Headlines
Loading...
Sistem Islam Mewujudkan Kesejahteraan Guru

Sistem Islam Mewujudkan Kesejahteraan Guru


Oleh: Desi 

Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Ungkapan ini sangat pantas disematkan bagi para guru, sebab perannya begitu besar bagi kemajuan suatu generasi. Pendidik tanpa tanda jasa memiliki tugas berat untuk menghasilkan generasi baik dan berakhlak mulia di masa depan.

Jika dilihat dari besarnya perjuangan mereka mencerdaskan anak bangsa. Dimana dari lisan dan teladannya membentuk generasi yang berkarakter. Mereka rela menjadi jembatan kesuksesan murid-muridnya. Maka akan sangat layak jika guru mendapatkan upah yang sebanding dengan pengabdiannya.

Namun baru-baru ini ada kabar yang mengejutkan para guru. Pasal tentang tunjangan profesi guru di dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) dikabarkan setelah dicermati, pasal tersebut hilang dari draft RUU Sisdiknas. Menurut Satriwan Salim, dikutip dari laman Republika.co.id, Ahad (28/8/2022). Dia menerangkan dalam RUU Sisdiknas Pasal 105 huruf a-h yang memuat hak guru atau pendidik, tidak satupun ditemukan klausul "hak guru mendapatkan Tunjangan Profesi Guru." Hal itu berbanding terbalik dengan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dalam UU tersebut pemerintah secara eksplisit jelas mencantumkan pasal mengenai Tunjangan Profesi Guru yang tercantum pada pasal 16 ayat 1.

Masih dari laman Republika.co.id, Kepala Bidang Advokasi P2G, Imam Zanatul Haeri, mengatakan para guru bersama organisasi profesi guru harus memperjuangkan sungguh-sungguh masuknya kembali mengenai pasal tunjangan profesi guru dalam RUU Sisdiknas.

Imam Zanatul Haeri merasa heran mengapa Kemdikbudristek tega menghapus pasal tersebut. Dirinya juga menduga pasal ini sengaja dihilangkan sebab TPG dinilai menjadi beban APBN. 

Demi lahirnya generasi yang mulia, seharusnya kesejahteraan para pendidik menjadi salah satu prioritas utama oleh sebuah negara. Selain menyiapkan kualitas pengajar, pemerintah juga harus mengalokasikan dana khusus untuk kesejahteraan guru. Bukan hanya guru PNS tetapi juga guru honorer yang tidak memiliki kepastian kesejahteraan, sebab bergantung pada sekolah tempatnya bertugas termasuk guru swasta tidak bersertifikasi yang bergantung pada yayasan.

Tidak sepatutnya dana yang dialokasikan untuk kesejahteraan guru dianggap sebagai beban negara sehingga perlu dipangkas dengan menghilangkan tunjangan profesi guru, penghapusan tenaga honorer ataupun langkah lainnya. 

Mengapa mengambil langkah seperti itu? Bukankah Indonesia negeri kaya raya? Mempunyai tanah yang subur sehingga tongkat kayu dan batu saja bisa menjadi tanaman. Di bawah tanah Papua memiliki cadangan bijih emas kualitas terbaik di dunia yang dikelola oleh PT. Freeport. Belum lagi cadangan emas di daerah lainnya. 

Negara ini juga menyimpan cadangan gas alam terbesar yang berada di pulau Natuna. Lautan Indonesia begitu luas yang mempunyai berjuta spesies ikan yang tidak dimiliki negara lain. Dan masih banyak kekayaan lainnya yang dimiliki negeri ini. 

Bayangkan Indonesia memiliki seabreg sumber daya alam yang melimpah ruah. Jika dikelola dengan baik oleh negara, bisa dipastikan seluruh rakyat Indonesia hidup sejahtera, termasuk para guru sang pahlawan tanpa tanda jasa.

Pada kenyataannya kekayaan alam yang melimpah tidak bisa menjadi jaminan kesejahteraan para guru juga rakyat pada umumnya. Mengapa demikian? Sebab kekayaan yang melimpah ternyata tidak dikelola secara mandiri oleh negara kemudian manfaatnya dikembalikan kepada rakyat. Tetapi kekayaan tersebut dikuasai asing dan segelintir konglomerat negeri ini.

Inilah nasib negeri yang bertumpu pada sistem kapitalisme. Di mana sistem ini memberikan kebebasan atas kepemilikan umum atau milik negara yang seharusnya untuk kepentingan rakyat menjadi hak kepemilikan swasta atau pribadi. Alhasil, yang seharusnya negeri ini mampu memakmurkan seluruh rakyatnya termasuk menjamin kesejahteraan para guru, faktanya akibat pengelolaan negara berdasar sistem kapitalisme, negara kaya tetapi menjadi miskin papa. Yang ada justru negara berhutang dan rakyat dikenai pajak untuk membiayai negara.

Kondisi ini sangat berbeda ketika Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Islam menjadikan pendidikan sebagai pilar peradaban mulia untuk mencetak generasi berkepribadian tangguh, mewujudkan peradaban manusia yang sesuai dengan penciptaannya. Maka tak heran jika Islam menempatkan posisi guru sebagai sosok yang sangat mulia. Pandangan ini juga berpengaruh pada perlakuan Islam terhadap para guru.

Dalam Islam, negara akan memberi perhatian khusus pada dunia pendidikan beserta para pengajarnya. Guru akan difasilitasi dalam rangka meningkatkan kualitas diri, dimotivasi untuk meningkatkan kinerja dan dijamin kesejahteraannya. Gelar pahlawan tanpa tanda jasa bukan hanya slogan pelipur lara sebagaimana yang terjadi pada hari ini.

Guru dalam Daulah Islamiyah mendapat penghargaan yang tinggi dari negara dan menerima gaji yang memadai agar guru dapat fokus dalam mendidik murid-muridnya. Tidak ada lagi istilah guru PNS, guru honorer maupun guru swasta. Semua guru dipandang sama sebagai pegawai negara yang wajib mendapatkan penghidupan dan gaji yang layak.

Jika merujuk pada sejarah peradaban Islam, nasib guru sangat bertolak belakang dengan kondisi guru saat ini. Sebut saja pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, seorang guru yang mengajar  anak-anak mengaji di Madinah pernah digaji sebanyak 15 dinar atau setara dengan 51 juta untuk setiap bulannya.

Begitupun dimasa kekhilafan setelah itu. Setiap guru diberikan tunjangan gaji yang sangat layak. Misalanya saja pada masa Salahuddin Al Ayyubi, ada seorang guru di madarasah al- shalahiyyah yang bernama Najmuddin Khabusyani yang menerima gaji sebesar 40 Dinar atau setara dengan Rp 136 juta. Pemberian gaji fantastis ini sangat mungkin diterapkan dalam sistem pemerintahan Islam.

Sebab Islam juga memiliki sistem ekonomi yang khas dan sempurna. Salah satunya adalah tentang kepemilikan umum, kepemilikan yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan diperuntukkan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan umum. Contohnya sumber daya alam. Hak milik ini tidak dapat dialihkan menjadi hak milik individu. Serta tidak dikuasai oleh negara. Namun dikelola oleh negara sebagai wakil rakyat. 

Maka wajar pendidikan dalam Islam akan digratiskan oleh negara. Dengan lembaga-lembaga pendidikan berkelas yang mudah diakses, pengajihan guru dengan nominal yang fantastis adalah perkara yang lumrah ditemui sepanjang sejarah peradaban Islam yang pernah diterapkan lebih dari 1300 tahun lamanya.

Hingga dunia pendidikan yang diatur oleh Khilafah berhasil mengantarkan umat Islam sebagai umat terbaik bahkan menjadi mercusuar peradaban dunia pada era kegelapan saat itu. Sejarah telah mencatat bahwa guru dalam naungan Khilafah mendapatkan penghargaan yang tinggi dari negara.

Begitulah Islam sangat memuliakan seseorang yang berprofesi sebagai guru. Sebab kualitas pelajar sangat dipengaruhi oleh pendidiknya. Jika guru tidak mampu memberikan pendidikan terbaik akibat nasib kehidupannya yang buruk, lantas bagaimana mereka bisa melahirkan generasi yang mampu mengubah peradaban dunia menuju peradaban gemilang? Oleh karena itu saatnya kembali pada sistem Islam yang sempurna yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan diteruskan oleh para Khalifah setelahnya. Di mana sistem ini hanya bisa diterapkan dalam lingkup Daulah Khilafah Islamiyah. 

Wallahu'alam bishawwab.

Baca juga:

0 Comments: