OPINI
Guruku, Perjuanganmu Penuh Perih
Oleh. Yuke Octavianty
(Forum Literasi Muslimah Bogor)
Hari Guru Nasional selalu diperingati setiap tanggal 25 November. Sejak 1945 hingga kini tahun 2022, tak pernah absen. Namun, peringatan ini tampak sebatas seremonial belaka. Nasib guru tetap terkesampingkan. Jauh dari kata "sejahtera".
Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) memberikan catatan kritis tentang peringatan Hari Guru Nasional tahun ini. Beberapa di antaranya adalah masalah kesejahteraan guru yang minim. Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim mengungkapkan bahwa gaji rata-rata guru honorer berada di bawah UMP/UMK, berkisar Rp 500.000 hingga Rp 1 juta per bulan (kompas.com, 25/11/2022). Padahal berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 14, guru berhak mendapatkan penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.
Tak hanya itu, kini Indonesia tengah mengalami krisis jumlah guru. Sehingga mau tak mau ditopang oleh guru/ tenaga honorer.
Hingga tahun 2024 Indonesia membutuhkan 1,3 juta guru ASN di sekolah negeri. Tahun 2021, negeri kita membutuhkan 1.002.616 guru ASN PPPK secara nasional. Namun sayang, hanya 293.860 guru yang lulus dan dapat formasi dari Pemda. Nahasnya lagi, sebanyak 193.954 guru lulus tes PPPK tetapi tak kunjung mendapatkan formasi hingga November 2022, saat ini. Ironis.
Sementara, janji pemerintah yang akan mengangkat 1 juta guru hanya mimpi belaka. Tak ada realisasinya. Nasib 193.000 guru yang lolos PPPK masih tak jelas. Karena kekacauan proses seleksi.
Masalah kesejahteraan guru ini pun menyebabkan 42 persen guru tersandung pinjaman online. Hal ini tentu meresahkan. Figur guru yang seharusnya menjadi panutan yang bertindak rasional dan melek literasi finansial, justru malah sebaliknya. Karena penghasilan yang tak mencukupi kebutuhan harian (kompas.com, 25/11/2022).
Masalah lain pun, menimpa nasib para guru. Kasus kekerasan yang sering terjadi di lingkungan akademisi, baik sekolah, pesantren maupun universitas, masih belum tertuntaskan. Tentu hal ini merupakan tamparan keras bagi semua pihak. Termasuk para guru, orang tua dan siswa. P2G pun mendesak agar lembaga profesi guru turut serta memberikan edukasi mengenai hak-hak siswa didik. Dan kewajiban guru dalam menciptakan lingkungan kondusif bagi para siswa. Edukasi tanpa kekerasan.
Masalah platform "Merdeka Mengajar" pun mengundang kontraproduktif tim pengajar. Ketua Bidang Advokasi P2G, Imam Zanatul Haeri, mengungkapkan kebijakan Mendikbudristek yang melakukan digitalisasi pendidikan, justru berkebalikan dengan semangat merdeka mengajar (ko.pas.com, 25/11/2022). Program Merdeka Mengajar (PMM), menciptakan beban administratif yang berat dalam menerapkan kurikulum Merdeka Belajar. Alih-alih merdeka mengajar, namun membuat guru lebih sibuk membuat konten aplikasi. Sehingga banyak waktu tersita. Tanpa ada penghargaan sedikit pun dari negara.
Masalah sertifikasi pun masih belum tuntas memenuhi hak-hak guru. Belum lagi masalah RUU Sisdiknas yang seharusnya memudahkan semua aktivitas guru. Namun, nyatanya malah menghambat. Mendikbudristek pun diharapkan peduli pada nasib guru yang terkatung-katung hingga kini.
Beragam masalah yang timbul tak tersolusikan dengan adil hingga kini. Keadaan tersebut tak lain karena rusaknya sistem yang diterapkan. Sistem kapitalisme yang sekuleristik. Sistem ini benar-benar menjerat nasib para guru. Kapitalisme hanya memandang bahwa jasa guru adalah "barang dagangan" saja. Tanpa menilik perjuangannya yang luar biasa membina generasi. Jasa guru yang diidentikkan dengan barang dagangan, hanya dibayar sekedarnya. Padahal jasa guru tak bisa dibandingkan dengan apa pun. Bukankah kita cerdas segala ilmu karena bimbingan guru?
Sistem ini diperparah lagi dengan sifatnya yang sekularistik, senantiasa memisahkan setiap aturan agama dari penerapan kehidupan. Termasuk penentuan regulasi pendidikan yang sama sekali tak memihak pada nasib para pengajar. Zalim.
Islam sangat menghargai jasa para tenaga pendidik. Tak ada diskriminasi antara status guru pemerintah ataupun honorer. Semua diapresiasi dengan luar biasa. Termasuk pembentukan regulasi yang adil dan mensejahterakan para guru.
Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqah ad-Dimasyqi, dari al-Wadhi’ah bin Atha, bahwa Khalifah Umar bin Khaththab memberi gaji 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63.75 gram emas). Bila saat ini harga per gram emas Rp 980 ribu, berarti gaji guru pada waktu itu per bulannya mencapai Rp 62.475.000. Angka yang luar biasa. Lebih dari sekadar sejahtera.
Imam Ibnu Hazm dalam Kitab Al-Ahkaam menegaskan bahwa seorang Khalifah berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat. Dan semua itu termasuk kebutuhan yang diprioritaskan oleh Khalifah. Karena menyangkut pendidikan dan masa depan generasi. Tujuannya agar generasi yang terbentuk adalah generasi cerdas yang gemilang, berakhlakul kariimah. Guru pun dapat fokus dan optimal memberikan pengajaran terbaik bagi seluruh generasi. Karena semua kebutuhan difasilitasi dengan amanah oleh negara. Pendidikan pun diperoleh merata oleh setiap lapisan masyarakat. Tanpa membedakan tingkat ekonomi rakyatnya.
Gambaran yang luar biasa. Saatnya mengganti sistem destruktif dengan sistem Islam yang mensejahterakan. Tak perlu ragu. Hakikatnya, Islamlah satu-satunya solusi seluruh masalah kehidupan termasuk masalah kesejahteraan guru.
Wallahu a'lam bisshowwab.
0 Comments: