Headlines
Loading...
Migrasi Kompor Listrik, Buah dari Liberalisasi Kelistrikan*

Migrasi Kompor Listrik, Buah dari Liberalisasi Kelistrikan*


Ummu Faiha Hasna

Baru - baru ini, ramai diperbincangkan persoalan terkait penggunaan kompor listrik atau industri pada rumah tangga kecil dan kurang mampu yang sedang digiatkan pemerintah melalui PT. PLN. Menteri ESDM Menjelaskan upaya ini guna mengatasi kondisi kelebihan daya atau surplus listrik yang dialami PT. PLN. Akankah migrasi kompor listrik ini mengurangi beban hidup masyarakat. Bagaimana islam memandang hal ini?


Dikutip dari bisnis.tempo.co, Jumat 23 September 2022, Menteri beralasan pemerintah menggenjot penggunaan kompor listrik dan kendaraan listrik belakangan ini. Hal tersebut tak lepas dari upaya mengatasi kondisi kelebihan pasokan daya atau surplus listrik yang dialami PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN.

Ia menjelaskan, untuk mengatasi kelebihan pasokan, maka perlu permintaan daya listrik oleh masyarakat perlu digenjot. Salah satunya dengan penggunaan kompor listrik dan kendaraan listrik. Program yang didorong itu juga untuk menyalurkan kelebihan pasokan listrik yang tengah dialami PLN agar mengurangi beban atas pembayaran take or pay.

Adapun tahun ini pemerintah berencana memberikan paket kompor listrik ke 300.000 orang. Paket tersebut diberikan secara gratis sebagai implementasi dari program konversi kompor listrik dari kompor LPG 3 kg pada tahun ini.

Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio memperkirakan bahwa kebijakan konversi kompor elpiji ke kompor listrik adalah untuk meringankan beban PLN yang disebabkan oleh over suppley listrik yang ada di Jawa, Sumatera, sebagian besar Kalimantan dan Sulawesi. ( news.detik.com)

Akhir tahun ini saja, akan ada over supply sekitar 7,4 Gw, sedangkan setiap 1 Gw beban operasionalnya mencapai 3 triliun rupiah per tahun.

Memang benar bahwa penggunaan konveksi kompor gas ke kompor listrik menguntungkan pihak PLN, namun, sejatinya tidak bagi mayarakat. Sebagian pihak menilai bahwa penggunaan kompor listrik hanya akan menambah beban hidup masyarakat sebab, persoalannya bukan pada masyarakat mampu membeli kompor listrik atau tidak, akan tetapi biaya listrik terbilang mahal. Ditambah lagi adanya rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik dalam waktu dekat. Sehingga solusi membagikan kompor listrik untuk menyukseskan program ini tidak akan meringankan beban masyarakat. Sebab, masyarakat harus menanggung biaya listrik yang mahal tiap bulannya jika beralih menggunakan kompor listrik.

Jika pemerintah nantinya memaksakan migrasi kompor listrik ini, maka pelaku UMKM dan para pelaku usaha lainnya juga adalah pihak yang dirugikan dan tidak menutup kemungkinan harga barang ikut naik sehingga mempengaruhi perekonomian masyarakat. Karena itu, penerapan kompor listrik di Indonesia bukan sebuah solusi yang harus dilakukan jika harga tarif listrik masih tinggi.

Kebijakan pemerintah yang hanya berbentuk instruksi presiden ini hanya akan menguntungkan pihak tertentu. Dalam hal ini adalah PLN. Sebagaimana diketahui saat ini, kepemilikan usaha PT. PLN tidak murni dikuasai negara, tetapi sudah melibatkan pihak swasta. Sejak Undang - Undang ketenagakerjaan No.20 tahun 2022 disahkan, diterapkan unbundling vertikal yang memisahkan proses bisnis PLN menjadi beberapa usaha yaitu pembangkit tenaga listrik, transmisi listrik, distribusi listrik dan penjualan tenaga listrik. Sejak itu pula, proyek swastanisasi atau liberalisasi kelistrikan dimulai.

Sejatinya, kebijakan baru ini tentu saja hanya menyakiti hati rakyat. Saat kondisi ekonomi rakyat makin sulit dan pemerintah berdalih kekurangan dana pembiayaan negara, pemerintah malah meluncurkan program konversi kompor listrik. Padahal, sudah jelas, program tersebut membutuhkan biaya besar dan kebijakan ini jelas hanya menguntungkan para pemilik modal yang terjun dalam bisnis kelistrikan.

Persoalan liberalisasi kelistrikan ini tidak akan pernah usai selama sistem ekonomi  kapitalis dan sistem politik demokrasi masih dijadikan sebagai kebijakan. Sebab, sistem ini telah meliberalisasi sumber daya penghasil listrik sehingga boleh diprivatisasi oleh individu maupun kelompok masyarakat.

Sangat berbeda jauh dengan sistem Islam, yang diterapkan di bawah sistem politik Islam yakni Khil4f4h. Khil4f4h memiliki aturan yang paripurna karena mengadopsi sistem yang berasal dari Allah Subhanahu wata'ala yang menciptakan manusia dan alam semesta ini.

Dalam Islam, listrik merupakan milik umum. Dilihat dari dua aspek, aspek pertama, listrik yang digunakan sebagai bahan bakar masuk dalam kategori "Api" yang merupakan milik umum. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wasallam bersabda :
" Kaum Muslimin berserikat dalam tiga perkara, yakni padang rumput, air dan api." ( HR. Abu Dawud & Ahmad)

 Termasuk dalam kategori api tersebut adalah berbagai sarana dan prasarana penyediaan listrik seperti tiang listrik, gardu, mesin pembangkit dan sebagainya. Aspek kedua, sumber energi yang digunakan untuk pembangkit listrik baik oleh PT PLN maupun swasta, sebagian besar berasal dari barang tambang yang deposinya besar seperti migas dan batu bara yang juga milik umum.
Karena milik umum, bahan tambang seperti migas dan batu bara haram dikelola secara komersial baik oleh perusahaan milik negara maupun pihak swasta. Juga haram hukumnya mengomersialkan hasil olahannya sebagaimana listrik. Dengan demikian, pengelolaan listrik tidak boleh diserahkan pad pihak swasta apapun alasannya. 

Negara bertanggungjawab sedemikian rupa sehingga setiap individu terpenuhi kebutuhan listriknya baik dari sisi kualitas maupun kuantitas serta dengan harga murah bahkan gratis untuk seluruh rakyat baik kaya maupun miskin, muslim ataupun non muslim. Karena itu, jika Khil4f4h memutuskan kebijakan penggunaan kompor listrik, maka tentu masyarakat tidak akan terbebani. 

Alhasil, hanya dengan sistem pemerintahan Islamlah yakni Khil4f4h yang dapat menerapkan konsep kepemilikan Islam dan memosisikan listrik sebagai kebutuhan  umat yang wajib dipenuhi negara. Sistem ini pula yang akan menghimpun penguasa yang amanah dan terbebas dari setiran pihak manapun. Wallahu A'lam biShawab.

Baca juga:

0 Comments: