Headlines
Loading...
Oleh. Riana Wahyuni 
(Pegiat Literasi Islam, Selat Panjang-Riau)

Seorang kepala keluarga adalah pelindung bagi keluarganya terlebih istri dan anak-anaknya. Namun terkadang kehidupan yang tidak stabil dan kurangnya iman yang menjadi penyebab  KDRT terjadi. Lalu, siapa yang akan disalahkan dalam hal ini? Bagaimana Islam menanggapinya?

Kekerasan dalam Rumah Tangga atau disingkat dengan (KDRT) istilah itu bukan hanya sekali atau dua kali saja kita dengar. Bahkan akhir-akhir ini kita sering mendengar berita terkait KDRT yang telah dimuat di tv dan akun media sosial. 

Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga :  memberikan penderitaan baik secara fisik maupun mental diluar batas-batas tertentu terhadap orang lain yang berada di dalam satu rumah, seperti terhadap pasangan hidup, anak atau orang tua. 

Di kelurahan Jatitijar, Kecamatan Tapos, Depok, Jawa Barat, pelaku KDRT berinisial RN (31) tega menganiaya istrinya berinisial NI (31) dan membunuh anak perempuannya yang berinisial KPC (13) menggunakan parang (liputan6.com 01/11/2022)

Adanya tindakan KDRT dari suami sekaligus ayah kandung kepada istri dan putrinya, sampai mengakibatkan anaknya meninggal dunia. 

Masih kasus KDRT yang dilakukan sang suami di tepi jalan. Aksi kembali terjadi di Depok, Jawa Barat. Tanpa belas kasihan, seorang suami tega memukul istri berkali-kali. Ironisnya, penganiayaan itu dilakukan oleh suami di pinggir jalan di Pangkalan Jati, Cinere yang disaksikan oleh anaknya yang masih balita dan juga warga sekitar. (beritasatu.com, 06/11/2022)

Entah apa alasan sang suami tega memukuli istrinya, namun tetap saja tindakan amoral tersebut terjadi di tempat umum. Bagaimana Islam menanggapi hal semacam ini?

Pandangan Islam Terhadap KDRT

Di dalam Islam, tugas seorang kepala rumah tangga seharusnya menjadi qawwam bagi keluarganya. Qawwam adalah seseorang yang mengurusi sebuah perkara, yang ia bertanggung jawab atas maju mundurnya perkara tersebut.

Seperti seorang suami yang menjadi qawwam dalam keluarga. Ia harus bertanggung jawab. Jika anak istrinya kelaparan maka dialah yang harus menjadi tulang punggung dalam keluarga. Jika anak istrinya bermaksiat maka suaminya yang harus bertanggung jawab menasehati mereka dalam kebenaran dan dengan kesabaran, bukan kekerasan.

Sebuah kebahagiaan dalam rumah tangga akan terasa indah ketika diawali peran suami sebagai qawwam yang baik dan sempurna. Di dalam Islam kewajiban seorang suami sangatlah besar. Serta pengaruhnya yang luar biasa, karena qawwam berakibat pada keutuhan dan kebahagiaan rumah tangga. Keluarga sakinah mawaddah warahmah mudah untuk diwujudkan. (suaramubalighah.com, 27/01/2022)

Allah SWT berfirman :

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤء

Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri)..." (QS. An-Nisa’: 34).

Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani juga menyebutkan, Allah Swt telah menetapkan kepemimpinan rumah tangga (qiyadah al-bayt) berada di tangan suami. Dan Allah telah menjadikan suami sebagai qawwam (pemimpin) atas istrinya. (Taqiyuddin An-Nabhani, Nizhamul ijtima’i fil Islam, hal.246).

Hilangnya rasa qawwam dari seorang kepala rumah tangga akan menjadi masalah bagi keluarganya sendiri.

Dalam Islam Memukuli Istri Bolehkah?

Setelah mengetahui bahwa suami sebagai qawwam bagi keluarganya, maka timbullah pertanyaan bolehkah seorang suami memukul istrinya?

Sebagaimana suami mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh seorang  istri. Istri juga mempunyai hak yang harus dipenuhi sang suami sebagai pasangan hidupnya. Didalam hal ini, ketika istri tidak memenuhi kewajibannya, maka Al-Qur'an telah memberi kewenangan terhadap sang suami untuk mendidik atau mengarahkan istrinya untuk mematuhi atau memenuhi hak-haknya.

Allah berfirman yang artinya:

"Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya". (Q.S An-Nisa’ ayat 34).

Dalam menghadapi istri yang membangkang akan perintah suaminya ada tiga cara yang telah disebutkan Q.S An-nisa ayat 34 diatas yaitu : 
Pertama, menasehatinya secara baik. Kedua, jika tidak berhasil maka didiamkan dan tidak diajak tidur bersama. Ketiga, jika semuanya telah dilakukan maka suami boleh memukulnya dengan pukulan yang sangat ringan yaitu dalam rangka mendidik istri dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Bukan pukulan kriminal yang mengakibatkan cacat permanen, luka berdarah, lebam, bahkan sampai mematikan.

Demikian pula tidak boleh memukul wajah dan bagian-bagian tubuh yang membahayakan, tidak boleh memukul di luar rumah, tidak boleh memukul disatu bagian tubuh secara berulang-ulang. (Muhammad bin Jarir at-Thabari, Jâmi’ul Bayân fi Ta’wîlil Qur’ân, [Muassasatul Risâlah:1420/2000], juz VIII, halaman 314) dan (Mausû’ah al-Kuwaitiyah, [Kuwait, Wizaratul Auqâf: 1427], juz XL, halaman, 298-299).

Namun, walaupun di dalam Islam membolehkan memukul istri tapi Rasulullah tidak pernah melakukan hal itu.

Seperti sabda Rasulullah:

ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ، ﻗﺎﻟﺖ: ﻣﺎ ﺿﺮﺏ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺷﻴﺌﺎ ﻗﻂ ﺑﻴﺪﻩ، ﻭﻻ اﻣﺮﺃﺓ، ﻭﻻ ﺧﺎﺩﻣﺎ  

Aisyah RA berkata, "Rasulullah Saw tidak pernah memukul seorang hamba atau seorang wanita, dan dia tidak pernah memukul apapun dengan tangannya." (HR. Muslim).

Penjelasan dalam kitab Al-Majmu' setelah menampilkan beberapa hadits kemudian disimpulkan: 

ﻓﻲ ﻫﺬا ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ اﻻﻭﻟﻰ ﺗﺮﻙ اﻟﻀﺮﺏ ﻟﻠﻨﺴﺎء 

"Hadits ini adalah dalil bahwa lebih utama tidak memukul istri".(Al-Majmu', 16/450) 

Syekh Al-Bahuti dari Mazhab Hanbali lebih rasional dalam memberi ulasan yang artinya:
 
"Lebih baik tinggalkan memukul istri agar cinta tetap ada."(Kasyaf Al-Qina', 5/210).

Wallahu a'lam bishawab.

Baca juga:

0 Comments: