Headlines
Loading...
Oleh. Ratih Fn

--The End--

Pagi yang mendung, awan kelabu bergelayut manja di atas langit. Seakan enggan memberi ruang bagi sang surya untuk menampakkan kehangatan cahayanya. 

Namun, tak begitu dengan hati Faris, sedari usai Subuh tadi, ia sudah bersemangat membuka lembar demi lembar buku fisikanya. Hari ini ada ulangan harian, jadi ia mengulang pelajaran satu bab pembahasan. 

"Dek, kenapa kamu? Belakangan kakak perhatikan, kamu jadi rajin. Habis salat Subuh enggak pernah tidur lagi." 

"Kakak ini gimana sich, adeknya jadi rajin kok malah heran." Faris menjawab pertanyaan kakaknya, tanpa melepaskan pandangannya dari buku catatan fisika.

"Iyaa, bagus itu. Alhamdulillah banget malah, kakak ikut seneng. Semoga istikamah seperti ini seterusnya." 

"Aamiin...Hehe." 

"Kamar mandi kosong, Ris. Mandi dulu, giih!" 

"Okey, Bundaku sayang." Faris ngeloyor ke kamar mandi sembari melayangkan sebuah ciuman di pipi bundanya. 

"Haaa? Ada apa tuch anak, Kak?" 

"Kan, bunda aja heran, apalagi aku, Bund." Fahri menggaruk kepalanya yang tak gatal. 

Aura positif Bu Ayun rupanya menular ke Faris, saat ini Faris sedang berusaha memperbaiki dirinya. Terutama dalam menggunakan waktunya. Dimulai dengan berusaha tidak tidur lagi, selepas Subuh. Sembari mengantri kamar mandi, ia gunakan untuk tilawah, dan mengulang pelajaran. 

"Widiiiih... Tenang banget kamu mau ulangan harian, Ris?" 

"Iya, donk, kan aku udah belajar. Semalam aku udah belajar, dan habis Subuh tadi aku ulang lagi." 

"Waaaah... Ckckck... Angin apa yang bikin kamu jadi rajin gitu?" Danang juga termasuk yang masih bingung dengan perubahan sikap Faris. 

"Rese' dah, kamu sama aja kayak Bunda dan Kak Fahri. Kenapa sich emangnya kalo aku berubah?" 

"Ya enggak apa-apa, aku _happy_ juga sebenarnya. Karena teman sebangkuku bisa lebih diandalkan untuk mengerjakan ulangan, hihihi." 

"Yeee, enak aja! Curang itu namanya!" 

Ulangan fisika hari ini bisa dilalui Faris dengan lancar, ia merasa saran dari Bu Ayun begitu berpengaruh ke nilai-nilainya belakangan ini. Hanya saja, untuk pelajaran bahasa arab, justru dia masih saja susah untuk memahaminya. 

"Ilmu itu harus diamalkan, Ris, jika kamu ingin lebih memahaminya." Ujar Bu Ayun saat Faris menanyakan kenapa dirinya masih sulit memahami bahasa Arab.

"Tapi, Bu, gimana cara praktek bahasa Arab? Dipakai ngobrol gitu? Kalo untuk bahasa percakapannya, lumayan bisa dipahami, tapi untuk nahwu shorofnya, ampuun dech, Bu." Faris menyanggah pernyataan Bu Ayun.

"Sama saja dengan pelajaran lain, kalo matematika, fisika, kimia, kamu menjadi lebih paham karena sering latihan soal. Sedangkan untuk bahasa, kamu musti sering belajar menerjemahkan buku berbahasa Arab." 

Hemm, Faris jadi teringat koleksi buku -buku kakaknya. Beberapa diantaranya berbahasa Arab gundul tanpa harakat maupun terjemahan. 

"Kak, ajarin aku bahasa Arab donk!" Ujar Faris malamnya, setelah Bu Ayun memintanya untuk belajar menerjemahkan buku berbahasa arab.

"Hemm, boleh. Tapi kamu setiap Ahad pagi ikut kajian sama kakak, gimana?" 

"Waah, hemm, yawdah, dech." Terpaksa Faris mengalah, demi membuktikan ucapan Bu Ayun. 

"Gitu donk, kakak adek yang kompak." Bunda tampak gembira melihat dua putranya akur. Ayah juga terlihat tersenyum bahagia.

"Ohya, Bunda, Ayah, maaf, ada yang ingin Fahri sampaikan." Raut muka Kak Fahri tiba-tiba menjadi serius. 

 "Ya, ada apa, Fahri?" Ayah menimpali ucapan Fahri. 

"Insyaallah, Fahri sudah siap menikah, dan alhamdulillah sudah ada calon yang cocok." 

"Alhamdulillah..." Ayah, Bunda dan Faris kompak mengucap hamdalah.

"Insyaallah besok malam, temani Fahri melamar dia, ya, Yah, Bund." 

"Iya, Nak, Insyaallah, persiapan yang akan dibawa besok, sudah siap kah?"

"Alhamdulillah, Fahri sudah pesan ke jasa hantaran, Bunda. Besok pagi diambil, tinggal bungkus ini beberapa buku yang untuk tambahan." 

"Buku..?! Hantaran kok buku, Kak? Orang mah biasanya bawa kue, buah, perhiasan, seperangkat baju plus aksesorisnya, gitu." Faris menimpali ucapan Fahri, dia merasa aneh kakaknya akan memberi buku sebagai salah satu hantaran. 

"Kan calon istri kakak beda dari kebanyakan wanita, jadi enggak mementingkan perhiasan ataupun tampilan lahiriah. Kalo kue, buah, kakak udah pesan, besok tinggal ambil." 

"Ehmm, gitu? Kita lihat aja besok, seperti apa wanita pilihan kakak yang 'beda' itu, jangan-jangan..." Faris tak melanjutkan kata-katanya. Raut muka isengnya mulai ia tampakkan.

"Udah-udah, baru aja dibilang akur." Bunda menyudahi gelagat kedua putranya yang tampak mulai beradu pendapat lagi.

"Btw, Dek. Kakak masih penasaran, kenapa kamu tiba-tiba berubah, dan pengen belajar bahasa Arab?" 

"Itu, karena guru bahasa Arab baru di sekolah, Kak. Dia tuch ya, cantiiiik, lembuuuut, salihah, tapi tegas, Kak. Kece badai pokoknya! Kalo kakak lihat dia, bisa-bisa calon istri kakak ini, kakak tinggalin." 

"Allahuakbar, sembarangan kamu, Dek! Insyaallah nggak lah, lagipula apa yang menurut kita baik, belum tentu baik menurut Allah, dan apa yang menurut kita buruk, belum tentu buruk menurut Allah. So, kakak memilih calon istri itu, kriteria dan caranya sesuai yang diatur oleh Allah. No pacaran, no khalwat, no ikhtilat, insyaallah. Dan satu lagi tentang perubahan kamu, sebaiknya jangan berubah karena manusia, Dek. Hanya karena Dia, Allah Swt kita sepatutnya berubah atau berhijrah menjadi lebih baik." 

"Iyaa, Kakak. Tapi, Kak, tentang proses apa namanya, ta'aruf yaa, apa yang begitu enggak kayak memilih kucing dalam karung?" 

"Diiih, kakak nikah sama perempuan, Dek, bukan kucing! Ogah lah nikah ma kucing." 

"Yeeee, kakak!! Tau lah! Itu kan cuma istilah..." Wajah masam Faris, justru membuat Fahri tertawa. Puas hati dia menggoda adik semata wayangnya itu. 

"Tapi... Alhamdulillah juga kakak enggak ketemu sama guru bahasa Arab Faris, jadinya kakak dan dia enggak saling naksir. Dan Faris masih punya kesempatan ndeketin dia dech." 

"Haissssh..!! Ndeketin apa maksudnya? Emang kamu udah siap nikah?" 

"Halaah?! Nikah...?! Belum lah..." Faris terkejut mendengar pertanyaan Fahri. 

"Trus, kalo belum siap nikah? Mau diajak pacaran seorang wanita yang kata kamu cantik, lembut dan salihah itu? Kasihan lah, namanya kamu enggak menghargai dan menghormati dia sebagai wanita salihah."

Panjang lebar Fahri berusaha menjelaskan ke Faris, tentang hubungan laki-laki dan perempuan yang benar dalam Islam. 

Keesokan harinya, mereka sekeluarga datang ke rumah calon istri Kak Fahri. 

"Ternyata rumahnya deket sama sekolahanku, Kak." 

"He ehm." Kak Fahri menjawab singkat.

Tiba di alamat yang dimaksud, mereka disambut keluarga besar calon istri Kak Fahri. Setelah berbasa basi, tibalah acara inti, calon istri Kak Fahri dipersilahkan keluar, untuk ditanya apakah ia menerima lamaran Kak Fahri atau tidak. 

"Bismillah, insyaallah saya bersedia." Suara lembut nan merdu terdengar menjawab tanpa ragu. Diikuti ucapan hamdalah dari semua orang, yang hadir dalam acara membahagiakan itu. 

Kecuali seorang laki-laki muda di sudut ruang tamu, yang menatap kakak laki-laki dan calon istrinya, dengan mata berkaca-kaca.

Ternyata, calon istri kakaknya adalah guru cantik nan salihah, yang menarik hati Faris, Bu Qurrata Ayun. 

The End.

Baca juga:

0 Comments: