
Oleh : Yuliati Sugiono
Sebagaimana ramai di media massa bahwa kematian Mahsa Amini yang ditangkap patroli polisi moral, menuai aksi di beberapa kota di Iran. Mahsa Amini ditahan karena melanggar peraturan tentang hijab (dia tidak berhijab), namun dia meninggal setelah tiga hari koma di rumah sakit Kasra Teheran.
Polisi moral adalah polisi yang bertugas untuk mengontrol pelanggaran moral, akhlak, ketidaksopanan, dan kejahatan sosial. Berhubung Mahsa Amini tidak berhijab, maka dia dianggap melanggar hukum berpakaian tidak sesuai aturan sehingga harus ditangkap.
Dunia heboh karena menganggap polisi moral telah bertindak kekerasan yang menyebabkan kematian Mahsa Amini.
Polisi menolak tuduhan itu, karena Amini dibawa ke rumah sakit karena mengalami serangan jantung. Sementara pihak keluarga mengatakan dia tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Setelah koma tiga hari, akhirnya Amini meninggal dunia.
Pihak Amnesty Internasional pun turun tangan, mereka mengatakan kematian Amini mencurigakan yaitu adanya tuduhan penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya dalam tahanan, yang menuntut penyelidikan secara pidana.
Insiden ini kemudian menyulut gelombang aksi demonstrasi di Iran. Mereka mengecam keras tindakan yang dilakukan patroli polisi moral Iran. Demo yang berlangsung enam malam berturut-turut ini sekaligus sebagai gerakan protes akan aturan wajib hijab.
Barat Bicara HAM
Atas kasus di atas, polisi moral menjadi sorotan. Menurut Iran Human Right (Lembaga Hak Asasi Iran), sejak dimulai pada minggu lalu, aksi protes kematian Amini ada di 80 kota dan pusat kota lainnya.
Menurut direktur Iran Human Right Mahmood Amiry Moghaddam, sebanyak lima puluh orang tewas, belum termasuk di Kurdistan. Jumlah ini diprediksi akan semakin bertambah. Orang-orang menuntut hak dasar dan martabat mereka (www.cnnindonesia.com/24/9/2022).
Lembaga Hak Asasi tersebut menyeru masyarakat internasional untuk berdiri bersama rakyat Iran menentang penguasa yang menerapkan aturan hijab.
Mereka berbicara seolah-olah tangan mereka bersih dari darah. Memprihatinkan kondisi penyiksaan dan perlakuan buruk polisi moral, yang belum pasti kebenarannya. Sering kali Barat memberlakukan standar ganda terhadap apa yang mereka sebut dengan Hak Asasi Manusia.
Salah satu contohnya adalah dalam menyikapi konflik Palestina-Israel. Sudah ribuan rakyat Palestina syahid karena serangan Israel. Yang terbaru militer Israel menargetkan posisi Jihad Islam, namun serangan itu menimpa penduduk sipil, total 41 warga Palestina telah menjadi martir, termasuk 15 anak-anak dan empat wanita, dan 311 terluka, di seluruh Jalur Gaza.
Peristiwa itu merupakan yang terburuk di Gaza, yang menghancurkan wilayah yang dihuni 2,3 juta warga Palestina.
Israel mengatakan perlu adanya operasi "pendahuluan" terhadap Jihad Islam. Sebab, kelompok itu telah merencanakan serangan yang akan segera terjadi setelah beberapa hari ketegangan di sepanjang perbatasan dengan Gaza.
Dan ini bukan yang pertama kalinya Israel salah sasaran. Di manakah suara Barat terhadap serangan ini? Apakah rakyat Palestina tidak punya hak untuk hidup?. Bukankah yang meninggal itu sebagian besar anak-anak dan wanita yang tidak terlibat perang?. Ini merupakan bukti bahwa slogan HAM yang selalu digembar-gemborkan Barat hanyalah omong kosong. Ini menunjukkan perlakuan yang berbeda terhadap kaum muslimin.
Termasuk juga sikap Barat kepada Taliban, yang menuntut dengan keras untuk memberikan porsi mentri kepada perempuan sebagai wujud kesetaraan, bahkan dijadikan syarat untuk mendapat pengakuan sebagai negara.
Bukan hanya Palestina, Barat menerapkan standar ganda terhadap para pengungsi dari Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin, mereka cenderung mengabaikan, tetapi memenuhi hak asasi pengungsi perang Rusia-Ukraina.
Seperti dikatakan juru bicara kementerian Luar negeri China Wang Wenbin bahwa dia ingin menekankan komunitas internasional seharusnya tidak mengadopsi standar ganda pada masalah Palestina dan isu-isu panas internasional dan regional lainnya.
Jelaslah bahwa bahwa ada perbedaan sikap yang ini sesuai dengan kepentingan politik Barat terhadap HAM. Barat akan mendukung apa pun yang selaras dengan nilai-nilai mereka. Sebaliknya, Barat akan menjegal nilai-nilai yang bertentangan dengan demokrasi. HAM adalah wasilah untuk memasarkan nilai-nilai mereka. HAM tidak layak menjadi standar hukum syarak.
Kaum muslimin harus menyadari bahwa HAM adalah mafahim atau pemikiran Barat, nilai-nilai Barat yang berusaha diterapkan di negeri-negeri kaum muslimin dengan jalan demokrasi. Tentunya duanya bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Tidak heran jika hal-hal yang berkenaan dengan syariat dilecehkan, tidak terkecuali dengan kewajiban menutup aurat perempuan, maka tentunya mereka akan membela. Seperti fakta sejarah yang ditunjukkan oleh Khalifah Al Mu’tasim Billah Dinas Abbasiyah.
Pada tahun 837, beliau menyahuti seruan seorang budak muslimah dari Bani Hasyim yang sedang berbelanja di pasar yang meminta pertolongan karena diganggu dan dilecehkan oleh orang Romawi. Kainnya dikaitkan ke paku sehingga ketika berdiri, terlihatlah sebagian auratnya.
Setelah mendapat laporan tentang pelecehan tersebut, beliau pun menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu Kota Ammuriah (Turki). Catatan sejarah menyatakan bahwa ribuan tentara muslim bergerak di bulan April 833 Masehi dari Baghdad menuju Ammuriah.
Inilah Kekhalifahan yang membela kehormatan
wanita, yang menyatukan pemikiran Islam, kekuatan dunia Islam sehingga menggentarkan musuh. Maka tinggalkan demokrasi serta HAM yang penuh dengan standar ganda.
Baca juga:

0 Comments: