Headlines
Loading...
Oleh : Ummu Fahhala (Pegiat Literasi dan Komunitas Peduli Umat)

Orang-orang berebut ingin menjadi PNS, TNI dan Polri, diantara motivasinya adalah akan mendapatkan gaji tetap dan juga tunjangan pensiun serta memberikan gambaran jelas penghasilan di masa yang akan datang sampai masa tua. Hal itu seolah-olah memberikan harapan besar apalagi di zaman kapitalis sekarang yang serba tidak jelas dan susah. Tapi justru sekarang ini pemerintah malah menilai tunjangan bagi pensiunan dianggap membebani APBN, bagaimana pandangan Islam terkait hal ini?

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati baru-baru ini menyebut jumlah beban negara akibat sistem tunjangan pensiun PNS, TNI dan Polri yang nilainya mencapai Rp. 2.929 triliun. (FAJAR.CO.ID, Jakarta  26 /8/2022)

Isa Rachmatarwata, Direktur Jenderal Anggaran mengatakan angka itu adalah kewajiban dalam jangka panjang program dana pensiun 2021. Nilai kewajiban itu dibuat berkaitan dengan skema pensiun PNS pay as you go yang saat ini diterapkan (cnnindonesia.com, 29/8/2022)

Jadi beban pensiun terbagi menjadi dua, pertama, kewajiban jangka panjang program pensiun pegawai aktif sebesar Rp. 1.427 triliun. Kedua, kewajiban terhadap pensiunan sebesar Rp. 1.502 triliun. Tanggungan itu pun terbagi menjadi dua yaitu kewajiban terhadap pegawai pemerintah pusat Rp. 935 miliar dan pegawai pemerintah daerah  Rp. 1.994 triliun.

Menurut pemerintah jumlah anggaran pensiun tersebut terlalu besar dan membebani keuangan negara dalam jangka waktu yang panjang, karenanya  Menteri Keuangan Sri Mulyani ingin merombak skema dana pensiun pay as you go menjadi fully funded

Sistem pay as you go adalah pendanaan langsung oleh pemerintah yang diambil dari APBN, namun sebenarnya dalam pendanaan tersebut ada uang dari PNS itu sendiri. Berdasarkan situs resmi TASPEN, iuran program pensiun diambil dari 4,75 % dikali penghasilan sebulan yakni  gaji pokok ditambah tunjangan keluarga para PNS.

Meskipun demikian pemerintah mengatakan sistem pay as you go dinilai tidak terlalu efektif karena setiap tahunnya APBN mengalami pembengkakan dengan peningkatan beban anggaran yang mencapai Rp. 5 triliun, sementara sistem dana pensiun dengan skema fully funded dihitung dari pendapatan penuh yang dibawa pulang atau take home pay (THP), skema sistem ini membuat besaran dana pensiun bisa ditentukan dan disesuaikan sendiri oleh pegawai. 

Sangat bisa dipahami, mengapa pemerintah merasa dana pensiun menjadi beban negara, karena dalam sistem ekonomi kapitalsime, negara tidak menjadi penanggung jawab urusan rakyatnya dan juga kapitalisme tidak memiliki APBN yang kokoh karena sumber pemasukannya sebagian besar berasal dari pajak dan utang. Hasilnya, negara akan ‘perhitungan’ meski kepada rakyatnya sendiri termasuk para PNS-nya. Jiwa-jiwa bisnis yang sarat dengan ‘untung rugi’ menjadi corak setiap kebijakannya. Maka wajar jika terlontar pernyataan ‘dana pensiun beban APBN, beban negara’. 

Padahal merekalah yang menjadi beban pegawai karena telah memotong gaji mereka dengan seabrek iuran. Sistem kapitalisme sudah terbukti gagal menjamin kesejahteraan para pegawai negara sipilnya. 

Kesejahteraan PNS sebenarnya tidak akan menjadi beban negara jika urusan tersebut diatur oleh Islam, karena Islam memiliki mekanisme untuk mengatur kepegawaian dan jaminan dana pensiun. Hanya saja sistem ini membutuhkan peran negara yang menerapkan aturan Islam secara kaffah termasuk sistem ekonominya.

Syaikh Taqiyyuddin an Nabhani, seorang mujtahid besar menjelaskan mekanisme dan sistem ekonomi Islam dalam salah satu kitabnya yang  berjudul “ Nidzamul Iqtishadiyah (Sistem Ekonomi Islam) bab ‘pemasukan dan pengeluaran Baitul Mal. Baitul Mal adalah lembaga keuangan khilafah yang memiliki tiga pos pemasukan yakni pos kepemilikan negara, pos kepemilikan umum dan pos zakat. Masing-masing pos tersebut memiliki jalur pemasukan dan pengeluaran masing-masing.

Pos kepemilikan negara bersumber dari harta fa’i, kharaj, usyur, jizyah, ghanimah, ghulul, dharibah dan sebagainya. Salah satu alokasi dana pos ini digunakan untuk menggaji para tentara, pegawai negeri, hakim, tenaga edukatif dan pihak-pihak yang sudah memberi jasa kepada negara. Adapun besaran gaji yang akan didapatkan oleh para pegawai sangat besar, seperti apa yang dilakukan Umar bin Khaththab r.a ketika mengatur gaji pegawai, dalam buku ‘Fikih Ekonomi Umar bin Khaththab, Jaribah bin Ahmad Alharitsi’ dijelaskan bahwa gaji pegawai negeri diberikan jumlah tidak kurang dari batas kecukupan yakni sebaiknya sejalan dengan kondisi umum bagi umat. Artinya gaji tersebut secara ma’ruf memenuhi kebutuhan pokok pegawai negara dan keluarganya. Dengan konsep ini Khalifah Umar bin Khatthab mampu memberi gaji guru di Madinah yang merupakan guru anak-anak sebesar 15 dinar, jika dikonversikan ke dalam rupiah maka setara dengan  Rp. 62.156.250 (1 dinar = 4,25 gram emas, 1 gram emas 24 karat senilai Rp. 975.000). Bisa dibayangkan berapa gaji para pegawai negeri lainnya.

Begitu pula pada masa kekhalifahan Shalahuddin al-Ayyubi, pada saat itu Syaikh Najmuddin al-Khabusyani menjadi guru di Madrasah al-Shalahiyyah setiap bulannya digaji 40 dinar ditambah 10 dinar untuk mengawasi wakaf madrasah, gaji tersebut setara dengan Rp. 207.187.500, angka yang luar biasa fantastis.

Senada dengan itu Syaikh Taqiyyuddin an Nabhani dalam kitabnya ‘Muqaddimah ad Dustur’ bab kepegawaian menjelaskan bahwa “ Seluruh pegawai yang bekerja pada negara Khilafah diatur sepenuhnya di bawah hukum-hukum ijarah yakni kontrak kerja, mereka akan mendapatkan perlakuan yang adil sesuai hukum syariah. Hak-hak mereka sebagai pegawai negara, baik posisinya sebagai pegawai biasa maupun direktur akan dilindungi oleh Khilafah. 

Para pegawai bekerja sesuai bidang masing-masing dan selalu diperhatikan hak dan kewajiban mereka sebagai rakyat. Artinya pegawai khilafah mendapat gaji dan jaminan sesuai yang ditentukan oleh hukum syariah, tidak akan ada potongan-potongan gaji bagi para pegawai negara, gaji mereka tentu lebih dari cukup karena untuk kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan akan dijamin langsung oleh khilafah. Artinya khilafah yang akan bertanggung jawab secara mutlak untuk menyediakan kebutuhan tersebut sehingga semua masyarakat, baik itu masyarakat biasa atau pegawai negara bisa mengakses atau menikmati layanan secara gratis.

Jaminan langsung ini dibiayai pos kepemilikan umum Baitul Mal yang bersumber dari pengelolaan SDA. Dari penjelasan ini dipastikan para pegawai Khilafah tidak akan pusing terkait dengan nasib mereka dimasa tuanya atau masa pensiun karena jaminan negara begitu besar. Penjaminan masa muda atau tua, pegawai negara atau rakyat umum semuanya akan sama-sama sejahtera dalam sistem Islam.

Baca juga:

0 Comments: