Headlines
Loading...
Urgensi Kebijakan Proyek Konversi Kompor Gas ke Kompor Listrik untuk Kepentingan Rakyat, Benarkah?

Urgensi Kebijakan Proyek Konversi Kompor Gas ke Kompor Listrik untuk Kepentingan Rakyat, Benarkah?

Oleh Siti Aisah, S.Pd
(Praktisi Pendidikan Kabupaten Subang)

Sudah jatuh tertimpa tangga, pribahasa ini memang tepat pada situasi dan kondisi saat ini. Niat hati ingin naik menjadi lebih baik, tapi apa daya kaki tergelincir dari anak tangga dan terjatuh, sayangnya setelah itu tangga yang dijadikan tumpuan terhempas tepat ke arah tubuh ini. Luka karena jatuh belum terobati, tapi luka ini tertambah lagi akibat tertimpa beban benda berat (baca: tangga).

Baru saja Pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang kenaikan harga BBM. Kebijakan ini bukan hanya membebani masyarakat, tapi menyakiti hati rakyat. Pasalnya, Pemerintah selalu berdalih bahwa subsidi untuk rakyat membebani APBN. Negara saat ini sedang kekurangan dana demi menjadi yang terdepan dalam ambisi global pembangunan ekonomi dan inovasi. Sayangnya demi tercapainya tujuan tersebut, kesejahteraan rakyat menjadi tumbal.

Dilansir dari cnnindonesia.com (22/09/2022), Demi penghematan anggaran negara dan biaya impor LPG, Pemerintah akan meluncurkan kebijakan proyek konversi kompor gas elpiji ke kompor listrik induksi. Sekitar 300 ribu masyarakat di tiga kota, yaitu Solo, Denpasar dan salah satu kota di Sumatera yang menjadi sasaran tahap awal pembagian kompor listrik ini. Sebanyak Rp 540 milyar total anggaran yang dikeluarkan pemerintah demi tercapainya proyek ini. Namun perlu diingat, nilai penghematan yang akan didapat pemerintah sebanyak Rp10,21 triliun per tahun pada tahun 2028. Hal ini pun bisa diperoleh saat pengguna kompor listrik mencapai 15,3 juta rumah tangga. Artinya untuk tahun ini (baca: 2022) masyarakat hanya bisa gigit jari dan berdoa semoga berumur panjang dan tercapai harapan indah pemerintah.

Program proyek konversi kompor gas ke listrik ini membutuhkan biaya besar. Baik negara ataupun masyarakat harus merogoh kocek dalam demi lancarnya proyek ini. Masyarakat perlu berbenah di dalam rumah, pasalnya alat tempur masak yang biasa digunakan di kompor gas, tidak cocok jika digunakan untuk kompor listrik. Penggunaannya dalam rumah tangga skala kecil dan kurang mampu ini bukan solusi yang mampu mensejahterakan. Hal ini disebabkan tarif listrik yang masih tinggi dan daya watt kompor tersebut mencapai 1.000, yang kemungkinan tidak bisa dipakai dalam pemakaian listrik skala 450v.

Saat masyarakat mengeluhkan bahwa kompor listrik induksi ini akan lebih mengonsumsi banyak pengeluaran (baca: mahal). Pemerintah memberi pernyataan bahwa secara teori, jalur listrik untuk konsumsi rumah tangga seperti lampu, ini tidak tersambung dengan listrik untuk kompor. Artinya nanti akan ada dua tagihan listrik, untuk penggunaan listrik rumah tangga biasa dan tagihan untuk konsumsi listrik kompor induksi. Bahkan Dirut PLN ‘menantang’ untuk membandingkan tagihan pengeluaran untuk kompor listrik dan penggunaan gas elpiji 3 kg, yang katanya lebih hemat. (kompas.com, 15/09/2022)

Perlu diingat, listrik saat ini dimonopoli oleh PLN. Jika pada suatu saat terjadi kenaikan tarif dasar listrik karena sesuatu hal, maka kemungkinan besar tarif listrik untuk kompor listrik pun akan dinaikkan. Sedangkan di sisi lain masyarakat mengelus dada karena subsidi elpiji 3 kg ini hilang dari pasaran. 

Perlu diperhatikan pula melihat rekam jejak rezim, baik saat ini ataupun yang terdahulu. Polanya hampir sama konversi minyak tanah ke gas. Setelah pembagian kompor gas gratis, selang beberapa waktu terjadi kelangkaan minyak tanah. Tak pelak lagi, kelangkaan gas LPG 3 kg pun akan berangsur hilang dari peredaran. Kemungkinan yang hanya beredar di pasaran adalah gas LPG non subsidi. 

Saat jargon, ‘masyarakat kelas bawah tetap di subsidi APBN’ ini sebenarnya ‘menyakiti’ hati masyarakat kelas menengah yang pada kasus-kasus tertentu, mereka diberi peringatan bahwa subsidi/bantuan pemerintah tersebut tidak diperuntukkan baginya. Namun, pada waktu yang sama pula mereka menanggung beban kenaikan harga barang-barang sebagai akibat dari kenaikan harga BBM. 

Pemerintah selalu berdalih bahwa subsidi saat ini salah sasaran, hingga keuangan negara (baca: APBN) membengkak. Kas negara ini saat ini betul-betul dalam keadaan kritis, sehingga perlu dilakukan tindakan antisipasi agar tidak terjadi koleps. Hutang yang menggunung, mis-alokasi yang membobol anggaran negara, seperti pembangunan kereta cepat, pembangunan ibu kota nusantara dan target pertumbuhan ekonomi yang tidak tercapai. Sayangnya, alasan tersebut tidak dijadikan dalang tersebab akibat APBN membengkak. 

Solusi instan agar APBN bisa selamat adalah dengan ‘mengalihkan beban’ kepada rakyat, seperti mengurangi atau menghilangkan subsidi, lalu ekstensifikasi dan Intensifikasi Pajak, menaikkan tarif dasar listrik dan kemungkinan tambah utang lagi. Mirisnya, sebagian proyek tersebut berakhir mangkrak dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Tak sedikit pula yang menyisakan banyak permasalahan semisal soal pertanahan.

Ironisnya, karakter situasi kepemimpinan saat ini nyaris sama. Semua rezim memang memiliki niat dan pemikiran untuk membangun citra kekuasaan serta tolak ukur keberhasilan dalam pembangunan proyek besar, yang katanya demi Indonesia. Sayangnya, karakter kepemimpinan tersebut adalah ciri dari kepemimpinan sekuler kapitalis. Standar yang dipakai hanya kemanfaatan dari sisi subjektivitas saja, sementara standar kebahagiaan dan kesuksesan dicapai dari nilai materi saja, tidak menyentuh sisi kemanusiaan yang memang dibutuhkan masyarakat secara umum.

Karakter kepemimpinan dalam Islam sangatlah jauh berbeda, kepemimpinan dalam Islam berfungsi sebagai penjaga dan pengurus masyarakat, individu per individu. Sayangnya, kepemimpinan pola seperti ini tidak mampu diterapkan dalam sistem sekularisme-kapitalisme, yang meninggalkan ‘agama' di mesjid saja. 

Tinta peradaban Islam telah menuliskan bagaimana pembangunan yang dilakukan negara yang sesuai dengan tuntunan syariat Islam ini telah membawa kesejahteraan untuk semua mahluk. Berbagai pembangunan untuk umat seperti penyediaan air minum di sepanjang jalur para jemaah haji pada masa Umar bin Khattab. Tidak sedikit pula terlahir para ilmuwan yang tidak hanya ahli ibadah tapi mahir teknologi. Kehidupan Islam seperti inilah yang didambakan seluruh umat. Muslim ataupun non muslim bisa hidup sejalan dan seiringan. 

Wallahu a’lam bishshawab

Baca juga:

0 Comments: