
Oleh : Yuliati Sugiono
Rakyat baru saja menerima kado, yaitu naiknya harga BBM. Hal ini dikarenakan subsidi BBM tidak tepat sasaran dan membebani APBN. Meski mengalami banyak protes penolakan dimana-mana, namun pemerintah bergeming. Belum sebulan kebijakan ini berjalan, sekarang rakyat akan menerima kado lagi, yaitu konversi kompor gas ke kompor listrik.
Dilansir dari cnnindonesia.com (22/09/2022), demi penghematan anggaran negara dan biaya impor LPG, Pemerintah akan meluncurkan kebijakan proyek konversi kompor gas elpiji ke kompor listrik induksi. Sekitar 300 ribu masyarakat di tiga kota, yaitu Solo, Denpasar dan salah satu kota di Sumatera yang menjadi sasaran tahap awal pembagian kompor listrik ini. Sebanyak Rp 540 milyar total anggaran yang dikeluarkan pemerintah demi tercapainya proyek ini. Namun perlu diingat, nilai penghematan yang akan didapat pemerintah sebanyak Rp10,21 triliun per tahun pada tahun 2028. Hal ini pun bisa diperoleh saat pengguna kompor listrik mencapai 15,3 juta rumah tangga. Artinya untuk tahun 2022 ini masyarakat belum tercapai tujuan tersebut.
Masalahnya proyek konversi kompor gas ke listrik ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Masyarakat perlu berbenah di dalam rumah, karena alat masak yang biasa digunakan di kompor gas, tidak cocok digunakan untuk kompor listrik. Tentu ini bukan solusi yang menyejahterakan bagi kalangan bawah. Hal ini disebabkan tarif listrik yang masih tinggi dan daya watt kompor tersebut mencapai 1.000, yang kemungkinan tidak bisa dipakai dalam pemakaian listrik skala 450v.
Ketika masyarakat protes karena penggunaan kompor listrik ini akan menyedot daya listrik dan akan bengkak pembiayaannya, pemerintah menjelaskan bahwa jalur listrik untuk kompor dan lampu, itu berbeda. Artinya nanti akan ada dua tagihan listrik, untuk penggunaan listrik rumah tangga biasa dan tagihan untuk konsumsi listrik kompor induksi. Menurut Dirut PLN komporlistrik lebih hemat daripada komporgas (kompas.com, 15/09/2022).
Bisa jadi ketika kebijakan ini benar-benar dijalankan, tarif dasar listrik dinaikkan dan elpiji tiga kilogram pun sudah hilang dari peredaran. Seperti kejadian konversi minyak tanah ke gas. Setelah pembagian kompor gas gratis, minyak tanah menghilang.Sehingga rakyat pun akan membayar berapa pun biayanya.
Maka kebijakan ini sebetulnya bukan untuk rakyat tapi rakyat menanggung bebannya. Sebagaimana kesepakatan MoU dengan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) bahwa mabda Kapitalisme dengan demokrasinya, dijalankan dengan menghapus semua subsidi rakyat.
Maka seiring dengan ini pemerintah mulai mengurangi atau menghilangkan subsidi, lalu ekstensifikasi dan intensifikasi pajak, menaikkan tarif dasar listrik dan menambah utang lagi. Gali lubang tutup lubang untuk berbagai proyek meskipun banyak proyek yang mangkrak.
Kebijakan yang mengikuti pesanan dari PBB sesuai dengan kesepakatan yang ditandatangani. Dengan mengorbankan rakyat, tanpa empati. Rakyathanya dibutuhkan suaranya menjelang pemilu saja. Setelah itu dilupakan karena lebih mementingkan kepentingan diri, keluarga dan kelompok partai. Haus kekuasaan untuk kenikmatan materi. Inilah karakter pemimpin kapitalis.
Karakter kepemimpinan dalam Islam sangatlah jauh berbeda, kepemimpinan dalam Islam berfungsi sebagai penjaga dan pengurus masyarakat, individu per individu.
Sejarah telah mencatat bahwa Khalifah Umar bin Abdulaziz mampu menyejahterakan rakyatnya dalam tempo yang sangat singkat yaitu tiga tahun. Saking sejahteranya sampai tak satu pun rakyatnya yang mau menerima zakat.
Pemimpin Islam pun tak pernah gentar melawan musuh demi melindungi rakyatnya. Khalifah Al Mu'tashim mengerahkan tentaranya demi membela kehormatan seorang wanita muslimah yang dilecehkan seorang Yahudi di pasar.
Sungguh pemimpin Islam tidak pernah mau didikte dan disuap. Sultan Hamid tidak pernah mau menerima uang yang ditawarkan yahudi untuk membeli tanah Palestina, berapa pun besarnya uang tersebut.
Maka pemimpin seperti inilah yang dibutuhkan umat. Mereka amanah sesuai dengan sabda Rasulullah Saw yang artinya :
"Imam itu adalah pemimpindan dia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyatnya."
Pemimpinyang takut kepada Allah, yang menerapkan syariatNya di dalam negeri dan menyebarkan risalah Islam keluar negeri, bukan justru menjadi agen perpanjangan tangan penjajah dengannama PBB.
Wallahu a’lam bishshawab.
Baca juga:

0 Comments: