Headlines
Loading...
Oleh. Muflihah S. Leha

Siang yang begitu terik, panasnya matahari mengeringkan semua baju yang berjejer di gantungan baju, yang menggantung di bambu, penuh dengan jemuran.

"Dik ... Tolong angkat jemuran," terdengar teriakan Ibunya yang  menyuruhnya dari dapur.
Dika yang sedang duduk membalas chat dari Aldan, dengan cepat merespon teriakan Ibunya.

"Iya Ma, sebentar," jawab Dika sembari menaruh ponsel di atas meja.

Dika segera keluar mengangkat baju-baju yang sudah kering, lalu menumpuknya di atas ranjang.
Setelah selesai, ia pun kembali duduk menghampiri ponsel yang berbunyi.
Dengan cepat Dika membuka chatnya Aldan.

"Jam berapa, Dik ke sini?" tanya Aldan yang sudah menunggu. 

"Nanti sore," jawab Dika di HP-nya. Setelah mengirimkan balasannya, Dika  mempersiapkan keperluannya, untuk memastikan tidak ada yang tertinggal.

Ibu yang sedang bergelayut di dapur dengan alat-alat masak terdengar oleh Dika, begitu cepatnya mengiris sayur untuk segera dimasak. Ia sibuk memasak untuk dibawa ke pesantren barunya. Pesantren yang menu makanan santrinya dimasak sendiri, melatih santrinya untuk mandiri, dan membuat orang tua Dika memastikan masak banyak, karena pasti temannya juga banyak. Mereka juga selalu berharap ada yang membawakan makanan, terlebih Aldan juga sedang menunggunya.

Hari semakin sore, siang yang begitu cerah tiba-tiba mendung.  Semua keperluan sudah dipersiapkan. Rencana keberangkatan hanya diantar  motor, tetiba gerimis menghampiri. 
Seolah langit merasakan kesedihan, menyaksikan kepergian Dika.
Semua orang merasakan sedih, tapi tidak bagi Dika yang sudah tidak sabar ingin cepat-cepat berangkat ke pesantren.

"Yuk! lah, gak pa pa hujan-hujanan, gak deras ini," pinta Dika yang ingin segera berangkat. 
Melihat anaknya tak ingin menunda keberangkatannya, ayahnya pun berusaha. Ia bergegas keluar mencari tetangga yang mempunyai mobil.
Meski mendadak, siapa tahu ada. Biasanya jam segini tetangga belum pulang karena masih bekerja.

Senyum Dika mengembang ketika melihat Ayahnya datang menaiki mobil bak terbuka, dengan sang pemilik mobil yang sudah ia kenal.

"Yuk, naik!" pinta yang punya mobil. 
Dika pun segera mengambil tas, keluar dan menyalami semua orang untuk berpamitan. 
Semua amggota keluarga jadi ikut mengantar, karena ada mobil.

Usai berpamitan, Dika segera naik mobil sembari berdoa. Mobil pun melaju perlahan. Ketika sudah melewati gang,  mobil pun meluncur dengan cepat ke arah yang lebih jauh.
Ada rasa kangen ketika melewati pesantren An-Najah. Selama setahun di sana, ia  membayangkan ketika berada di sana.
Meski bukan kemauannya melainkan karena ini kehendak-Nya.
Karena kesalahannya yang sering pulang setelah Abah Kyai meninggal, orang tuanya pun memutuskan untuk memindahkannya.

Sesampai di pesantren tempat Aldan belajar, Aldan dan teman-temannya sudah menunggunya. Mereka menyambutnya dengan gembira.
Mereka juga makan bersama dengan bekal yang Dika bawa.
Setelah pasrah, orang tuanya pun berpamitan dan meninggalkan mereka.

**

Suasana baru, lebih sepi dari pesantren An-Najah. Di sini, di  pesantren baru yang tampak lebih modern, tidak banyak santrinya.
Tidak seperti An-Najah, pondok tua, yang sesepuhnya juga sudah berganti generasi. 

"Mas Aldan ... sekolah M.a.n.u.d.a yang mana?", tanya Dika penasaran, yang tidak tahu sekolahnya di mana meskipun sudah didaftarkan.

"Tuh, sekolah kamu yang di depan," jawab Aldan sembari mengacungkan jari ke arah gedung bertingkat di depan asrama.

"Lah, sekolah kamu di mana?", tanya Dika kembali. 

"M.a.n.u.s.a, tuh di seberang sana agak jauh sedikit," jawab Aldan menjelaskan

Dika terdiam sembari berfikir, "loh 'kok berbeda?" Ia tak tahu kalau didaftarkan ke sekolah yang berbeda dengan Aldan.
Namun Ia pun memasrahkan diri meski hatinya bertanya.

***
Setelah itu, Dika tahu mengapa orang tuanya menyekolahkannya ke M.a.n.u.d.a, sekolah yang lebih mahal, berbeda dengan M.a.n.u.s.a meski satu yayasan tapi berbeda jurusan. 
Ada tiga jurusan yang menonjol di sekolah Dika. Dika masuk ke jurusan multimedia.  Orang tua Dika yang melihat putranya suka dengan gawai, berharap Dika bisa mengambil jurusan yang tepat. Namun, hal itu tidak sesuai dengan harapan.
Di sekolahannya, Dika selalu pulang sore. 
Setiap hari Ia pun tak bisa ikut salat ashar berjamaah.
Ia pun mendapat hukuman.

Dika merasa jenuh dengan sekolahnya yang selalu pulang sore. Ketika Dika baru pulang,  Aldan dan teman-temannya sudah bersantai, karena pulang lebih awal.
Merasa tidak suka dengan program sekolah yang selalu pulang sore, ia pun memutuskan untuk pindah sekolah. 

***
Mendengar pernyataan Dika  yang ingin pindah sekolah, orang tuanya syok. Betapa sulitnya mereka memasukannya ke sekolah itu, dengan biaya cukup tinggi, dengan cara apapun orang tuanya mencari ke sana-sini agar putranya bisa melanjutkan pendidikan. Namun Dika tetap ingin pindah sekolah.

Orang tuanya tidak segera memindahkannya, berharap Dika masih mau berubah pikiran.  Setelah orang tuanya membujuk Dika dengan cara apapun, akhirnya Dika memutuskan untuk berhenti sekolah.

Mendengar Dika ingin berhenti sekolah dan fokus ke pesantren saja, orang tuanya tidak setuju.  Mereka menginginkan anak sulungnya tetap bisa sekolah. Entah mau jadi apa jika ia tidak bersekolah di zaman penuh tantangan ini. Orang tuanya pun terpaksa menuruti keinginannya.

"Di zaman seperti ini, kalau tidak berpendidikan, mau jadi apa Nak," keluh Ibunya. 

"Mau kerja di mana-mana membutuhkan keterampilan.  Kamu bisa bermain gawai, dan mengutak-atik android. Mama memasukkan kamu ke sini supaya kamu bisa memanfaatkan ilmunya, terlebih di era seperti ini." Dika hanya tertunduk diam. 

"Ya udah pindah sekolah yang sesuai jurusan itu," pinta Dika. 

"Kalau kamu pindah sekolah tapi jurusannya sama, ngapain pindah?", Sentak Mama yang mulai kesal.

"Terserah Mama saja lah yang sekolah. Aku tak mau sekolah," cetus Dika yang mulai tersulut emosi lantaran kemauannya tidak dipenuhi.

"Kalau Mama bisa, belum terlambat, Mama juga mau sekolah," jawab Ibunya.  kekesalannya membuat jantungnya terpompa, detaknya semakin cepat.

Mereka pun meninggalkan Dika dengan terpaksa.

Dika hanya terdiam dan berfikir. 
Ingin hati memberontak, "Oh, Tuhan, apa yang harus aku lakukan?"

Sendirian ia meluapkan emosinya, menguasai dirinya agar tidak terjerumus. Lalu ia  pergi menyendiri di bawah pohon.
Pikirannya berkelana, di tengah kebingungan yang ia rasakan. 
Dunia terasa gelap, hidup seperti tiada berarti.
Mengapa harus sekolah di sini?
Ia tidak mau bercerita apa penyebabnya. Melihat orang tuanya emosi saja, Dika sudah enggan menceritakan semuanya.
Biarlah. Aku yang tahu, tapi sungguh ini menyiksaku.

Bersambung

Baca juga:

0 Comments: