Headlines
Loading...

Oleh  Yuliati Sugiono

Sampai detik ini, peristiwa Duren Tiga yaitu kasus pembunuhan polisi tembak polisi masih belum jelas hukumannya. Yang terjadi, kasusnya malah semakin melebar, dengan adanya dugaan keterlibatan tersangka terhadap bisnis-bisnis ilegal kelas kakap. 

Sebagaimana diberitakan merdeka.com (1/9/2022),  Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat telah ditembak mati di kediaman Jenderal Propam Ferdy Sambo di Duren Tiga Jakarta. Pembunuhan ini didahului dengan penyiksaan mengingat banyaknya bekas sayatan di tubuh korban.

Polri menetapkan lima orang tersangka, yakni mantan Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo, istri Sambo yang bernama Putri Candrawathi, Brigadir RR, Bharada E dan Kuwat Ma'ruf. 

Para tersangka dijerat dengan pasal 340 subsider pasal 338 juncto pasal 55 juncto pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dengan ancaman hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati.

Atas hukuman itu, Ferdy Sambo tidak terima dan naik banding.  Namun pada sidang naik banding tersebut, yang bersangkutan tidak hadir. Sidang  tersebut hanya dihadiri perangkat komisi banding dan sekretariat Rowabprof Divpropam Polri. (merdeka.com, 19/9/2022)

Hukum banding ini bisa berlaku, karena sistem hukum di negara kita masih mewarisi sistem hukum Belanda yang pernah menjajah Indonesia. 
Lalu, bagaimana proses hukum untuk kasus pembunuhan?

Penjagaan Islam terhadap Jiwa Manusia

Dalam ajaran Islam, nyawa manusia sangat berharga. Dalam QS Al Maidah: 32 disebutkan bahwa membunuh satu nyawa sama dengan membunuh seluruh manusia.

"Siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan kerena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan kerena membuat kerusakan di muka bumi, seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia.” 

Allah Subhanahu Wa Ta'ala juga berfirman, “Siapa saja yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, balasannya ialah neraka Jahanam. Dia kekal di dalamnya. Allah murka kepada dia, mengutuk dia dan menyediakan baginya azab yang besar.” (QS. An-Nisa: 93)

Allah Swt. dan Rasul-Nya mengancam keras pelaku pembunuhan, terutama yang dilakukan seseorang kepada mukmin. 

Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!” Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah itu?” Beliau menjawab, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan haq.” (HR. Al-Bukhari).

Hukum Membunuh dalam Islam

Untuk mencegah pembunuhan, Islam memberikan sanksi yang tegas kepada para pembunuh yakni hukuman 'qishash'. Qishash adalah tuntutan hukuman mati atas pembunuh kerena permintaan keluarga korban. Hukuman ini akan memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban yang ditinggalkan, sekaligus mencegah tindakan pembunuhan. 

Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian 'qishash' berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh: orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan wanita dengan wanita..” (QS. Al-Baqarah: 178)

Islam tak Kenal Peradilan Banding

Dalam sistem peradilan Islam,  tidak ada  mahkamah-mahkamah banding dan mahkamah-mahkamah istimewa. Sebab, peradilan, dilihat dari sisi pembuatan keputusan dalam suatu perkara, kedudukannya adalah sama.

Jika seorang hakim telah mengeluarkan keputusan hukum, maka keputusannya itu harus segera dilaksanakan. Keputusan itu tidak bisa dibatalkan oleh hakim yang lain.

Kaidah syariah mengatakan, "Suatu ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad semisalnya."

Dengan demikian, seorang mujtahid tidak bisa membatalkan argumentasi mujtahid lain. Karena itu, keberadaan Mahkamah-mahkamah yang membatalkan keputusan-keputusan hukum mahkamah-mahkamah yang lain tidak sah.

Meskipun demikian, jika hakim melakukan ketiga hal sebagai berikut:  
- Meninggalkan hukum Syariat Islam dan memutuskan hukum dengan menggunakan selain Syariat Islam. 
- Memutuskan hukum yang menyalahi nash yang qath'i (tegas/pasti) baik dari Al-Qur'an, As-Sunnah atau pun ijma sahabat.  
- Memutuskan hukum yang bertentangan dengan hakikat fakta (seperti hakim memutuskan bahwa seseorang dihukum qisas karena melakukan pembunuhan yang disengaja, kemudian muncul pembunuh yang sebenarnya).  
Maka dalam kondisi ini,  keputusan hakim bisa dibatalkan. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw:
"Siapa saja yang membuat-buat perkara di dalam urusan agama kami, yang bukan berasal darinya, maka ia tertolak." (HR Bukhari Muslim dari Aisyah).

Maka jelas, bahwa hukuman setimpal atas pembunuh adalah qishash, yaitu tuntutan mati dari keluarga korban.
Jika keluarga korban tidak menghendaki 'qishash', karena mereka memaafkan si pembunuh, mereka juga bisa menuntut  'diyat' atau denda kepada pelaku pembunuhan. Dendanya 100 ekor unta, 40 di antaranya dalam keadaan hamil. 

Dalam hukum yang telah diputuskan hakim, tidak ada proses banding sehingga marwah peradilan tetap terjaga, tidak mudah dipermainkan oleh kekuasaan dan kekuatan ala Rambo. 

Wallahu a'lam.

Baca juga:

0 Comments: