
OPINI
Menjanda Ramai-Ramai: Problem atau Solusi?
Oleh: Nanik Farida Priatmaja, S.Pd
Miris! Kini menjanda seolah bukan masalah tabu, bahkan fenomenal terjadi di berbagai daerah. Gelar janda seolah menjadi pilihan wanita zaman now dalam rangka mengakhiri permasalahan dengan pasangan. Benarkah demikian?
Dilansir dari laman Bangka Pos.com, (16/9/2022), Ribuan wanita di Gresik menjanda setiap tahunnya. Angka percerai yang tinggi tersebut disebabkan para istri menggugat cerai suaminya. Humas Pengadilan Agama (PA) Gresik Kamaruddin mengatakan, dalam setahun rata-rata angka perceraian mencapai 3 ribu. Pada 2022, tepatnya data Agustus, angka perceraian sudah mencapai angka 2 ribu lebih. Sekitar 90 persen sampai 85 persen cerai gugat.
Tak dimungkiri kasus perceraian bak jamur di musim hujan. Tak malu-malu dan penuh keceriaan sesosok perempuan muda dengan bangga mengunggah video di media sosial dengan wajah ceria usai persidangan perceraian di pengadilan agama. Unggahan tersebut jelas menuai pro-kontra di kalangan warganet. Dari komentar pedas hingga dukungan sesama wanita yang merasa senasib.
Fenomena gugat cerai sebenarnya tak hanya terjadi saat ini saja namun sudah sejak beberapa tahun silam. Hanya saja adanya media sosial menjadikan kasus perceraian semakin nampak dan diketahui publik. Disatu sisi, pelaku perceraian memang tak lagi merasa malu atas permasalahannya. Bahkan seolah menjadi solusi terbaik bagi kehidupan rumah tangga.
Kasus perceraian sebagian besar disebabkan faktor ekonomi, bahkan menjadi pemicu terbesar kasus gugat cerai istri terhadap suami. Faktor ekonomi memang selalu berkaitan dengan keharmonisan kehidupan rumah tangga. Ketika seseorang suami tak mampu memberikan nafkah yang layak, hal ini jelas sangat membebani istri sebagai pengatur keuangan dalam keluarga. Apalagi di tengah derasnya gaya hidup hedonis dan penerapan sistem kapitalisme, naiknya harga barang dan jasa, sulitnya lapangan kerja, mahalnya biaya kesehatan, pendidikan, transportasi dan sebagainya jelas menjadikan kehidupan terasa sempit.
Tak dimungkiri faktor ekonomi juga menjadi penyebab terjadinya kasus KDRT. Suami yang merasa tak mampu menunaikan tugasnya memberi nafkah yang layak, tak jarang merasa tertekan dan berefek pada jalinan komunikasi suami istri. Komunikasi yang buruk antar suami istri pun tak jarang berakhir pada KDRT. Meski demikian zaman now, seorang istri tak lagi merasa takut atau berdiam diri ketika mengalami KDRT. Banyak pihak yang mewadahi atau mendampingi proses hukum bahkan memberikan layanan khusus bagi korban KDRT.
Keberadaan media sosial selama ini juga cukup "efektif" bagi korban KDRT dalam mencari solusi seperti mengunggah kisah pribadinya yang kemudian mendapatkan respon dari para netizen. Netizen pun tak segan mencarikan perlindungan hukum bagi korban KDRT melalui sesosok pengacara ternama atau lembaga sosial perlindungan perempuan dan anak. Meski tak selalu berakhir manis, yang pasti keberadaan media sosial, netizen kritis, lembaga bantuan hukum serta peran pengacara menjadikan istri korban KDRT tak lagi takut menghadapi permasalahannya.
Lantas bagaimana nasib si suami? Kepada siapakah ia mencari keadilan? Gelar pelaku KDRT selama ini faktanya semakin mempersempit gerak para lelaki. Menyandang status duda dan tak jarang pula masuk bui. Padahal bisa jadi penyebab terjadinya KDRT tak lain karena perilaku si istri. Yang pasti banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya KDRT baik internal ataupun eksternal. Selain itu definisi KDRT selama ini memang sangat rawan disalahgunakan pihak-pihak yang berupaya mereduksi peran suami dalam kehidupan rumah tangga. Semisal seorang suami memiliki kewajiban dalam mendidik istri, sehingga ketika terjadi ketidaktaatan istri pada suami seharusnya si istri memang butuh pembinaan dengan cara yang baik (tanpa menyakiti fisik atau psikis).
Maraknya gugat cerai istri terhadap suami sebenarnya bukan masalah individu dengan sesama individu. Namun akibat dampak sistemik penerapan sistem sekuler kapitalisme. Kapitalisme telah sukses menjadikan hidup terasa sempit. Apalagi bagi rakyat menengah ke bawah. Memenuhi kebutuhan hidup, mendapatkan pendidikan yang layak, jaminan kesehatan dan rasa aman begitu sulit terpenuhi.
Kaum laki-laki sebagai pencari nafkah jelas sangat tak mudah. Minimnya lapangan kerja, besaran gaji yang murah, mahalnya biaya transportasi semakin membebani kaum lelaki. Apalagi jika kaum lelaki tak pernah mengenyang pendidikan, tidak punya skill dan minim pengalaman kerja jelas sangat menyulitkan dalam mencari nafkah. Kalaupun bekerja, hanya mendapatkan gaji yang jauh dari layak. Wajar bermunculan para pelaku kriminal yang menghalalkan segala cara demi bisa bertahan hidup atau menghidupi keluarganya.
Posisi kaum perempuan yang bergelar istri pun amatlah terjepit. Bobroknya kondisi ekonomi menuntut para istri harus kreatif (punya penghasilan sendiri), sehemat mungkin membelanjakan uang, menjaga kewarasan, selektif memilih teman maupun tontonan agar tak mudah terpengaruh gaya hidup ala selebritis.
Tak sedikit istri zaman now yang bergaya selangit padahal isi dompet tipis. Tak jarang pula bergaul dengan teman-teman yang doyan nongkrong di cafe, gila belanja, berselfi ria di tempat wisata, ngikut berbagai arisan dan segala pernak-pernik gaya hidup hedonis lainnya. Bagaimana mungkin para suami bisa tenang? jika tuntutan istri level tinggi sedangkan gaji tak mencukupi. Disatu sisi gaji suami tak naik padahal harga kebutuhan pada naik. Lengkap sudah permasalahan yang makin pelik. Derita suami seolah tak pernah usai.
Gaya hidup hedonis adalah produk sistem sekuler kapitalisme. Menjadikan kepuasan materi menjadi standar kebahagiaan manusia. Wajar manusia berlomba-lomba mencari pemuasan atau kesenangan sesaat tanpa memperhatikan halal-haram ataupun baik-buruk. Sekularisme menjadikan manusia tak mau menggunakan aturan Tuhan dalam kehidupan. Sehingga melakukan apapun yang disuka meski merugikan manusia lainnya ataupun masa depannya. Tak pernah punya tujuan hidup yang jelas selain mengejar kesenangan duniawi.
Islam memandang kehidupan suami istri layaknya persahabatan. Selain menjaga, memberi rasa aman, nyaman, bekerjasama menunaikan perannya masing-masing. Suami sebagai pemimpin, pencari nafkah, menyayangi istri dan keluarga dan sebagainya. Istri sebagai pengatur rumah tangga, mengerjakan pekerjaan domestik, mengatur keuangan, merawat dan mendidik anak, menaati suami dan sebagainya. Peran suami atau istri sama-sama peran mulia di hadapan Allah SWT. Allah menempatkan posisi laki-laki dan perempuan sesuai fitrahnya bukan menjadikan satu lebih tinggi dari yang lainnya. Ketakwaanlah yang membedakan posisi makhluk di hadapan Allah.
Dalam kehidupan rumah tangga memang terkadang terjadi ketidakcocokan satu sama lain. Hal ini sebenarnya manusiawi. Sehingga pastinya akan selalu ada solusi bagi setiap permasalahan semisal problem suami istri. Jika keduanya berpegang teguh terhadap syariat Allah, maka akan mengembalikan segala permasalahan kepada Allah.
Banyaknya istri gugat cerai suami dengan alasan ekonomi, sebenarnya bisa dengan mudah tersolusi. Pasangan suami istri (pasutri) haruslah bersikap qonaah, sabar, ikhlas menerima takdir, saling memaafkan, saling menghormati, saling memuliakan, saling memotivasi dan yakin akan pertolongan Allah yang pastinya akan dimudahkan menyelesaikan permasalahan pasutri.
Sayangnya tak sedikit kaum muslim saat ini yang terjebak pragmatis, gaya hidup hedonis, pemikiran sekuler kapitalisme sudah mendarah daging sehingga merasakan kesempitan hidup yang luar biasa. Wajar antar pasutri tidak mudah memaafkan, saling menuntut, saling menyalahkan, egois, bahkan lari dari masalah atau melakukan perbuatan maksiat semisal selingkuh, memakai narkoba, melakukan tindak kriminal bahkan bunuh diri. Nauzubillah
Ada banyak hal yang bisa dilakukan masing-masing pasutri dalam menguatkan karakter diri atau mempertahankan keutuhan rumah tangga yakni rajin menuntut ilmu Islam, tak mudah menyerah, berteman dengan orang-orang atau komunitas yang baik (saling menasehati), bergabung dengan jamaah dakwah yang memiliki visi misi hidup yang jelas baik di dunia dan akhirat sehingga tak takut menghadapi permasalahan.
Tak ada masalah yang tak ada solusi. Ketika pasutri dilanda permasalahan bisa jadi perceraian menjadi solusi bagi keduanya. Meski dalam Islam, perceraian diperbolehkan dan memang adanya syariat perceraian dalam rangka memberikan solusi terbaik bagi pasutri. Akan tetapi Allah membenci perceraian. Sehingga seharusnya kaum muslim menghindari perceraian jika tidak dalam kondisi genting semisal ketika salah satu pasangan berpotensi menghilangkan nyawa atau melakukan kedzaliman yang nyata.
Tak dimungkiri konflik pasutri zaman now disebabkan banyak faktor baik internal dan eksternal. Misalnya secara internal, banyak individu yang sebenarnya masih belum siap atau layak menjalani kehidupan rumah tangga. Masih belum memahami perannya sebagai suami atau istri, sehingga rawan konflik, saling menuntut bahkan melanggar syariat. Hal ini jelas akibat penerapan sistem pendidikan sekuler yang mencetak generasi yang tidak memiliki bekal dalam menjalani kehidupan. Sistem pendidikan sekuler hanya fokus dalam capaian kognitif semata. Tak mampu membentuk generasi berkepribadian mulia yang tangguh menghadapi tantangan zaman.
Sistem ekonomi kapitalistme liberal menjadikan kaum lelaki begitu sulit menunaikan tugasnya yakni memberikan nafkah yang layak bagi keluarga. Negara tak mampu menyediakan lapangan kerja yang luas dan gaji yang layak bagi pekerja. Berbeda dengan sistem Islam yang benar-benar menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi rakyatnya. Pengelolaan sumber daya alam oleh negara sepenuhnya akan mampu memberikan peluang lapangan kerja yang luas bagi rakyat.
Negara Islam pun juga bertanggung jawab menjamin atas kesejahteraan rakyat. Bukan berdasarkan gender semata. Laki-laki dan perempuan mendapatkan kesempatan yang sama dalam segala bidang (sistem pendidikan, politik, ekonomi, sosial) sesuai fitrahnya. Hal ini jelas akan mampu mencetak generasi yang memiliki visi misi yang kuat dan mampu menghadapi tantangan zaman.
Jika kini terjadi fenomena menjanda ramai-ramai, hal itu bukanlah solusi bahkan malah menambah permasalahan baru yakni terciptanya generasi yang haus kasih sayang, kehilangan sosok ayah atau ibu, tidak memiliki teladan dalam keluarga. Bahkan lebih parahnya lagi akan terdapat dampak sosial yakni kriminalitas yang makin parah yang disebabkan tingginya angka perceraian. Semisal pergaulan bebas, perzinahan, dan sebagainya. Walhasil menjanda ramai-ramai tak menjamin mampu menjadi solusi bagi pasutri di tengah krisis multidimensi. Saatnya kembali ke sistem Islam yang penuh kemuliaan.
Baca juga:

0 Comments: