Headlines
Loading...
Upacara Senin, Mengheningkan Cipta Perlukah Bernyanyi?

Upacara Senin, Mengheningkan Cipta Perlukah Bernyanyi?

Oleh. Titik Sandora

Setiap hari Senin seluruh civitas akademika atau lembaga kependidikan menyelenggarakan upacara. Ada yang menarik disini. Saat mengheningkan cipta usai, semua anggota kembali menegakkan kepalanya. Tentu saja ini dilakukan setelah mereka mendengarkan lagu mengheningkan cipta. Apakah hal ini perlu diteruskan atau tidak? 

Mengingat sejatinya mengingat orang yang sudah meninggal itu ya berdoa bukan bernyanyi. Mendoakan tidak sama dengan bernyanyi. Perlukah hal ini diteruskan?

Sudahlah jamak dan wajib hukumnya setiap hari senin setiap lembaga khususnya lembaga pendidikan (baca: sekolah-sekolah) mulai dari tingkat dasar (SD/MI), tingkat menengah (SMP/MTs), sampai tingkat atas (SMU/SMK) mengadakan  upacara bendera. Ditengah acara tersebut ada peristiwa mengheningkan cipta sekitar 15-20 menit, dengan cara menundukkan kepala selama beberapa menit selama lagu mengheningkan cipta itu selesai dinyanyikan atau diperdengarkan. 

Menariknya, saat pembina upacara berkata, "Marilah kita mengheningkan cipta dengan menundukkan kepala sejenak untuk mengingat para pahlawan yang telah gugur mendahului kita. Mengheningkan cipta mulai."
Saat itu pula serempak semua anggota upacara mengheningkan cipta, menundukkan kepala. Disaat yang bersamaan dinyanyikanlah atau diperdengarkanlah lagu mengheningkan cipta. Ironi bukan?

Bukannya membaca surat Al Fatihah atau surat Yasin atau doa-doa lain berdasarkan agama masing-masing yang dianut para peserta upacara (mungkin ada yang nonmuslim). Bisa saja ada peserta upacara yang beragama Kristen atau Hindu, Budha atau yang lainnya.

Orang yang sudah meninggal seharusnya dikirimi doa bukannya dinyanyikan lagu-lagu. Bayangkan saja seandainya Anda menjadi almarhum Soekarno, almarhum Bung Hatta, bahkan almarhum KH. Agus Salim. Senang apa tidak kira-kira kalau dikirimi lagu, bukannya doa?

Acara mengheningkan cipta itu bisa jadi peninggalan kolonial Belanda yang menurut saya tidak perlu lagi untuk diteruskan, dibudayakan, apalagi dilestarikan. Sangat tidak relevan dengan keadaan masa kini. Kalaupun mungkin harus diteruskan, harus ada perubahan perlahan yang signifikan yang bisa mengikis acara menyanyi tersebut. Apa itu?

Pernah suatu ketika ada seorang pembina upacara (kepala sekolah), kebetulan beliau dikenal taat beragama, dikenal alim atau sholeh. Saat acara mengheningkan cipta mulai, beliau berbicara kurang lebih seperti ini, "Untuk mengenang jasa-jasa para pahlawan yang telah mendahului kita, di dalam hati marilah kita membaca surat Al Fatihah 1x, ayat Kursi 1x dan surat Al Ikhlas 3x. Mengheningkan cipta mulai." Ajaib, di saat yang bersamaan, saya membaca apa-apa yang diinstruksikan oleh bapak kepala sekolah tersebut. Saya juga meyakini bahwa semua peserta upacara membaca doa di dalam hati masing-masing saat lagu mengheningkan cipta itu juga diperdengarkan dalam waktu yang bersamaan. 

Bukankah langkah ini lebih bagus daripada sekedar bernyanyi? Dan esensi dari peristiwa mengheningkan cipta itu sendiri masih ada. Saya pikir ini adalah langkah sederhana yang patut diacungi jempol, kita apresiasi maupun kita teladani.

Kebiasaan ini apabila dilaksanakan secara terus menerus bukan tidak mungkin akan menjadi tradisi, tidak menutup kemungkinan pula akan menjadi budaya. Relakah kita sebagai umat Islam membiarkan hal ini mengalir begitu saja tanpa ada perubahan?

Pilihan ada pada Anda sendiri sebagai seorang yang beragam Islam. Tentu saja ini dilakukan di tempat mayoritas agama tertentu itu dianut. Kebetulan di tempat saya mengajar mayoritas beragama Islam.

Saya memahami tulisan ini bisa jadi polemik. Bisa jadi mungkin diperdebatkan. Atau bisa saja menguap. Tak apa-apa. Sejujurnya tiada maksud apa-apa di dalam hati. Hanya merasa kurang setuju, kurang nyaman saja bila arwah pahlawan kita kirimi lagu-lagu. Bukannya doa-doa. 

Alhamdulillah jika direspon atau ditanggapi dengan baik. Lagipula di negeri Indonesia ini kita bebas berpendapat/berekspresi. Ingat pasal 28 kan? Kalau belum ingat, baiklah saya refresh kembali. Pasal 28 dan 28 E ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Baca juga:

0 Comments: