Headlines
Loading...

Oleh. Ratih Fn

Sudah seminggu lebih, sejak Rasti menyampaikan keinginannya, untuk belajar Islam kepada Tantenya, Tante Fira. Tapi Rasti masih bingung, apa yang mau ditanyakan ke Tantenya, meskipun dalam hati rasanya galau. 

Rasti sedang duduk di teras depan rumahnya, menikmati dinginnya malam. Langit tampak begitu pekat, dihiasi gemerlap cahaya bintang yang menghiasi langit. "MasyaAllah," Rasti bergumam lirih memuji keindahan ciptaan Illahi. Tiba-tiba ayahnya menepuk pundak Rasti dari belakang, "Hey! Jangan bengong sendirian di luar,  malam-malam begini pula." "Allahuakbar! Ayah, ngagetin aja," bibir Rasti manyun karena ayahnya tiba-tiba datang mengagetkan, membuatnya tersadar dari lamunannya. 

Ayah Rasti memang sering iseng ke putri semata wayangnya ini, apalagi jika Rasti sudah mulai sewot, bukannya berhenti meledek, tapi malahan semakin menjadi-jadi. Hehe.
"Lagi mikirin apa sich, Nduk? Serius amat?" tanya ayah Rasti sembari duduk disamping putrinya. "Ehmm, itu lho Yah..." 

KRIING...!! KRIING...!! KRIING...!!

"Halo, yaa gimana, Bro? Oh, ya..." Belum juga Rasti sempat bercerita, ayahnya sudah kembali masuk ke rumah, mengobrol dengan temannya lewat handphone. Rasti kembali termenung, larut dalam dinginnya malam, ditemani nyanyian merdu sang katak. Tak lama berselang, mamah Rasti keluar ke teras, menyuruh Rasti masuk ke rumah untuk makan.

Rasti masih asyik berchatting ria dengan teman-teman sekolahnya, saat mamahnya masuk ke kamar dan menanyakan apakah tugas sekolah Rasti sudah selesai atau belum. 

"PR kamu sudah selesai, Ras?". 

"Sudah, Mah." 

Rasti menjawab singkat, tanpa mengalihkan pandangannya dari gadget. Benar-benar gaya kebanyakan anak remaja jaman now. 

Sebuah chat masuk saat Rasti hampir terlelap,

 "Assalamualaikum, Rasti. Kamu jadi mau belajar Islam lebih dalam kan?" Chat dari tante Fira. 

"Oh, iya Tante. Tapi gimana ya? Kita kan tinggalnya jauh-jauhan. Kalo cuma ngobrol lewat chat, kayaknya kurang greget gitu, Te."

 "Ehmm... gitu ya. Btw, di sekolah kamu ada komunitas atau kajian remaja masjid gitu nggak, Ras? Kalo ada, kamu ikut aja tuch, trus misal ada hal-hal yang kamu nggak ngerti atau ragu, kamu bisa tanya Tante." Tante Fira langsung membalas chat Rasti lagi.

 "Kayaknya ada dech, Te. Tapi aku nggak kenal sama mereka, malu aku, Te."

 "Nggak apa-apa, kalo pas istirahat kedua, kamu ke masjid aja, salat dhuhur di masjid. Sembari mencari tahu tentang jadwal-jadwal kajiannya." 

"Ya dech, Te. Coba besok aku ke masjid sekolah. Aku tidur dulu ya, Te." "Ya, _nice sleep_, girl. Wassalamu'alaikum."

 Rasti membaca pesan tantenya, dan segera beranjak tidur. 

Esok harinya, Rasti benar-benar mencoba salat di masjid sekolah. Tapi bukan pas istirahat kedua untuk menunaikan  salat dhuhur, melainkan waktu istirahat pertama, tiba-tiba ia merasa ingin salat Dhuha. Lama sekali dia tidak salat Dhuha, seingatnya terakhir dia salat Dhuha, saat ujian akhir SMP dulu. Itupun juga merupakan salat Dhuha pertamanya, selepas ia baligh. 
Duuh! Yaa Allah...
Dalam hati Rasti berguman, boro-boro salat Dhuha, salat fardu aja masih bolong-bolong. Ampun Yaa Allah... 

Rasti masih melipat mukena, saat seorang gadis cantik berkerudung lebar, seumuran dirinya, menyapa dengan ramah.

 "Assalamualaikum, Dek. Kelas X (sepuluh), ya?"

 Senyum manis si kakak kelas mengembang, sembari mengulurkan tangan kanannya,  mengajak Rasti berjabat tangan. 

"Saya Hasna, kelas XI, adek?". 

"Wa'alaikumsalam. Saya Rasti, Kak. Iya, saya kelas X." Rasti menjawab pertanyaan Kak Hasna sembari melemparkan senyum termanisnya.

Pertemuan Rasti dengan Kak Hasna hari itu, menjadi awal bagi dirinya menemukan komunitas baru yang sama sekali belum pernah ia temui. Sejak hari itu, Rasti mengikuti kajian muslimah mingguan, di masjid sekolahnya. Bersyukur, sekolah Rasti cukup mendukung dan memfasilitasi segala macam kreativitas siswa-siswinya. Termasuk kegiatan rohis (kerohanian Islam). 

SMU Negeri tempat Rasti bersekolah, terbilang favorit di kotanya. Banyak prestasi dihasilkan oleh siswa-siswinya. Tak terasa, sebulan sudah Rasti turut aktif di rohis sekolah. Dan ia sudah mulai nyaman dengan bergaul dengan komunitas barunya. Namun belakangan, saat di rumah ia sering merasa gundah gulana. Terutama, begitu ia membuka gawainya. 

Entah sudah berapa kali, Rasti mencoba mengabaikan chat-chat, yang hanya berisi candaan haha hihi tidak jelas, yang masuk di grup muda-mudi medsosnya. Tapi, beberapa teman-teman medsosnya, sangat agresif menyapa dia. Setiap Rasti keluar group, dimasukkan lagi, saat Rasti tak membalas chat, diteror dengan privchat-privchat (pesan pribadi). Ditambah lagi, Danu dan Alvin, dua teman cowok di group muda mudi itu yang selalu mengganggunya dengan pesan-pesan gombal di nomor pribadinya.

"Aaaach..!!! Ampuuun dech, sebeeel...!!!"

 Rasti tiba-tiba histeris di dalam kamarnya. Mamah Rasti, yang sedang menggoreng pempek kesukaan Rasti di dapur, spontan langsung lari terbirit-birit menuju kamar putrinya. 

"Ada apa, Nduk?" Mamahnya bertanya penuh kekhawatiran. 

"Nggak ada apa-apa, Mah."

 Rasti menjawab singkat, sambil menelungkupkan wajahnya ke bantal merah kesayangannya. 

"Nggak ada apa-apa kok teriak?" 

Mamah Rasti masih mencecarnya, sembari duduk di pinggiran tempat tidur Rasti. 

"Nggak ada apa-apa, Mah. Udah mamah nggak usah tanya-tanya dulu, Rasti lagi sebeeel..!!".

 "Sebel..?? Sama Mamah?"

 Rasa penasaran membuat mamah Rasti belum juga beranjak dari tempat tidur putrinya itu. 

Tiba-tiba...
"Maaaah, bau gosong apa iniii?"

 Terdengar teriakan ayah Rasti dari halaman depan rumah. 

"Allahuakbar..!! Gara-gara kamu nich, Ras!" Sontak mamahnya mengambil langkah seribu, berlari ke dapur. Menyelamatkan pempek di penggorengan yang sudah berubah warna menjadi coklat kehitaman, alias gosong. 

"Rastiii... Rastii... Kamu tuch ya, ampuuun dech Mamah! belajar kek agak peka sedikit ke orangtua, sudah tahu kalau sore Mamah repot, nyapu, nyiramin tanaman, nyiapin makan malam, dan lain-lain. Bantuin kek gitu, bukan cuma rebahan aja di kasur." 

Omelan mamahnya terdengar jelas di telinga Rasti, yang tadinya ia berniat menyusul mamahnya ke dapur, minta maaf atas sikapnya tadi. Tapi mendengar mamahnya ngedumel panjang lebar, hatinya jadi kesal lagi. Dan ia kembali mendekap bantal guling kesayangannya. 

Beberapa hari belakangan ini, mamah Rasti memang merasa ada yang aneh dengan sikap putrinya. Jika biasanya, saat mainan handphone, Rasti sering senyum-senyum sendiri, tapi belakangan kenapa jadi sering uring-uringan, "Kenapa sich itu anak?". Setelah beres drama kegosongan pempek tadi, mamah Rasti memutuskan bertanya ke adik iparnya. Yups, siapa lagi kalo bukan tante Fira. 

"Assalamualaikum, Dek. Maaf mau tanya, belakangan kamu sering chattingan ma Rasti nggak ya?"

 "Sering sich nggak, Mbak. Cuma sekitar seminggu yang lalu dia memang chatting ke aku, nanya tentang menutup aurat yang benar. Memangnya kenapa Mbak?". 

"Dek Fira sedang senggang sepertinya, langsung membalas chattku," mamah Rasti bergumam lirih. Sebenarnya ingin hati menelepon langsung, supaya cepat. Tapi khawatir Rasti dengar, trus makin tersinggung, jika tahu dirinya sedang dibicarakan.

Panjang lebar kali tinggi, mamah Rasti mengeluarkan isi hati ke tantenya Rasti. Sharing tepatnya, karena ia tahu kalau Rasti cukup terbuka ke tantenya itu. "Ehmm, gitu ya, Mbak. Coba nanti aku cari tahu pelan-pelan ya, Mbak."

Bersambung...

Baca juga:

0 Comments: