
OPINI
Polemik Konversi Kompor Listrik, Rakyat Kian Tercekik?
Oleh. Afiyah Rasyad
(Aktivis Peduli Ummat)
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Begitulah gambaran yang sangat pas dengan kondisi rakyat saat ini. Belum usai polemik kenaikan BBM dengan sejumlah implikasinya. Kini, polemik baru hadir berupa wacana konversi gas melon ke kompor listrik. Bukan tidak mungkin ke depannya jumlah tagihan listrik tiap individu rakyat meningkat mengingat kegiatan memasak merupakan salah satu sarana teknis memenuhi kebutuhan pangan yang sifatnya harian.
Akar Polemik Kompor Listrik
Wacana kebijakan konversi gas melon ke kompor listrik telah masuk tahap uji coba. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif membeberkan uji coba program peralihan kompor LPG 3 Kg ke kompor induksi atau kompor listrik saat ini dilakukan untuk seluruh golongan. Sekalipun pengguna mayoritas saat ini merupakan golongan masyarakat berpendapatan menengah ke atas (CNBCIndonesia.com, 23/9/2022).
Adapun alasan yang digunakan untuk mendukung konversi gas melon ke kompor listrik adalah beban subsidi gas melon yang kabarnya membengkak hingga Rp80 trilyun. Hal ini dipandang memberatkan APBN dan menjadi beban negara. Maka dari itu, wacana konversi gas 3kg ke kompor listrik muncul dalam arus kebijakan.
Namun demikian, ada pernyataan Menko Airlangga Hartarto bahwa konversi ini tak akan diberlakukan pada tahun ini (2022). Pemerintah memastikan program konversi kompor LPG 3 kilogram (kg) ke kompor listrik induksi tidak akan diberlakukan pada tahun 2022 (kontan.co.id, 24/9/2022).
“Dapat saya sampaikan bahwa pemerintah belum memutuskan, sekali lagi pemerintah belum memutuskan terkait program konversi kompor LPG 3 kilogram menjadi kompor listrik induksi,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Jumat (23/9), seperti dikutip dari laman setkab.go.id.
Penundaan waktu konversi tak lantas bisa membuat rongga napas rakyat lega. Pada hakikatnya, penundaan ini akan terwujud juga suatu waktu. Sebagaimana kabar kenaikan listrik pada awal September, tetapi dibantah pemerintah dengan alasan penyesuaian harga. Namun akhirnya, resmi juga dinaikkan oleh presiden. Polemik konversi ke kompor listrik ini ada peluang untuk direalisasikan.
Meski tak jadi tahun ini. Namun, ada peluang besar akan diterapkan di tahun-tahun berikutnya. Paradigma pemikiran negara penganut kapitalisme adalah menganggap pelayanan kepada rakyat merupakan beban. Berbagai dalih digunakan untuk meyakinkan setiap kalangan bahwa subsidi yang diberikan negara tidaklah tepat sasaran. Padahal, subsidi itu sendiri bukanlah pelayanan terbaik dari negara untuk rakyat.
Sebagaimana belasan tahun lalu, saat kompor minyak tanyah dikonversi ke kompor gas. Konversi yang dicanangkan ini juga dipikirkan semata untuk keuntungan negara alias penghapusan subsidi gas LPG. Lagi-lagi, rakyat akan kian tercekik bila kompor listrik terealisasi. Bukan tidak mungkin, tarif dasar listrik suatu saat juga akan naik sebagaimana sebelum-sebelumnya. Kalaupun tidak naik, tetap saja rakyat harus merogoh kocek lebih dalam untuk memenuhi kebutuhan pangan. Sebab, kegiatan memasak adalah kegiatan harian tiap dapur rumah tangga.
Beginilah watak kapitalisme. Menjadikan hubungan negara dengan rakyat laksana hubungan penjual dan pembeli. Seringkali negara hadir sebagai regulator semata. Sehingga distribusi pemenuhan kebutuhan gas LPG hanyalah sarana penjualan gas LPG itu sendiri pada rakyat. Begitu juga dengan kompor listrik nantinya. Setiap individu rakyatlah yang akan menanggung TDL yang telah disahkan oleh negara dan lembaga terkait. Sungguh wacana dan penundaan konversi kompor gas LPG 3 kg ke kompor listrik menjadi polemik yang akan membuat rakyat semakin tercekik.
Negeri berjuluk Zamrud Khatulistiwa ini merupakan salah satu penghasil minyak dan gas bumi terbesar di dunia. Jumlah produksinya sebesar 1,2 juta barel per hari. Artinya secara logika mestinya Indonesia mampu mencukupi kebutuhan LPG domestiknya. Hanya saja kandungan gas bumi di Indonesia adalah hidrokarbon berantai 1 dan 2. Sedangkan untuk membuat LPG dibutuhkan hidrokarbon berantai 3 dan 4. Sebenarnya bisa memproduksi gas LPG menggunakan rantai karbon 1 dan 2, hanya saja biasa kompresinya lebih mahal. Yang prospek adalah dalam bentuk LNG melalui jaringan gas (Jargas). Artinya ada banyak pilihan sebenarnya untuk sumber energi di dalam negeri selain LPG.
Namun demikian, perusahaan swasta dan asing banyak mengeksploitasi sumber daya alam negeri ini, termasuk migas. Selain itu, sebagaimana diketahui publik, ketergantungan impor negeri ini begitu membelenggu. Seakan menjadi candu, impor dalam ideologi kapitalisme jadi andalan selama ini. Wajar jika APBN bengkak. Namun ironisnya, di saat negeri ini maniak impor migas siap pakai, justru negeri ini mengekspor migas mentah ke negeri tetangga. Sungguh, paradigma pemikiran kapiralisme inilah yang menjadi akar polemik konversi kompor gas LPG ke kompor listrik.
Islam Menjamin Kebutuhan Migas Rakyat
Sudah masyhur diketahui khalayak bahwasanya ada tiga harta kepemilikan umum. Hal itu tertuang dalam hadis sahih bahwa kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yakni air, api (migas, listrik, dan tambang), serta padang gembala (termasuk hutan). Rasulullah saw. telah mengingatkan tiga perkara ini menjadi milik umum. Artinya, negara wajib mengelolanya dan mendistribusikan kepada seluruh rakyat secara murah sebagai ganti produksi bahkan gratis.
Sistem ekonomi Islam akan menegakkan kepemilikan sebagaimana syariat memerintahkan. Pengelolaannya tak boleh diserahkan pada swasta, individu atau korporasi (asing ataupun aseng). Eksploitasi dan monopoli sumber daya alam merupakan perkara yang diharamkan. Khalifah akan menindak tegas para wali, amil, ataupun pejabat depelartemen terkait jika menyelewengkan pengelolaan SDA pada pihak swasta dan untuk kepentingan bisnis.
Kebutuhan migas rakyat akan sangat diperhatikan oleh khalifah. Jaminan pemenuhannya ada di tangan khalifah sebagai periayah urusan umat. Sehingga, pengelolaannya akan diupayakan dengan sungguh-sungguh. Sumber daya manusia yang profesional dan amanah akan ditekrut sebagai ajir atau karyawan, bukan sebagai pemilik korporasi. Sementara untuk distribusi, khalifah akan memantau dan mengontrol setiap individu bisa memenuhi kebutuhan migasnya dalam urusan rumah tangga tanpa kendala sedikit pun. Sebab, khalifah sangat paham, melayani umat adalah tugas utamanya dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban di keabadian.
Sungguh, kehidupan dalam sistem Islam akan mendakan rahmat dan keberkahan dari langit dan bumi. Kontras dengan kondisi saat ini yang penuh derita dan kezaliman. Maka dari itu, saatnya penguasa muslim muhasabah atas sistem yang diterapkan dalam kehidupan bernegara. Kaum muslim pun wajib berjuang untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam agar Islam segara menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Wallahu a'lam.
Baca juga:

0 Comments: