Headlines
Loading...
Krisis Kepercayaan Masyarakat terhadap Kapabilitas Aparat Hukum

Krisis Kepercayaan Masyarakat terhadap Kapabilitas Aparat Hukum

Oleh Siti Aisah, S.Pd
Praktisi Pendidikan Kabupaten Subang


Bagai pengalihan arus opini, aparat penegak hukum saat ini tengah disibukkan oleh kasus kebocoran data masyarakat yang dilakukan oleh peretas (baca: hacker). Penangkapan pemuda berinisial MAH (21)  dilakukan oleh Polres Dagangan, pada Rabu malam (14/9/2022) di wilayah Madiun, Jawa Timur. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo memberikan keterangan perihal penangkapan pemuda asal Madiun tersebut. Yang bersangkutan diduga sebagai sosok hacker Bjorka. Tak berselang lama setelah dibebaskan, MAH ditetapkan sebagai tersangka. Pihak kepolisian menuturkan bahwa MAH termasuk komplotan dari Bjorka. (kompas.com, 16/09/2022) 

Belum hilang dalam ingatan kita  kasus Sambo yang mencoreng dunia kepolisian. Drama kasus pembunuhan yang melibatkan anggota kepolisian ini ramai diberitakan di berbagai media. Tersangka pembunuh adalah petinggi kepolisian. Kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (Brigadir Yoshua) oleh Ferdy Sambo menjadi perhatian luas publik di Indonesia sejak awal Juli, tepatnya 11/07/2022 hingga Agustus 2022, bahkan hingga September 2022 ini. Namun tampaknya kasus ini tenggelam dengan adanya penangkapan pemuda Madiun yang menjadi kaki tangan Bjorka. 

Dalih penangkapan MAH ini terkesan dipaksakan. Ibu tersangka ikut terheran-heran saat mendengar putranya telah menjadi kaki tangan Bjorka.  Padahal sehari-harinya, ia hanya membantu orang tua berjualan es dan tak mempunyai komputer. Ia hanya memiliki satu ponsel.  Pada mulanya, setelah ditangkap, MAH dibebaskan polisi. Tak sampai 24 jam, MAH malah ditetapkan lagi sebagai tersangka karena dituduh membantu Bjorka. MAH sendiri mengaku bahwa ia hanya menjual chanel akun telegramnya. Selanjutnya, drama kasus penangkapan berakhir  dengan pembebasan MAH.  Alasannya, karena ia mampu bekerja sama dengan pihak kepolisian. 

Masyarakat saat ini seperti bersikap apatis (baca: masa bodoh) terhadap kasus yang menimpa aparat penegak hukum (baca: kepolisian). Ketika aparat penegak hukum ini melakukan pelanggaran hukum, hukum yang ada semestinya dijadikan standar keadilan, keamanan dan pengayoman. Sayangnya, dengan adanya mega kasus Ferdy Sambo, sikap yang ditunjukkan institusi kepolisian malah menimbulkan keraguan akan kapabilitas dan kredibilitasnya. Padahal, mereka seharusnya berada di garda terdepan dalam menegakkan keadilan dan menjalankan kebenaran. Ironisnya, mereka gagal total  menjalankan tugasnya sebagai penegak keadilan dan pembela kebenaran. 

Tak bisa dipungkiri, aparat dan pejabat hukum adalah manusia yang tidak luput dari kesalahan. Dengan sistem saat ini, mereka rela dibentuk berkarakter zalim, curang dan rawan suap. Pasalnya, mereka memaklumi hal ini sebagai salah satu risiko dari kinerja kepolisian. Mereka juga merasa berhak mendapatkan keistimewaan dalam hukum. Sehingga, tidak sedikit dari mereka yang tersandung masalah hukum. Seperti kasus yang terjadi di Banjarmasin. Ada dua oknum polisi yang diduga menjadi pelaku perampasan sepeda motor. Kasus lain terjadi di Lubuklinggau. Ada oknum aparat yang menjadi dalang pembobolan mesin ATM.

Lembaga dan penegak hukum dalam sistem ini sedang mengalami krisis identitas sebagai pengayom publik. Ironisnya, serangkaian kasus di atas hanya kasus baru yang terungkap di atas permukaan. Yang di bawah permukaan boleh jadi lebih banyak lagi. Mereka yang seharusnya menyelesaikan permasalahan publik, nyatanya menjadi pelaku bahkan memberikan ruang praktik gadai hukum.

Benar ada anggapan bahwa hukum saat ini tajam ke bawah tumpul ke atas. Hal ini terjadi lantaran yang menjadi korban atau tumbal adalah rakyat kecil. Mereka pasti tidak akan mampu menyediakan mahar yang diminta oleh oknum penegak hukum untuk menyelesaikan atau menyelidiki kasus yang menimpanya. 

Adakalanya juga terjadi ketika  masyarakat mengadukan kehilangan kambing, maka biaya atas pengungkapan atau penyelidikan kasusnya itu bermahar seharga sapi. Ini belum termasuk kasus aparat yang bermain hakim sendiri, dan mudah tersulut emosi ketika  menghadapi konflik. Tak heran, ada kasus penembakan kucing yang dianggap sebagai pembawa kotoran. Naas, hilang sudah rasa perikemanusiaan saat emosi meledak-ledak tak tertahankan, dan saat main tembak-tembakan seperti merendahkan harga nyawa manusia dan kehidupan.

Dengan demikian, wajar saja apabila masyarakat mengeluhkan bahwa institusi penegak hukum sudah kehilangan kapabilitas dan kredibilitasnya sebagai pengayom yang sejatinya memberikan rasa aman untuk masyarakat. Para pejabat dan penegak hukum ini seharusnya memberikan rasa aman, adil dan tenang kepada masyarakat yang terlibat kasus hukum atau konfik sosial. Agar mereka mempunyai secercah harapan untuk masa depan. Namun, bagaimana rasa itu akan terwujud, ketika aparatnya sendiri yang menjadi dalang dari kekisruhan? 

Inilah realita kondisi kepolisian saat ini. Dalam Islam, lembaga penegak keadilan atau lembaga peradilan mempunyai tugas:
- Menyelesaikan masalah (perselisihan) konflik di antara masyarakat.
- Mencegah setiap bentuk tindak kejahatan. 
- Menyelesaikan perselisihan antara rakyat dan pejabat. 

Dalam Islam, tidak ada istilah KKN (kolusi, konspirasi dan nepotisme) saat menetapkan keadilan.  

Dalam struktur pemerintahan Islam, terdapat Departemen Keamanan Dalam Negeri yang memiliki cabang di setiap wilayah. 
Cabang ini dikepalai oleh seorang Kepala Kepolisian Wilayah. Salah satu tugas dari departemen ini adalah mengurusi setiap bentuk gangguan keamanan, berupa penjagaan keamanan di dalam negeri melalui "syurthah" (satuan kepolisian). Dengan demikian, kepolisian  terkoordinasi di dalam departemen keamanan yang menjadi kesatuan terbaik. Itulah prajurit-prajurit Islam yang tangguh.

Ada pula peradilan yang berperan memberikan eksekusi hukum bagi para pelaku kejahatan. Satuan kepolisian dalam negara khil4f4h bertugas untuk membantu pelaksanaan hukuman yang telah ditetapkan oleh Qadhi. Maka, apakah layak kita masih tetap bertahan dengan keyakinan pada sistem saat ini? Ataukah beralih kepada sistem yang melahirkan para penegak hukum yang mampu menjadi pengayom dan penegak keadilan kapabel dan kredibel?  

Wallahu a’lam bishshawab

Baca juga:

0 Comments: