Headlines
Loading...

Oleh. Rery Kurniawati Danu Iswanto (Praktisi Pendidikan)

Dunia pendidikan kembali dikejutkan dengan pemberitaan kasus siswi yang hamil dan melahirkan di sekolah. Di kanal berita, disebutkan seorang siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jumapolo, Karanganyar, mengalami kontraksi saat jam pelajaran. Siswi ini dihamili pacarnya yang berasal dari SMA yang berbeda (kompas.com, 10/09/22).

Hal seperti ini bukan kali ini saja terjadi, banyak kasus-kasus serupa yang terjadi dan jumlahnya banyak sekali. Bagaikan fenomena gunung es, yang muncul dan tampak di permukaan hanya sebagian kecil saja. Sungguh memprihatinkan. Inilah potret pendidikan dan kehidupan sebagian generasi muda di Indonesia. 

Kasus siswi hamil ini akhirnya memicu banyak pembahasan. Terutama yang menjadi sorotan para pegiat hak asasi manusia (HAM) adalah tentang hak pendidikan bagi siswi yang hamil tersebut. Banyak pihak yang menyuarakan pentingnya pemenuhan hak pendidikan bagi siswi yang hamil. Mereka menyatakan bahwa sekolah tidak boleh memberi sangsi sosial dengan mengeluarkan siswi hamil dari sekolah. Siswi ini harus tetap diberi kesempatan mengikuti pendidikan maupun ujian nasional. Selain itu, mereka menyatakan bahwa sekolah seharusnya memberikan edukasi kesehatan reproduksi untuk mencegah masalah sebagaimana terjadi pada kasus siswi tersebut. 

Jika dibahas dari sudut pandang hak seseorang atau HAM, bukankah hak bagi seseorang ini bukan hanya pendidikan saja? Ada hak-hak lain yang juga harus dipenuhi yaitu hak kebutuhan dasar, hak kesehatan, hak hidup dalam sistem sosial yang sehat, dan masih banyak lagi. 

Pertanyaan yang muncul kemudian, jika dengan tetap memberikan kesempatan siswi yang hamil untuk mengikuti pendidikan di sekolah, bagaimana dengan pemenuhan hak-hak yang lainnya? Apakah dapat terpenuhi? Bukankah dengan membiarkan siswi yang hamil tetap berada di sekolah dapat mengganggu kesehatannya baik fisik maupun mental. Jika demikian, maka terjadi pelanggaran terhadap hak untuk hidup sehat bagi siswi tersebut.

Sebenarnya, apa faktor pendorong dibalik perjuangan hak pendidikan bagi siswi yang hamil ini? Jangan sampai seruan untuk memenuhi hak pendidikan, justru berujung pada normalisasi kehidupan liberal di dunia pendidikan. 

Solusi atas pemenuhan hak pendidikan dengan cara pandang seperti ini sangatlah spasial dan pragmatis. Selain tidak akan mampu mengatasi permasalahan yang sebenarnya, justru akan menimbulkan masalah baru. Inilah hipokrit perjuangan pemenuhan hak pendidikan dalam sistem kehidupan yang liberal.

Memandang masalah seperti ini tidak bisa hanya dari sistem pendidikan yang diterapkan di sekolah saja. Akan tetapi, secara lebih luas, harus dipandang dari penerapan sistem kehidupan secara umum. Kehidupan siswa di sekolah tidak terlepas dari sistem kehidupan yang diterapkan di masyarakat pada umumnya. Dalam masyarakat yang liberal, aktivitas pacaran atau sekadar pertemanan dengan lawan jenis adalah hal yang dianggap lumrah. Tidak ada pengaturan terkait pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Dalam aktivitas sehari-hari termasuk kegiatan di sekolah terjadi campur baur bahkan memungkinkan terjadinya ikhtilat atau berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan. 

Gangguan lain yang memicu masalah ini adalah paparan media sosial yang sangat terbuka dengan konten-konten yang merangsang naluri seksual. Konten-konten negatif ini dapat begitu saja muncul di beranda media sosial bahkan di situs-situs yang media pembelajaran bagi siswa. 

Jika demikian adanya, untuk mengatasi masalahnya tidak cukup hanya sekadar membahas hak pendidikan saja. Tidak bisa juga hanya dibebankan pada sekolah untuk menanganinya. Permasalahan siswi hamil ini, terjadi karena sistem kehidupan yang diterapkan di masyarakat saat ini adalah kehidupan liberal. Sistem kehidupan yang tidak berdasarkan aturan kehidupan dari Sang Pencipta.

Berbeda jika sistem pendidikan dan sistem kehidupan secara umum, pengaturannya didasarkan pada aturan Islam. Dalam Islam, para siswa dan generasi muda pada umumnya akan dijaga dan dipenuhi haknya oleh negara. Negara akan menjaga generasi muda dari pergaulan yang bebas. Antara lain, ada pengaturan kehidupan antara laki-laki dan perempuan baik di ruang-ruang publik maupun ruang khusus. Selanjutnya, media sosial, situs-situs internet, dan media massa lainnya akan dibersihkan dari konten-konten negatif yang dapat merangsang aktifitas seksual, mengandung konten sara ataupun kekerasan. 
Negara juga benar-benar hadir untuk memenuhi kebutuhan generasi muda agar dapat bertumbuh menjadi generasi rabbani. Generasi yang tidak hanya pintar dalam hal pengetahuan umum akan tetapi lebih dari itu, akan dibekali dengan dasar pengetahuan agama yang memadai. 

Dengan sistem kehidupan berdasaran aturan islam ini, hak pendidikan, hak mendapatkan kehidupan sosial yang baik, dan hak-hak lainnya akan tertunaikan. Wallahu a'lam bish shawab.

Baca juga:

0 Comments: