Headlines
Loading...
Ketika Hidayah Menyapa, Part 24 (Pulang Tanpa Izin)

Ketika Hidayah Menyapa, Part 24 (Pulang Tanpa Izin)

Oleh. Muflihan S. Leha

Hanya beberapa bulan ia hidup di pesantren, tubuhnya menyusut drastis, badan yang begitu bongsor, seringnya di ejek teman-temannya kini tak perlu diet badannya kurus secara alami.

"Sudah seminggu saya gak punya uang, aku harus pulang tapi bagai mana caranya,"
Dika berpikir sendiri, 
Lamunannya terhenti ketika suara azan Isya berkumandang,

Ia segera mengambil air wudhu dan salat sunah di masjid, Sembari menunggu sang Iman datang, Ia berdoa agar di mudahkan segala urusannya.
Usai salat berjamaah, Ia segera keluar dengan tergesa, di saat yang lain masih di dalam masjid, Dika bergegas keluar. Ia mengayunkan kakinya ke arah pintu keluar pondok. gerbang yang sedikit terbuka memudahkannya untuk menerobos, dengan cepat Ia berlari, tanpa menengok ke kanan dan kiri, Ia terus mengayunkan kaki menyusuri jalan raya,
Di rasa sudah aman keluar gerbang pondok, kecepatan larinya Ia turunkan, rasa ngos-ngosan berlari membuat jantungnya berdenyut kencang.

Ia membalikkan badannya, dllihatnya pesantren yang sudah sangat jauh Ia pandang, Dika pun berlari lagi menaikan kecepatannya, ketika semakin jauh Ia berlari, rasa lelah tak mematahkan semangatnya untuk terus mengayunkan langkahnya.

Ketika ada motor yang lewat, Ia mencoba meminta tumpangan,

"Pak boleh ikut kedepan?" tanya Dika pada seorang lelaki yang setengah baya usianya, si Bapak menghentikan motornya ketika Dika melambaikan tangan.

Melihat penampilan Dika yang memakai sarung lengkap dengan songkok hitam,
Orang itu pun berhenti, dengan  senang hati Ia menolongnya.
Raut wajah Dika yang mudah di baca, wajah yang sayu dan nglesa,
si Bapak semakin yakin kalau dia bukan p*njah*t.
 
"Iya boleh De, tapi aku hanya mau ke situ gak jauh,

"Iya gak papa," timpal Dika dengan wajah yang sumringah

ketika motor berhenti,
Ia pun melanjutkan dengan berjalan kaki.

**
Malam semakin larut, keringat pun sudah membasahi bajunya, entah berapa kilo jalan yang sudah Ia lewati, hatinya terus berdoa

"Semoga aku bisa pulang ke pesantren lagi dengan tepat waktu,"

Ayunan kakinya semakin jauh, ketika melewati jalanan yang begitu sepi, tak ada kendaraan yang melintas, Ia paham dengan jalan-jalan yang sedang Ia lewati, yang dulu sering Ia lalui ketika masih suka nongkrong.

Entah berapa makam yang sudah Ia lewati, yang katanya angk*r dan yang terlihat gelap, namun Ia tak menoreh, yang dia pikirkankan hanyalah buru-buru agar ia bisa segera kembali ke pesantren dengan aman.
Ia tersentak oleh kakinya yang tersandung batu,
Seketika Ia mencoba mencari keseimbangan.

"Astaghfirullah..." ucapnya sembari mengusap dadanya.

Sandalnya terlepas kesandung batu,
Ia berusaha mengimbangi badannya agar tidak terjatuh dan tidak sampai menyentuh aspal, kalau saja sampai terjatuh pasti akan lecet, karena banyaknya kerikil-kerikil di atas jalan.

"Sepertinya terjadi sesuatu pada sandalku," desusnya sendirian
sembari mengambil sandal dan memasang plat yang tertupus,
Namun tak berhasil,

"Aduh, benar saja sandalku putus satu,"
keluhnya sendirian,
Dengan terpaksa Ia pun melempar sandal itu dan meninggalkannya.

Ia pun melanjutkan perjalannya, hanya dengan satu sandal Ia teruskan berjalan dengan setengah berlari,
Rasa sakit di kakinya memaksanya untuk bergantian sandal,
Namun Ia terus semangat mengayunkan kakinya menuju ke rumah yang masih kurang lebih 3km lagi.
Karena berburu dengan waktu, Ia pun berusaha agar cepat sampai tujuan.

**

Merasa rumahnya sudah semakin dekat, Ia mencari jalan-jalan setapak agar cepat sampai, senyumnya mengembang ketika tiba di desanya, rasa lega ketika rumahnya sudah jelas dari kejauhan, sampai di depan rumahnya semua pintu sudah terkunci, tak ada suara dari masuk gang sampai pintu rumah kelihatan. sepinya malam karena semua orang sudah terlelap dalam tidurnya, padahal kalau di kota jam segini masih rame dan banyak suara.

"Assalamualaikum," Dika mengetuk pintu yang cukup lama tak di buka, 
Orang tuanya mendengar suara salamnya, namun Ia hanya terdiam, sembari mendengar dari mana arah suara salam tersebut.

"Ah, mungkin rumah sebelah," pikirnya dalam hati.

Karena berburunya waktu Dika pun mengetuk jendela,
Mendengar suara salam dari jendela,
Orang tua Dika seketika berlari 
Membukakan pintu,

"Astaghfirullah, Dika," ucap Ibunya yang terperanjat,
Segera Dika bersalaman, dan buru-buru Ia masuk menuju ke dapur,
Kerongkongan yang kering kehausan, berjam-jam Ia tahan, hanya menelan ludah yang semakin perih di tenggorokan, serasa adem ketika Ia meneguk beberapa gelas air putih.
Keringat yang bercucuran serasa adem tersirami air hujan.

"Cepetan anterin aku ke pondok lagi," pinta Dika yang membuat Ibunya melongo.

"Jam berapa ini," tanya Ibunya yang serasa masih terlelap oleh dunia mimpinya,

"Aku pulang tanpa pamit, aku hanya ingin minta uang," ungkap Dika memohon,

"Padahal besok rencana kami ke sana, kamu pulang dengan jalan kaki dari pondok, astaghfirullah ...,"
sesal Ibunya,

Ia pun tak bisa menahan rasa haru dan nelangsanya, hingga tak kuasa membendung air mata yang tumpah di pipinya, air mata yang tak bisa Ia cegah tumpah seketika, membayangkan jauhnya perjalanan, sampai sandalnya terputus.

Dengan bergegas Ia segera mengambilkan uang yang sudah di persiapkan sejak sore,

"Kalau saja kemarin Ia jadi ke pondok pasti Dika gak akan jalan kaki," sesal Ibunya,

Ayahnya yang baru bangun tidur, mencoba mengumpulkan nyawanyanya, begitu kagetnya mendengar suara Dika, Ia pun segera bangun dan menemuinya.

"Yuk cepetan anterin aku ke pesantren," pinta Dika

"Duduk dulu sebentar," pinta Mamanya,

"Gak Ma, nanti aku di hukum, ayuh, Pa," sembari bersalaman dengan Ayah Ibunya Ia segera keluar,

Ayahnya yang masih bingung nurut saja, Ia segera mengambil jaket, dan buru-buru mengeluarkan motor,
Hanya hitungan menit Dika berlalu dari pandangan Ibunya.

Serasa mimpi melihat anak sulungnya yang sudah kurus, dengan suara yang sudah berubah, namun pulangnya hanya meminum air putih saja, jangankan makan dulu, duduk pun tidak.
Benar-benar seperti mimpi.

Bersambung

Baca juga:

0 Comments: