Headlines
Loading...
Oleh. Ratih Fn

--Guru Baru--


"Fariiiiis....!! Bangun, cepat! Sudah jam berapa ini? Nanti kamu terlambat berangkat!" Suara tenor bunda membangunkan Faris dari mimpi indahnya. 

"Yaa ampun, Bunda, sebentar lagi yaa..." Faris menjawab dengan mata masih terpejam, tanpa sedikitpun netranya terbuka. 

"Sekarang!!! Atauuuu...." Faris memicingkan netranya, samar-samar ia melihat gayung merah tepat di atas kepalanya, hanya berjarak setengah meter. 

"Ampun, Bunda, Faris bangun sekarang." Kedua tangannya menyatu, berlagak memohon ampun. 

Namun, bunda tak bergeming dari samping tempat tidur Faris, menunggu sembari bersiap menyiramkan segayung air, bila anak laki-laki keduanya tak kunjung beranjak dari kasurnya. Setelah memastikan Faris masuk kamar mandi, bunda kembali ke dapur. Mengambil beberapa hidangan, yang telah ia olah untuk sarapan suami juga kedua anaknya. 

"Faris belum bangun, Bund?" Fahri, kakak Faris bertanya kepada bundanya, sembari mengambil piring bersiap hendak sarapan. Karena ia juga harus segera berangkat ke tempat kerjanya.

"Udah, tuch, lagi mandi." 

"Kebiasaan itu anak, susah banget dibangunin." Ayah ikut menimpali obrolan bunda dan Fahri, sembari menyeruput teh hangatnya. 

"Pada ngomongin aku, ya?" 

"Idiiiih..!! Diomongin gara-gara malas, kok, bangga, kamu, Ris." Nada bicara bunda masih sewot, menanggapi Faris. 

Faris hanya terkekeh, ayah dan Fahri ikut tersenyum melihat tingkah Faris yang kadang-kadang memang narsis akut dan sedikit tambeng jika dinasehati. 

Sesampainya di sekolah, tak seperti biasanya, kelas Faris tampak riuh. Beberapa siswa laki-laki terlihat bergerombol, seperti serius membahas suatu hal.

"Jangan-jangan nilai ulangan bahasa Arab pekan lalu, sudah keluar, gawat!" Faris menduga-duga dalam hati.

"Hai, Bro, rame banget! Ada apaan?"

"Waaah, kebiasaan datang terlalu on time sich, Ris. Jadi tertinggal pemandangan indah kamu." 

"Haah? Ada apa? Murid baru kah? Kelas berapa? Mana, mana?"

"Bukaaaan...!!!" 

"Weisssssh...!!! Santai, Bro. Kompak beud, dah, ah, kalian." 

"Guru baru, Ris. Tapi masih mudaaaa banget, kayak baru lulus kuliah. Meski tampilannya akhwat-akhwat gitu, tapi... Beuuuuh...!" Danang tampak berapi-api menjelaskan tentang kedatangan guru baru di sekolah mereka. 

Bel sekolah berbunyi, tanda kegiatan belajar mengajar akan segera dimulai. Riuh rendah suara murid kelas sebelah, membuat siswa kelas Faris, XI-Bahasa 2, turut penasaran dan melongok ke luar. Rupanya, guru baru yang dari pagi menjadi buah bibir siswa laki-laki, melewati lorong kelas XI-Bahasa 1, berjalan bersama Bu Hanifah menuju kelas Faris. 

"Assalamualaikum." Bu Hanifah, guru bahasa Arab, mengucap salam sembari masuk kelas, diikuti oleh si guru baru. 

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh." Kompak dan lantang siswa-siswi menjawab salam Bu Hanifah. 

"Masyaallah, tumben semangat sekali kalian semua? Siswa laki-laki terutama. Ohya, kenalkan ini Bu Ayun, guru bahasa arab baru, yang mulai hari ini akan menggantikan ibu. Karena, ibu akan fokus ke kelas XII." 

"Waaaaa... Cuiiit-cuiiit..." 

"Ya Allah, tenang-tenang. Biar beliau memperkenalkan diri dulu."

"Assalamualaikum, anak-anak. Perkenalkan, nama saya Qurrata Ayun. Mulai hari ini insyaallah saya akan membersamai kalian, belajar bahasa arab. Saya tinggal di kampung sebelah, tak jauh dari sekolah. Mohon kerjasamanya, ya." 

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh, yaaaa, Bu." 

Senyum Bu Ayun terkembang, menampakkan dua lesung pipit di pipinya, yang semakin menambah cantik wajahnya. 

"Yaa Allah... Kayak bidadari ya, Nang." 

Faris terpesona hingga lupa daratan, serasa ada di atas khayangan. Ia menatap wajah Bu Ayun, tanpa berkedip, sampai tak sadar jika Bu Hanifah memanggilnya untuk memimpin doa. 

"Faris..!! Suruh mimpin doa." Danang menyikut teman sebangkunya itu. 

"Eh, ya, Bu, maaf." Gelagapan Faris menjawab. 

"Ya Allah, Faris-Faris... Dasar anak sekarang, enggak bisa ngelihat yang bening-bening, langsung lupa sama yang namanya menundukkan pandangan." 

"Ya Allah, iya, Bu. Lupa, maaf." 

Seisi kelas menahan ketawa melihat tingkah Faris. Sang ketua kelas yang memang terkenal _playboy_, meski hanya sekedar menggoda, tak sampai benar-benar menjadikan seseorang pacarnya. 

Katanya suatu ketika, "Kasihan aku sama mereka yang pada antri pengen jadi pacarku, aku enggak mau menyakiti salah satunya. Jadi, mending semua cukup jadi penggemarku aja." 

"Huuuu... Bilang aja, kamu takut ma kak Fahri kan? Takut diboikot tambahan uang sakumu, kalo sampe ketahuan pacaran." 

"Haha, tahu aja dah, sohibku satu ini." Fahri nyengir narasinya disanggah telak oleh Danang, teman sebangkunya selama setengah tahun ini.

"Lagipula ya, aku heran sama kakakku itu. Dia kan ganteng ya, secara adeknya juga ganteng. Trus kerjanya dah mapan, di BUMN terkemuka. Udah cukup usia dan ilmu juga kayaknya, tapi, kenapa belum mau nikah, ya? Punya pacarpun belum." 

"Jangan-jangan kakak kamuuuu..." Danang tidak melanjutkan kata-katanya.

"Apaaa..?! Jangan berpikiran macem-macem tentang kakakku, ya!" Faris memang sering berselisih paham dengan kakaknya, Fahri. Tapi, dia merasakan rasa sayang yang besar dari kakaknya. Jadi, dia tidak pernah rela jika kakaknya dikatakan macam-macam oleh siapapun.

"Faris... Faris... Faris..." Bu Ayun memanggil Faris sampai tiga kali, karena dilihatnya Faris sedang termenung. 

"Eh, ya, Bu. Ada apa?" 

"Ya ampun, ini anak, ngelamun mulu' kerjaannya." Danang menepok dahinya, melihat perilaku Faris sejak pagi ini.

"Tolong ambilkan hasil ulangan bahasa arab kalian pekan lalu, ke Bu Hanifah. Di kantor guru, ya." 

Hal yang Faris takutkan terjadi, hasil ulangan bahasa arabnya dibagikan. Ia ingat betul, pekan lalu mengerjakan ulangan harian seenak dirinya. 

"OMG! Habis sudah pamorku di hadapan Bu Ayun. Bakalan syock dia lihat nilaiku." Faris bergumam sembari beranjak dari bangkunya, berjalan keluar kelas menuju ruang guru. 

Bersambung...

Baca juga:

0 Comments: