi temen perempuan. Pasti Evalina kamu lupakan, kasian kan. Mending udah nggak usah coba-coba meniru perbuatan nggak bener," rayu Ahmad.

"Iiih kecil-kecil pinter. Omongan kamu ini banyak benernya, berguru ke siapa sih?" tanya Rajiman penasaran.

"Ke Ibuku dong," jawab Ahmad.

"Man, kalo kita sudah baligh ngaji yuuk. Kita belajar ilmu Islam bersama-sama. Kita berusaha jadi anak saleh yang keren tanpa pacaran," ajak Ahmad.

"Ah sok keren, Luh," jawab Rajiman yang punya karakter ceplas-ceplos.

"Ayolah, kamu kalau disuruh memilih, mau pilih baik atau buruk? Bersih atau kotor? Halal atau haram? Dicintai atau dibenci Allah? Hayoo jawab jujur." Ahmad mencecar Rajiman agar tidak menolak ajakannya.

"Iya deh aku mau. Beruntungnya punya sahabat seperti kamu. Baru sedikit mau terpeleset aja sudah ditolongin." Rajiman mengakui kepedulian dari Ahmad.

"Iya lah kita kan saudara seiman dan seIslam." 

Mereka berbaur dalam tawa,  saling menepuk pundak satu sama lain.

Baca juga:

0 Comments: