Headlines
Loading...

Oleh Ummu Fahhala
Pegiat Literasi dan Komunitas Peduli Umat

Sungguh memprihatinkan. Di  tengah banyak jargon Kota Layak Anak (KLA), masih banyak terjadi kekerasan terhadap anak (KTA) di berbagai daerah di negeri kita. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KemenPPPA) yang tersebar di setiap provinsi, per 1 Januari 2022 terdapat 17.101 kasus.  Kasus terbaru terjadi  di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT). Lembaga kemanusiaan Save the Children melakukan pendampingan terhadap 32 kasus kekerasan terhadap anak dan 28 kasus kekerasan terhadap perempuan. (Tempo.co, 13/9/2022)

Di Jakarta Barat, seorang remaja putri berinisial NAT (15 tahun) mengaku dijadikan pekerja seks komersial selama 1,5 tahun. Kasus ini  kemudian ditindak lanjuti oleh Polda Metro. (Republika.co.id, 19/9/2022)

Kapitalisme Penyebabnya 

Jumlah fakta kekerasan terhadap anak bisa jadi lebih besar dari semua data yang tercatat, karena tidak semua korban mau melapor kepada pihak yang berwajib dengan berbagai alasan. Sebagian besar fenomena kekerasan terhadap anak dilakukan oleh keluarganya sendiri. Ternyata pernyataan bahwa jaminan negara bagi setiap anak yang berhak atas  kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan, serta perlindungan dari kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi dalam UUD 1945 pasal 28b ayat 2 hanyalah aksesoris bernegara yang tak berguna. Undang-undang perlindungan anak pun tidak mampu menjadi payung hukum bagi anak. 

Di samping itu, antisipasi pemerintah terkait kekerasan terhadap anak, dilakukan melalui program Kota Layak Anak (KLA) untuk memenuhi hak anak yang mengacu pada konvensi anak.  Bahkan KLA banyak diangkat dan dijadikan prioritas pembangunan daerah. Jika sebuah kota mencapai 31 cakupan indikator yang sudah ditetapkan maka akan mendapat predikat KLA. Pemerintah membuat program KLA dengan maksud memutus mata rantai kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, agar pada tahun 2030 terwujud Indonesia yang layak anak atau ‘Idola’. 

Pada faktanya, di beberapa daerah peraih KLA, masih saja terjadi tindak kekerasan hingga ekploitasi terhadap anak. Kasus  kekerasan terhadap anak yang masih bermunculan membuktikan bahwa KLA tidak menjamin terwujudnya perlindungan anak. Malah bisa jadi jaminan perlindungan anak hanya di atas kertas, sekedar syarat agar lolos mendapatkan predikat KLA. 

Solusi yang diadopsi belum cukup mencegah kekerasan dan eksploitasi terhadap anak, sebab solusi-solusi yang diadopsi dibangun berdasarkan nilai-nilai sekuler barat yang jauh dari aturan agama. Apalagi Liberalisme masih menjadi panduan dalam kehidupan. Tak heran, apabila persoalan kekerasan anak tak pernah terpecahkan. Selama sistem Kapitalisme diterapkan dalam kehidupan, korban-korban kekerasan dan eksploitasi terhadap anak akan terus bermunculan dengan beragam modus.

Faktor lain yang menjadi penyebab timbulnya kekerasan terhadap anak adalah kesenjangan dan himpitan ekonomi. Akibat penerapan sistem Kapitalis, masyarakat menjadi bingung dan sulit bertahan hidup. Apalagi ketika harga BBM, TDL, sembako, dan biaya hidup naik, kemiskinan dan pengangguran juga meningkat. Di tengah kebutuhan hidup yang  harus terus dipenuhi, timbul stress atau tekanan terhadap kepala keluarga. Akibatnya, kepala keluarga mudah melakukan kekerasan fisik. Kondisi ini juga membuka peluang besar terjadinya eksploitasi anak seperti: pelacuran, anak-anak jalanan, pengemis anak-anak, anak putus sekolah, anak terlantar,  dan lain-lain.

Semua ini terjadi karena pemerintah mengabaikan kesejahteraan rakyat dan melepaskan tanggung jawabnya untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap individu rakyat.
Inilah gambaran pemerintah yang menjunjung tinggi Kapitalisme. Mereka hanya memikirkan segala sesuatu yang berkaitan dengan materi. Pemerintah sibuk membangun infrastruktur, mencari investasi demi kepentingan mereka sendiri dan enggan memenuhi kebutuhan rakyat secara cuma-cuma tanpa mengambil untung. Wajar apabila anak-anak dalam negara kapitalis sekuler tidak memiliki masa depan cerah. Akibatnya, anak-anak terhalang untuk menjadi agen  perubahan demi bangsanya.

Solusi Islam

Anak dalam pandangan Islam adalah amanah yang harus dijaga. Anak adalah calon pemimpin masa depan, sekaligus aset bangsa yang sangat berharga. Oleh karena itu, anak harus tumbuh dan berkembang optimal agar menjadi generasi penerus yang mumpuni. Islam memiliki seperangkat aturan yang mampu menuntaskan masalah kekerasan terhadap anak hingga ke akar-akarnya.

Islam tidak sekadar mengatur aspek ritual (ruhiyah), tapi juga aspek politis (siyasi). Dengan kata lain, Islam adalah akidah yang melahirkan seperangkat aturan untuk mengatur setiap aspek kehidupan. Penerapan Islam ini ada di pundak negara. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa imam itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya. Hadis riwayat Muslim ini dikuatkan pula oleh hadits serupa, yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad, bahwa imam adalah pengurus dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyat yang diurusnya.

Upaya perlindungan negara agar anak tidak menjadi pelaku atau korban kekerasan dan eksploitasi, merupakan perlindungan terpadu yang utuh dalam semua sektor kehidupan.

Pada sektor ekonomi, mekanisme pengaturannya dilakukan dengan menjamin nafkah bagi setiap warga negara, termasuk anak yatim dan terlantar. Islam membebaskan perempuan dari kewajiban mencari nafkah, sehingga mereka bisa memusatkan konsentrasi sebagai ibu yang mendidik dan membentuk kepribadian anak. Sistem ekonomi Islam akan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi laki-laki untuk mencari nafkah.  Dengan demikian, masyarakat tidak akan berpikir untuk mengeksploitasi anak demi meraup uang.

Pada sektor pendidikan, negara Islam akan menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Tujuannya untuk membentuk masyarakat yang berkepribadian Islam, memiliki iman yang kokoh, dan senantiasa terikat pada aturan Islam. Masyarakat dengan penuh kesadaran akan melaksanakan seluruh kewajiban dan  menghindari setiap bentuk maksiat pada Allah Swt.

Sistem informasi Islami juga diberlakukan untuk mencegah berbagai tayangan dan pemikiran rusak yang dapat menyebabkan tindak kejahatan pada anak. 

Islam memiliki sistem sanksi yang membuat para pelaku kekerasan dan eksplotasi anak jera. Sanksi ini bertujuan untuk  mencegah pihak lain dari  melakukan kejahatan serupa (zawajir) di dunia, sekaligus menebus dosa pelaku (jawabir) di Yaumil Akhir. 

Seluruh aturan Islam tersebut akan dapat mencegah sekaligus menghilangkan segala bentuk kekerasan dan eksploitasi terhadap anak. Dengan demikian, kota layak anak bahkan negara layak anak akan terwujud.

Wallahu a'lam.

Baca juga:

0 Comments: