Cerbung
Ketika Hidayah Menyapa, Part 25 (Meninggalnya Pengasuh Pondok)
Oleh. Muflihah S. Leha
Kabar mengagetkan seluruh santri, ketika mendengar kabar bahwa pengasuh pondok pesantren An-Najah telah pulang untuk selamanya. Pak Kyai yang selama ini menjadi panutan, seseorang yang tegas dan berwibawa telah meninggalkan ratusan santri yang sedang belajar agama di pesantren yang Ia dirikan.
Serasa baru kemarin orang tua Dika memasrahkannya ke pesantren ini. Setahun telah berlalu, di saat kelulusan kelas, Dika mendapatkan kabar gembira karena telah lulus, sekaligus kabar duka atas meninggalnya Pak Ghofur pengasuh pondok pesantrennya.
Semua santri berduka, mereka menggelar istighasah bersama setiap hari, yang dipimpin putra-putra pengasuh pondok An-Najah.
Semua santri dan wali santri yang berdatangan, memanjatkan doa bersama setiap harinya, semua peninggalan gurunya berupa tasbih, sarung, baju yang di pakai setiap hari di bagikan kepada santri-santrinya, yang dekat dan sering di suruh olehnya.
Tidak akan cukup bila di bagi rata karena banyaknya santri-santrinya. Namun beruntung buat Dika, santri yang baru namun Ia bisa langsung di kenal oleh Gurunya dan Ia pun di beri kenang-kenangan lebih dari satu.
Duka itu bukan hanya di rasakan oleh santrinya, tetapi juga wali-wali santri yang terus berdatangan.
**
Setiap malam para santri menjaga makam sampai waktu yang di tentukan, ditengah ketatnya penjagaan, di asrama putri pun ramai, yang membuat penjagaan semakin di perketat.
"Dik malam ini kamu jaga di mana?" tanya sahabatnya,
"Kemarin kita jaga di makam, malam ini kita jaga pintu-pintu asrama santriwati," jawab Dika
Semenjak meninggalnya pak Kyai, makam di jaga nonstop oleh santri-santrinya. Begitu ramainya dari asrama putri yang merasakan keanehan di minggu-minggu terahir, banyaknya santriwati yang mengeluh, kehilangan pakaian membuat penjagaan lebih di perketat. Di saat sedang ngobrol datang temannya membawa nampan berisi gelas-gelas yang masih mengepul, aroma kopi menusuk hidung Dika.
"Medang ..., Dik," pinta salah seorang dari santri yang bertugas menyuguhkan kopi dan cemilan untuk santri-santri yang ronda.
"Yuhu, terimakasih bro," jawab Dika sembari tersenyum senang, Karena kopinya telah datang.
"Yuk! kita Medang dulu," ajak Dika yang di sambut semua temannya.
Satu seruputan kopi membuat mata menjadi segar, di temani pisang rebus yang masih mengepul, Disaat Dika hendak mengupas pisang, terdengar suara ramai dari gerbang pintu belakang asrama putri, dengan cepat Dika mengangkat badannya dan menaruh kembali pisang yang sudah ia kupas, tangannya dengan sigap mengambil tongkat yang selalu Ia pegang di saat berjaga malam.
Dika berlari di ikuti oleh temannya, "Jangan tinggalkan tempat ini," pinta Dika
"Awasi tempat ini juga, jangan semua ikut aku," pinta Dika
"Oke, siyap," jawab temannya kompak
Dika berlari menuju ketempat yang ramai itu,
Seseorang dengan jaket hitam, sandal jepit sedang di amankan oleh santri yang lain, sebuah tongkat hampir saja mengenai badannya kalau saja tidak ada yang mencegah,
"Tunggu! jangan asal keroyok aja," teriak Dika
"Maaf, maaf, aku bukan pencuri," ungkap seorang yang sedang di amankan di tengah kerumunan santri,
"Astaghfirullah ..., ini adalah warga desa sini, aku sering melihatnya kesini," pungkas salah satu santri yang sudah faham dengan wajahnya.
"Mau kemana, Pak?" tanya Dika
"Mau menjenguk putri saya, anak saya juga mondok di sini," ungkap Pak tua yang mau menjenguk anaknya.
Seketika suasana menjadi heboh mengasyikan, ketika salah menangkap orang,
Setelah di telusuri ternyata memang benar, dia adalah Ayah dari salah satu santri putri yang mondok di situ.
***
Begitu cepatnya hari berlalu, Empat puluh hari meninggalnya Pak Kyai telah berlalu, Dika pun telah lulus dengan resmi, Ia pun pulang kerumah. Ada rasa bangga di hati orang tuanya, ketika mendengarkan Dika mengumandangkan azan, suara yang sudah berubah, membayangkan Dika masa lalu, yang suka keluyuran, dan Dika yang sekarang membuat air mata Ibunya meleleh. Rasa bahagia saat anaknya bisa membaca tilawah tanpa memegang mushaf, meski belum hafal sepenuhnya.
Ketika Aldan mengetahui Dika sedang di rumah, Ia pun meminta izin untuk pulang, rasa rindu yang sekian lama berpisah, saat masih SMP selalu bersama, demi masa depan terpisah untuk sementara. Mengetahui Aldan mau pulang Dika pun sudah tak sabar menunggunya.
Akhirnya mereka pun bertemu juga setelah lama berpisah, mereka berkumpul kembali, serasa seperti kembali ke waktu setahun yang lalu, disaat Aldan akan meninggalkan mereka.
"Mas Aldan, kamu izin berapa hari," tanya Dika di sela temu kangennya.
"Dua hari, maksimal tiga hari," jawab Aldan
"Aku pingin main ke pondok kamu lah ...," pinta Dika
"Ayuh!" sahut Aldan dengan senang.
Mendengar tentang kehidupan pondok yang penuh suka duka, Rama dan Epan hanya tersenyum, mereka yang tidak merasakan pesantren karena orang tua yang tidak mengizinkan membuatnya hanya tersenyum.
Hari itu juga Dika merasakan kejenuhan, sudah terbiasa hidup di pesantren membuat Ia tak betah di rumah.
"Yuh, Mas Aldan," ajak Dika yang sudah bersiap-siap.
Aldan pun bersiap, mereka meminta izin untuk pergi ke pesantrennya Aldan. Seharian mereka di pesantren.
***
Mengetahui Dika sering main ke pesantrennya Aldan, orang tua Dika memutuskan untuk menyekolahkan Dika ke yayasan yang sama dengan Aldan. Dika pun menyetujuinya karena sudah melihat suasana di sana. Ada rasa berat ketika meninggalkan pesantren An Najah, Selama setahun belajar di sana begitu banyak cerita, suka dan duka, namun Ia harus melanjutkan sekolah yang lebih tinggi. Masa remaja yang harus di isi dengan ilmu agama, untuk menyambut masa depan, masa yang jauh berbeda dengan masa remajanya orang tua mereka.
Masa remaja masa kini adalah masa remaja yang penuh tantangan. Zaman yang hampir semua orang mengejar kenikmatan dunia.
Dan lupa kalau dunia adalah jembatan.
"Kamu sudah di daftarkan ke sekolah SMK m.a.n.u.d.a." ucap Ibu Dika
"Iya, bareng kan ... sama mas Aldan," tanya Dika memastikan
"Iya bareng," jawab Ibunya
Mengetahui Dika sudah daftar sekolah lanjutan ke sekolah yang di beritahukan Ibunya, Dika membuka google dan mengecek, setelah terdaftar sekolah Ia pun mendaftar di pesantrennya, karena lewat Online, Ia pun bisa satu kamar dengan Aldan.
Bersambung
0 Comments: