Headlines
Loading...
Peran Negara di Tanah Katulistiwa yang Kian Merana

Peran Negara di Tanah Katulistiwa yang Kian Merana


Oleh Nur Syamsiah Tahir
Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi AMK

Dilansir dari MediaIndonesia.com (18/9/2022), Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Ekologi Manusia IPB University Drajat Murtianto mengungkapkan bahwa 50% penduduk Indonesia mengalami kelaparan tersembunyi (hidden hunger). 

"Kualitas konsumsi pangan kita belum baik. Penelitian menunjukkan 1 dari 2 penduduk Indonesia tidak mampu membeli pangan hewani, buah, dan sayuran yang mengandung zat gizi mikro. Mereka mengalami kelaparan tersembunyi. Disebut kelaparan tersembunyi karena seringkali tanda-tandanya tidak nampak, namun sesungguhnya dampaknya sangat besar. Zat gizi mikro telah terbukti sebagai unsur gizi penting untuk peningkatan produktivitas kerja, kecerdasan dan imunitas,” jelasnya, dikutip dari laman resmi IPB University, Minggu (18/9). 

Zat gizi mikro seperti yang disampaikan oleh Drajat, berupa zat besi, yodium, asam folat, seng, vitamin A, dan zat gizi mikro lainnya. Adapun dampak kelaparan tersembunyi ini ternyata tidak main-main. Secara nasional, Indonesia dapat mengalami kerugian lebih dari Rp 50 triliun dari rendahnya produktivitas kerja akibat Anemia Gizi Besi (AGB). Angka ini belum termasuk biaya layanan kesehatan akibat defisiensi gizi mikro yang parah dan masalah-masalah gizi yang lain, lanjutnya.

Lalu untuk mengatasi problem ini, diajukanlah program penganekaragaman pangan, suplementasi, dan fortifikasi pangan yang disertai dengan higiene dan sanitasi lingkungan. Fortifikasi atau penambahan zat gizi tertentu pada pangan telah terbukti efektif dalam menurunkan kelaparan tersembunyi, sekaligus sangat cost-effective, tandas Drajat. 

Masih menurut Drajat, di berbagai negara umumnya biaya fortifikasi pangan untuk menanggulangi kurang yodium, vitamin A, dan zat besi itu kurang dari 0,5 persen dari harga produknya. Bahkan tidak ada biaya tambahan untuk pendistribusiannya sampai ke konsumen. Hal ini terjadi karena peranannya yang besar terhadap produktivitas kerja dan pendapatan. Apalagi program fortifikasi pangan merupakan bagian dari program pengentasan kemiskinan.

Terlebih lagi, selama ini pemerintah Indonesia telah menetapkan program fortifikasi pangan wajib untuk mengatasi Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKI) melalui fortifikasi garam. Adapun untuk mengatasi Anemia Gizi Besi (AGB), dapat diselesaikan melalui fortifikasi terigu. Sementara untuk mengatasi Kurang Vitamin A (KVA) melalui fortifikasi minyak goreng. 

Drajat juga melihat bahwa komitmen pemerintah melakukan fortifikasi pangan ke depan juga masih sangat kuat. Hal ini diwujudkan dengan dimasukkannya program fortifikasi pangan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024. Hanya saja, pelaksanaan fortifikasi garam beryodium ini menemui kendala dengan banyaknya industri garam yang tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Akibatnya, sampai saat ini target universal salt iodization belum tercapai. Bahkan baru 77 persen rumah tangga yang memenuhi syarat dalam mengonsumsi garam.

Berdasarkan paparan di atas, sungguh ini merupakan kondisi yang memilukan meski kemudian pemerintah juga menyodorkan solusi atas problem ini. Apa pasal? Karena faktanya, Indonesia adalah negeri yang diibaratkan tanah surga. Tongkat, kayu, dan batu bisa jadi tanaman, demikian potongan lirik lagu yang melegenda tersebut. Sehingga kondisi rakyat yang seperti ini tentu saja mengherankan bagi semua kalangan. Bahkan dunia pun mungkin akan terbelalak.

Namun, patut disadari bahwa fakta di negeri ini, dan di negeri-negeri lain yang mengalami kondisi yang sama tidak bisa dilepaskan dari sistem pemerintahan yang berjalan di negeri tersebut. Sebagaimana sistem pemerintahan yang diterapkan di negeri-negeri lainnya, Indonesia merupakan negeri dengan bentuk pemerintahan Demokrasi. Di mana fondasinya adalah sistem kapitalis sekuler atau "fashlud diin 'anil hayah" yaitu memisahkan agama dari kehidupan.

Dengan asas tersebut, maka semua sistem yang dilahirkan dalam mengatur negara dan pemerintahannya mengacu pada asas manfaat dan mengabaikan aturan agama. Bahkan agama hanya dipakai saat beribadah. Sebaliknya,  dalam urusan kehidupan yang meliputi urusan keluarga, kemasyarakatan, perekonomian, perdagangan, pendidikan, kesehatan, politik, dan pemerintahan, semuanya berdasarkan aturan yang dibuat oleh manusia itu sendiri, melalui penguasa yang duduk di kursi pemerintahan. Alhasil, aturan dan kebijakan yang dibuat pun sekadar mengarah pada unsur kemanfaatan secara materi. 

Sebagaimana pemaparan sebelumnya, problem kelaparan tersembunyi ini mengakibatkan rendahnya produktivitas kerja dan sebaliknya akan memperbesar biaya layanan kesehatan. Dari sini tampak bahwa yang diperbincangkan hanyalah unsur kemanfaatan. Produktivitas yang rendah akan memperkecil hasil (pemasukan), sedangkan besarnya biaya layanan kesehatan justru akan memperbesar pengeluaran negara. 

Selanjutnya, solusi yang ditawarkan adalah pengadaan program penganekaragaman pangan, suplementasi, dan fortifikasi pangan yang disertai dengan higiene dan sanitasi lingkungan. Ini pun mengacu pada kemanfaatan. Artinya,  dengan diwujudkannya program tersebut maka akan terselenggara bisnis-bisnis baru yang akan mendatangkan kemanfaatan berupa materi. Lalu, siapa yang akan bermain dalam bisnis tersebut? Tentu saja para pengusaha atau pemilik modal, melalui tender-tender yang digelar pemerintah.

Syahdan, inilah pola yang senantiasa akan diterapkan oleh para pengusung ideologi kapitalis sekuler. Rakyat hanya dijadikan ajang bisnis. Kekuasaan hanya dijadikan alat untuk mengeruk kekayaan.

Fakta ini jelas amat berbeda ketika ideologi Islam diterapkan. Dalam sistem Islam, penguasa atau pemimpin memiliki 2 fungsi yaitu sebagai raa'in (pemimpin) dan junnah (perisai/tameng). Bahkan Abdullah bin Umar pun menyampaikan bahwa Rasulullah saw. berkata, "Ketahuilah bahwa setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, seorang pemimpin umat manusia adalah pemimpin bagi mereka, dan ia bertanggung jawab dengan kepemimpinannya atas mereka."

Dengan berbekal keimanan yang kokoh, kedua fungsi tersebut sudah dijalankan oleh para Khalifah (kepala pemerintahan Islam) selama 14 abad. Realita juga menunjukkan bahwa pasang surut dalam kepemimpinan Islam adalah sunnatullah. Hanya saja, ketika kedua fungsi tersebut tetap dijalankan sesuai hukum syarak, maka Islam beserta umatnya mampu mencapai kesejahteraan dan kejayaannya.

Sebagaimana yang dicontohkan oleh sosok Umar bin Khattab ra. Beliau memanggul sendiri gandum ketika mengetahui ada rakyatnya yang kelaparan. Dengan menerapkan sistem Islam, penguasa akan berupaya memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan sandang. Meskipun terjadi musim kemarau dan terjadi paceklik, negara tetap mengupayakan keterpenuhan kebutuhan vital tersebut. Cara yang dipakai adalah dengan melobi rakyat yang kaya untuk memberikan pinjaman pada Baitul Mal. Kemudian didistribusikan pada rakyat yang membutuhkan. Bahkan jika dalam kondisi yang mendesak, negara justru akan memungut pajak pada rakyat yang kaya saja dan dalam masa tertentu sampai kebutuhan vital tersebut terpenuhi dan rakyat kembali sejahtera. 

Seperti itulah fakta yang terjadi selama kepemimpinan para Khalifah. Semua itu dilakukan semata-mata dalam rangka menjalankan perannya sebagai pemimpin sekaligus pelindung rakyat. Dimana peran dan tanggung jawab itu tetap ada selama menjadi Khalifah yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Dengan demikian fakta seperti itu jauh dari kata kemanfaatan berupa materi dan tentu saja bertolak belakang dengan fakta yang terjadi saat ini.

Bahkan ada peristiwa yang tercatat sampai kini, sesaat setelah pemungutan zakat pada masa Amirul mukminin Umar bin Abdul Aziz, Khalifah pada masa dinasti Umayyah. Pada waktu itu Yahya bin Sa'id, salah satu utusan pemungut zakat saat mendistribusikan zakat, dia sudah tidak menemukan lagi rakyat yang berhak menerima zakat. Hal ini membuktikan bahwa sistem Islam benar-benar telah mampu menyelesaikan semua problematika rakyatnya, termasuk problem kelaparan, kemiskinan, dan kesehatan.

Lalu, tunggu apa lagi? Mari kita terapkan Islam secara kafah, sehingga peran negara bisa terlaksana secara optimal dan tidak akan merana lagi,  khususnya di tanah katulistiwa ini. 

Wallahu a'lam bishawwab.

Baca juga:

0 Comments: