Headlines
Loading...

Oleh. Ratih Fn

Mentari sudah mulai terik, awan putih berderet-deret indah di sela-sela birunya langit. Akhir pekan yang indah. Keindahan itu terasa kian sempurna tatkala angin sepoi-sepoi membelai mesra pipi Rasti yang tembam. 

Rasti masih duduk manis di halaman belakang rumahnya. Sedari tadi sibuk dengan gawainya, sementara mamahnya terus meneriaki dia untuk segera bersiap, "Rasti, taruh dulu handphone kamu! Cepetan, siapin apa aja yang mau kamu bawa ke rumah mbah uti!" Mamah Rasti mulai tidak sabar, melihat anak semata wayangnya masih saja sok sibuk, memijat-mijat gawainya yang tidak pegal. Giliran mamahnya minta tolong dipijat, baru juga lima menit, Rasti sudah mengeluh capek.

"Emang dasar anak sekarang!" Mulai kesal dibuatnya si mamah oleh Rasti.
Mendengar mamahnya sudah mulai keluar nada tingginya, Rasti segera beranjak menuju lemari bajunya, mengambil satu setel baju ganti yang akan dia bawa ke rumah utinya. 

Ayah Rasti sudah tampak rapi juga, duduk manis di bangku teras depan rumah mereka, sambil bermain gawai juga. 

Setelah semua siap, ayah Rasti segera menyalakan mesin motor maticnya, dan motor mereka pun melaju dengan kecepatan sedang menuju rumah nenek Rasti. 

Akhir pekan seperti ini adalah sesuatu yang amat Rasti tunggu. Bukan apa-apa, hanya di akhir pekanlah orangtuanya mengajak dia pergi keluar, entah ke rumah mbahnya, kadang ke mall atau ke pantai. Karena di hari kerja, ia sekolah sampai sore, jadi malamnya jarang diajak pergi keluar. Mamahnya terlalu khawatir Rasti akan jatuh sakit, jika ia sudah seharian capek sekolah, malam harinya masih diajak hang out keluar. 

Bertemu keluarga besar, mengobrol seru-seruan bersama keenam sepupunya, bertukar cerita dengan tantenya, sungguh momen yang selalu Rasti nikmati, setiap ia berkunjung ke rumah mbahnya.

Sementara di rumahnya, mereka hanya tinggal bertiga.  Teman mengobrol Rasti kebanyakan berada di dunia maya. Sungguh interaksi "khas" remaja milenial jaman now! Melalui gawai, kita jadi merasa dekat dengan yang jauh. Dan merasa jauh dengan yang dekat. Karena yang dekat memegang gawainya masing-masing, asyik berinteraksi di dunia maya, hingga lupa sekitar. 

Sekitar 20 menit berlalu, selesai sudah menahan rasa pegal kaki karena motor yang sudah terlalu sempit untuk bertiga. Tubuh Rasti dan mamahnya sudah sama besarnya.

Kedatangan mereka disambut dengan suka cita oleh keluarga besarnya. Terutama adik-adik sepupu Rasti yang super heboh kelakuannya, maklumlah, tiga adiknya itu memang masih usia anak-anak. Usia 8, 6, dan 4 tahun, sedang aktif-aktifnya, itu belum ditambah kakak sepupu Rasti yang baru berusia 2,5 tahun,  lengkap sudah kehebohan mereka. 

"Assalamualaikum, Mbak cantik," tantenya menyapa sembari tersenyum lebar.
 "Wa'alaikumussalam, kenapa senyum-senyum gitu, Te?" Rasti menjawab salam dengan salah tingkah. Memang jika bertemu tantenya yang satu ini, Rasti selalu merasa salah tingkah. "Bikin keki, " begitu komentar Rasti. 
"MasyaAllah,  tambah cuantiiik aja ponakan tante ini, terlebih kalo lagi pakai hijab begitu," pujian tantenya semakin membuat Rasti salting.
 "Apalah tante ini!" Sambil tersipu Rasti masuk ke rumah mbah utinya. Pasukan sepupunya mengekor dari belakang, tak ketinggalan umminya para bocah cilik itu alias tantenya Rasti. 

Mereka bercengkerama di ruang tengah, mengobrol ngalor ngidul ngetan ngulon, alias apa saja diobrolkan. Melepas rindu setelah sekian pekan tak bertemu. Halah! Baru beberapa pekan aja, seperti tidak bertemu bertahun-tahun. Hihihi...

Di tengah-tengah keasyikan mereka bercerita, tiba-tiba tante Rasti nyeletuk, "Btw, Rasti sebenarnya tahu nggak sich, kalo menutup aurat saat keluar rumah dan saat di depan laki-laki yang bukan mahrom kita itu, ternyata wajib dalam Islam? Sama wajibnya dengan shalat lima waktu, puasa ramadhan, zakat, dan kewajiban Islam lainnya."

"Ehmm, dikit-dikit tahu sich. Kan aku nge-fans sama selebgram kece dari Jawa timur tuch, yang sekarang lagi mondok di Tangerang. Tante tahu kan? Jadi pernah baca akunya postingan dia di IG gitu, Te." 

"MasyaAllah, alhamdulillah kalo kamu sudah tahu, jadi? Apa yang bikin kamu belum mau konsisten nutup aurat? Kan kamu udah baligh, Mbak," tantenya mencecar dengan pertanyaan yang sebenarnya ia sendiri juga masih bingung dengan jawabannya. 

Lama terdiam, akhirnya Rasti mengemukakan apa yang selama ini mengganggu pikirannya. "Gimana ya, Te. Kan aku nyadar diri, salat masih bolong-bolong,  puasa ramadan  aja masih ada yang bolong juga, duuuh! Gimana yaa... Masak masih kayak gini, mau nutup aurat sempurna sich, Te. Aku niatnya mau memperbaiki salat aku dulu, trus mau belajar bayar utang puasa ramadan, baru dech nanti belajar nutup aurat secara sempurna." 

"Subhanallah, keren abis lhoo kamu, mbak!  kamu harus bersyukur itu," kata tantenya. "Kenapa coba? karena kamu menyadari bahwa diri kamu banyak kurangnya dalam hal menunaikan kewajiban dari Allah," tantenya terus menyemangati Rasti.

"Masyaallah, jarang-jarang ini ABG seusia kamu bisa nyadar gitu. Meski, sadar saja belum cukup. Kalo udah sadar, harus segera diperbaiki, salatnya, puasanya, nutup auratnya, semuanya. Kamu tahu nggak, Mbak? Kalo seorang perempuan itu bisa menyeret ayahnya, saudara laki-lakinya, suaminya, dan anak laki-lakinya ke neraka, tersebab nggak nutup aurat ini." 

"Maksudnya, Te?" Setengah nggak nyambung dia dengan ucapan tantenya. 

"Maksudnya, misal nich sebagai perempuan kita nggak nutup aurat. Trus empat laki-laki yang Tante sebut di atas nggak ngingetin kita, mereka bakalan ikut menanggung dosanya kelak."  Tantenya menjelaskan dengan sabar.

"What..??! Iyaa kah, Te? Kok bisa gitu?" Setengah kaget Rasti mendengar penjelasan tantenya. 
"Ya bisa, kan mereka adalah wali kita. Jadi mereka bertanggung jawab mengingatkan kita terkait hal ini. Jadi, masak kamu mau menyeret ayah kamu ke neraka?"

"Aach! Tante mah, bikin aku makin galau ajah." 
Rasti cemberut dan terdiam mendengar penjelasan tantenya.
Tantenya satu itu memang selalu penuh nasehat, yang ngingetin salat lah, ngingetin pergaulan lah, nutup aurat lah. Orangnya sederhana, murah senyum, suka bercanda, kadang jahil juga suka ngeledekin. Meski ucapannya sering bikin keki, tapi dalam hati ngangenin. 

Malam mulai larut, Rasti dan ortunya bersiap pulang ke rumah mereka, yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumah mbahnya,  sekitar 20 km kurang lebihnya. Semilir angin di perjalanan membuat rasa kantuk menyergap perlahan. 

Tiba-tiba ayah Rasti menepi. Handphone-nya dari tadi bergetar rupanya.
 "Halo. Assalamualaikum." Ayah Rasti tampak serius menyimak suara dari seberang telefon.

"Innalilahi, kapan? ya, nanti aku kesana. Aku masih dalam perjalanan pulang ke rumah. Nanti setelah antar anak istri aku pulang, aku langsung kesana."

Seketika kantuk Rasti hilang, ia penasaran dengan pembicaraan ayahnya bersama temannya di seberang telpon. "Ada apa, Yah?" Tanya dia ke ayahnya. "Itu anak temen ayah, meninggal karena kecelakaan." 
"DEG!" Ada rasa aneh menyusup dalam dada Rasti.

Sesampainya di rumah, Rasti segera ambil wudhu dan salat Isya', ia belum menunaikan salat Isya' di rumah mbahnya tadi. Selepas salat, ia buka gawai dan mengirim pesan ke tantenya. "Tante, aku pengen belajar Islam sama Tante," ia mengirim chat ke tantenya. 

Lama tantenya belum juga membaca pesannya. Membuat hati Rasti semakin galau. Sekitar satu jam kemudian masuk chat dari tantenya, "Alhamdulillah, dengan senang hati tante akan bantu. Mulai besok, ya .... sekarang sudah malam, kamu tidur dan jangan lupa berdo'a." Jawaban tantenya sedikit menenangkan hati Rasti. Meski masih banyak pertanyaan berkecamuk di kepalanya. 

Bersambung...

Cilacap, 7 September 2022

Baca juga:

0 Comments: