Headlines
Loading...

Oleh : Ummu Fahhala
(Pegiat Literasi dan Komunitas Peduli Umat)

Belakangan ini masyarakat beramai-ramai menolak aturan yang memperbolehkan mantan koruptor menjadi calon anggota legislatif (caleg) DPR, DPD, serta DPRD di Pemilu 2024 mendatang, karena para eks koruptor dianggap telah merugikan rakyat dan negara, sehingga tidak layak menjadi pelayan publik. (cnnindonesia.com, 26/8/2022).


Mantan napi koruptor boleh menjadi calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 2024 berkat keputusan Mahkamah Agung (MA) No.30 P/HUM/2018.

Dalam keputusan itu, gugatan Lucianty dikabulkan MA, gugatan terkait  larangan mantan napi koruptor menjadi caleg yang diatur Pasal 60 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2018. Beberapa alasan MA di antaranya karena Hak Asasi Manusia (HAM) terutama hak politik warga negara untuk dipilih dan memilih, selain itu juga alasan tumpang tindihnya peraturan.

Untuk memperkuat argumennya, MA menyitir Pasal 73 UU HAM terkait pembatasan HAM hanya bisa dilakukan melalui undang-undang sedangkan KPU mengatur larangan eks napi koruptor nyaleg hanya melalui peraturan KPU, bukan undang-undang. Di sisi lain MA menyatakan bahwa UU Pemilu tidak mengatur rinci larangan mantan napi koruptor untuk nyaleg. Oleh karena itu, larangan tersebut merupakan norma baru yang tak diatur oleh undang-undang.


MA  menyatakan bahwa ketentuan tersebut harus dinyatakan bertentangan dengan UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu juncto UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 73 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM  juncto UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.


Kemudahan kepada para mantan koruptor d negeri ini tidak hanya itu saja, sempat diberitakan bahwa ratusan orang narapidana korupsi pada 17/08/2022 lalu telah mendapatkan remisi hukuman dalam rangka Hari Kemerdekaan ke-77 RI. Beberapa narapidana langsung mendapatkan remisi umum dua, yakni bebas langsung.  Dari penuturan Thurman Hutapea sebagai Direktur Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produksi Ditjenpas Kemenkumham, ada 421 orang narapidana kasus korupsi yang menerima pengurangan masa hukuman penjara. Dari jumlah itu, empat orang di antaranya langsung bebas. 

Banyak pro dan kontra terkait masalah ini karena seolah-olah tidak ada efek jera dari negara bahkan justru memberikan peluang untuk berkuasa kembali, di sisi lain hal tersebut akan membuat stigma negatif terhadap keseriusan pemberantasan korupsi untuk perbaikan bangsa.


*Korupsi Marak dalam Sistem Kapitalisme*

Maraknya korupsi dalam sistem kapitalisme merupakan sesuatu yang jamak, karena manfaat materi yang dijadikan tolok ukur perbuatan sehingga meniscayakan lahirnya manusia-manusia serakah yang tidak akan pernah merasa cukup dengan gaji atau pendapatan yang diperoleh dari jalan yang halal, tetapi selalu mencari celah untuk menumpuk harta dari jalan haram sekalipun. 
Keserakahan tersebut sering kali menutup akal sehat sehingga menurunkan derajat seseorang yang semula mulia di mata masyarakat. Begitu pula, keserakahan tersebut telah membuat kerasnya hati para pemimpin negeri yang korup. 

Di sisi yang lain, mahalnya ongkos politik dalam sistem demokrasi menjadi alasan kuat untuk mengembalikan harta yang telah digunakan dalam pertarungan menuju kursi kekuasaan agar balik modal.  Tidaklah heran jika pejabat publik dan aparat hukum sekalipun saling bahu-membahu menilap uang rakyat di setiap kebijakan yang dibuat. Aksi korupsi bukan lagi perorangan, tetapi sudah sistemik. Para mantan koruptor yang masih berani “nyaleg” lagi,  entah urat malunya sudah hilang ke mana.


*Pandangan Islam terhadap Korupsi*

Dalam fikih Islam, memang tidak ada istilah khusus untuk korupsi. Modus korupsi bisa berupa penggelapan atau penyelewengan uang negara,  suap-menyuap atau risywah, penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang, modus lainnya yakni project fee  (hadiah atau hibah) yang tidak sah, dapat dikategorikan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa’in. (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31).


Semua modus korupsi tersebut adalah harta yang hukumnya haram dalam Islam karena diperoleh melalui jalan yang tidak sesuai syariat (ghairu al-masyru’). Sungguh Allah Swt melarang keras memakan harta dengan cara yang batil tersebut.
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ࣖ
“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 188)


Demikian pula, Rasulullah saw. melaknat perilaku yang demikian. Dari sahabat Abu Hurairah ra., beliau mengatakan, “Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap.” (HR Tirmidzi dan Ahmad)


Negara Islam secara adil dan tegas akan memberikan sanksi (uqubat) berupa takzir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sanksinya mulai dari yang paling ringan, seperti pemberian nasihat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), dihukum cambuk, sampai sanksi yang paling berat, yakni hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat atau ringannya hukuman takzir  disesuaikan dengan berat atau ringannya kejahatan yang dilakukan. (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78—89).

Hanya dengan penerapan sistem Islam maka semua bentuk korupsi akan hilang, melalui mekanisme pencegahan dan penanggulangannya yang komprehensif, good goverment dan good governance tercipta dan terbukti sepanjang sejarah Islam.

Baca juga:

0 Comments: