
Oleh Rochma Ummu Arifah
Serangkaian kasus hukum yang terjadi di negeri ini semakin mengokohkan pendapat umum bahwa hukum yang ada di negeri ini tajam ke bawah tumpul ke bawah. Hukum seakan-akan lebih berpihak kepada siapa saja yang memiliki kekuasaan dan kekayaan. Sebaliknya, hukum akan berlaku semena-mena kepada rakyat kecil yang papa dan sengsara.
Salah satu kejadian yang mencerminkan hal ini adalah apa yang terjadi pada para koruptor. Mereka diberikan remisi masa penahanan hingga kebolehan untuk tetap mengajukan diri sebagai calon legislatif di pemilihan umum yang akan datang.
Remisi Masa Tahanan
Publik dikagetkan dengan berita pemberian remisi hingga pembebasan 23 narapidana kasus korupsi di negeri ini. Aturan mengenai remisi koruptor ini termuat dalam Permenkumham Nomor 7 tahun 2022. Dalam aturan ini disebutkan bahwa bagi koruptor yang ingin mendapatkan remisi koruptor sehingga dapat bebas bersyarat harus memenuhi persyaratan. Syarat wajib yang diberikan Menkumham bagi napi koruptor adalah syarat remisi koruptor, yakni sudah membayar denda dan uang pengganti. (News.detik.com/7/09/2022)
Kebolehan 'Nyaleg'
Selain itu, koruptor saat ini memilki kemudahan untuk kembali mencalonkan dirinya, seperti dalam pemilihan calon legislatif di pemilu mendatang. Hal ini pun tertuang dalam Pasal 240 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Pasal ini mengatur soal persyaratan yang mesti dipenuhi untuk menjadi caleg di tingkat DPR, DPRD provinsi, hingga DPRD kabupaten (kota). Namun tidak ada pencantuman syarat harus terbebas dari tindak pidana korupsi.
Bahkan, aturan ini juga memudahkan bagi eks-napi korupsi untuk kembali maju di pemilu. Yaitu dengan menyelesaikan masa tahanan, kemudian membuat pernyataan publik bahwa dirinya adalah eks-napi korupsi yang sudah menyelesaikan masa tahanan ini. Pernyataan ini harus dibuat bersama dengan media massa lokal atau nasional. (Beritasatu.com, 21/08/2022)
Demokrasi Tunduk pada Koruptor
Aturan kemudahan yang diberikan kepada para koruptor ini dibuat oleh penguasa. Hal ini sama halnya memberikan akses atau celah pada kroni-kroni, sejawat, bahkan diri koruptor sendiri ketika tertangkap karena tindak pidana korupsi yang menggejala di kalangan pejabat negara. Tanpa melihat bahwa sejatinya para koruptor ini telah banyak merugikan negara. Merekalah pihak yang layak dihukum seberat-beratnya, bukan malah diberikan kemudahan untuk tetap hidup enak dan memiliki jabatan.
Wacana gugatan publik seakan-akan tak mempunyai taring untuk menolak aturan ini. Hal ini lantaran yang membuat aturan adalah golongan mereka sendiri yang siap membantu dan memberikan kemudahan bagi rekan sejawat mereka. Jargon Demokrasi dari, oleh, dan untuk rakyat kembali terbukti gagal mewujudkan konsepnya dalam hal ini. Rakyat kembali menjadi pihak yang tak diuntungkan.
Pandangan Islam tentang Koruptor
Korupsi adalah kejahatan besar, berupa pencurian harta yang bukan haknya. Bahkan harta ini adalah harta negara yang seharusnya dikelola oleh negara untuk kemaslahatan rakyat. Namun harta ini malah seenaknya dinikmati sendiri oleh individu dan segelintir orang saja. Sebagai suatu agama yang mengatur kehidupan manusia, Islam memiliki arah pandang yang jauh berbeda dari arah pandang Demokrasi dalam memperlakukan koruptor.
Tindak korupsi bisa disamakan dengan tindakan pencurian. Hukumannya digambarkan dalam firman Allah QS. Al-Maidah: 38,
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Dari sini, jelas bahwa hukuman bagi pelaku pencurian, termasuk korupsi adalah potong tangan.
Fenomena kemudahan yang diberikan kepada para koruptor ini memperlihatkan pada kita bagaimana sistem Demokrasi tunduk pada para koruptor. Merekalah yang berada dalam sistem Demokrasi itu sendiri. Merekalah yang membuat aturan untuk memudahkan urusan diri mereka sendiri. Inilah wajah Demokrasi sesungguhnya yang amat jauh dari Syariat Islam.
Wallahu a'lam.
Baca juga:

0 Comments: