Headlines
Loading...
Ilusi Kesejahteraan dalam Pendidikan Vokasi Kapitalistik

Ilusi Kesejahteraan dalam Pendidikan Vokasi Kapitalistik

Oleh: Dewi Asiya (Pemerhati Masalah Sosial)

Indonesia adalah negeri yang kaya, baik dari segi sumber daya alam maupun sumber daya manusianya. Menteri koordinator bidang perekonomian Erlangga Hertarto mengatakan bahwa Indonesia memiliki 70 persen atau sekitar 144 juta orang pekerja pada usia produktif. Hal ini, jika disiapkan dengan baik akan menjadi potensi besar untuk percepatan peningkatan pembangunan ekonomi. Untuk menunjang hal tersebut pemerintah menerbitkan perpres 68/2022 tentang revitalisasi pendidikan Vokasi dan pelatihan Vokasi. Pemerintah juga menyediakan insentif super tax production berupa potongan pajak bagi perusahaan yang melakukan kegiatan Vokasi, seperti pemagangan, prakerin atau PKL, guru industri dan lainnya melalui pendidikan Vokasi dan SDM. Airlangga berharap angkatan kerja akan sejahtera sebelum usia tua. (kumparan.Com) 

Menaker Ida Fauziyah pun memberikan janji dengan memberikan sinyal positif soal kenaikan upah minimum propinsi (UMP) 2023. Ida menyebut akan ada kenaikan UMP namun ia masih merahasiakan besaran kenaikan tersebut. (CNN Indonesia 30 Oktober 2022)

Namun, fakta berbicara hal yang bertentangan dengan harapan yang pemerintah janjikan. Berdasarkan laporan BPS per februari 2022 lulusan pendidikan Vokasi adalah penyumbang terbesar pengangguran terbuka di tengah beban biaya pendidikan (khususnya Vokasi) yang tidak murah. Menjadi pertanyaan besar, apakah sejumlah kebijakan pemerintah termasuk revitalisasi akan menjawab persoalan pendidikan Vokasi hari ini? Di sisi lain, situasi ekonomi di negeri dalam  ancaman resesi seperti gelombang PHK, bisa terulang kembali. Dikabarkan Philip akan mem-PHK 4000 pekerja dikarenakan penjualan yang anjlok. (Kumparan bisnis 24 Oktober 2022)

Pendidikan Vokasi memang seakan menjadi harapan bagi anak anak lulusan SMA dan perguruan tinggi karena pendidikan Vokasi memberikan harapan janji manis bahwa  lulus sekolah bisa langsung bekerja. Di saat kondisi ekonomi sulit, iming-iming iming langsung bekerja memang sangat menggiurkan. Namun kenyataannya pendidikan Vokasi hanya menguntungkan pemilik perusahaan koorporasi  ditambah lagi UU cipta kerja yang hanya menjadikan para pekerja muda hanya sebagai tenaga kontrak selama 2 tahun, selebihnya tidak akan dibutuhkan lagi. Inilah yang pada akhirnya akan menambah angka pengangguran, sehingga bisa dikatakan pendidikan Vokasi hanya isapan jempol belaka.

Pendidikan Vokasi sejatinya hanya mencetak tenaga kerja teknis dan bukan ahli, yang tentunya standar gajinya tidaklah tinggi alias jauh dari sejahtera. Anak anak muda itu hanya menjadi perahan pemilik perusahaan, di mana mereka cukup puas dibayar dengan bayaran rendah. Mereka berprinsip yang penting lulus sekolah bisa kerja.

Pada faktanya sejahtera tidak hanya ditentukan dari gaji saja, namun ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan. Di antaranya layanan publik (pendidikan dan kesehatan), dengan biaya pendidikan dan kesehatan yang tinggi saja, jelas terasa sejahtera masih menjadi mimpi. Janji kenaikan UMP juga tidak akan membuat sejahtera, karena kapitalisme memiliki standar pengupahan yang memang tak memungkinkan hidup sejahtera. Dengan sistem penggajian UMP masyarkat hanya bisa memenuhi kebutuhan minimal dalam kehidupan dan ini jauh dari sejahtera.

Berbeda dengan sistem Islam,  Islam mencetak generasi muda memiliki kepribadian Islam, memiliki aqliyah dan nafsiyah islam serta memiliki keahlian dibidang ilmu pengetahuan, di mana  generasi muda tidak hanya sekedar dicetak  menjadi tenaga buruh pabrik  tetapi akan dibentuk menjadi tenaga ahli.

Konsep sistem ekonomi Islam mewajibkan negara untuk memastikan setiap warga negaranya terjamin kebutuhan hidupnya secara maksimal. Dalam ekonomi Islam kebutuhan manusia dibagi dua yaitu kebutuhan pokok dan kebutuhan dasar publik.

Jaminan kebutuhan pokok diwujudkan dengan peran negara yang menjadi pengendali terbukanya lapangan pekerjaan. Orientasi negara dalam membuka lapangan pekerjaan adalah pemenuhan kemaslahatan  masyarakat, contohnya untuk pengelolaan sumber daya alam. Sistem Islam yakni khilafah memerlukan tenaga terdidik dan terampil dalam mengurusi hal tersebut. Tenaga terdidik dan terampil ini akan disiapkan oleh lembaga pendidikan Vokasi khilafah, sehingga kurikulum Vokasi akan disiapkan untuk menyiapkan tenaga terdidik dan memiliki ilmu terapan yang dibutuhkan oleh masyarakat.  Perkembangan teknologi akan disikapi sebagai sesuatu yang dibutuhkan masyarakat bukan sekedar kemajuan yang bernilai materi dan kebutuhan industri.

Sedangkan dalam masalah upah, Islam memiliki cara pandang khusus dalam masalah pemberian upah. Syekh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab Nizamul Iqtishodi menjelaskan, bahwa pekerja dan pengusaha terikat akad ijarah yang saling menguntungkan, pengusaha diuntungkan dengan tenaga atau jasa yang diberikan pekerja, sementara pekerja mendapatkan upah sesuai dengan tenaga atau jasa  yang dicurahkan. Adapun pemberian upah disesuaikan dengan jenis pekerjaan, waktu  bekerja dan tempat bekerja tidak ditentukan berdasarkan standart minimum masyarakat, konsep ini akan menjamin upah para pekerja layak dan makruf untuk memenuhi kebutuhan pokok separti sandang pangan dan papan. Dengan demikian tidak akan terjadi pembajakan potensi generasi  para terdidik dan kedzoliman bagi para buruh demi kepentingan korporasi.

Generasi terdidik bisa mengerahkan semua potensi  yang mereka miliki untuk kebaikan islam dan kaum muslimin. Sementara masyarakat bisa mendapatkan kesejahteraan hidup mereka. Sedangkan kebutuhan dasar publik yang meliputi kesehatan, pendidikan dan keamanan akan menjadi tanggung jawab negara khilafah secara mutlak. Negara  akan menanggung beban biaya tersebut secara keseluruhan, karena kebutuhan tersebut membutuhkan biaya yang besar untuk merealisasikannya.

Mekanisme seperti ini akan bisa dinikmati oleh semua masyarakat baik dari golongan miskin dan kaya, mereka dapat menikmati fasilitas layanan umum dengan kualitas yang terbaik. Tidak ada diskriminasi layanan publik  seperti yang terjadi  saat ini. Dengan demikian masyarakat hanya perlu mengalokasikan gajinya  untuk kebutuhan pokok  dirinya dan keluarganya, mereka tidak perlu memikirkan  menjangkau kebutuhan publik. 

Alhasil, kesejahteraan benar benar nyata bukan hanya mimpi. Sebagai buktinya ketika pemerintahan khilafah Umar bin Abdul Aziz, tidak ditemukan  warga yang menerima zakat karena semuanya sudah merasa sejahtera, padahal pemerintahannya hanya berlangsung 2 sampai 3 tahun. Wallahu’alam bis showwab.

Baca juga:

0 Comments: