Cerbung
Ketika Hidayah Menyapa, Part 27 (Cahaya Baru)
Oleh. Muflihah S. Leha
Malam begitu pekat, dinginnya angin menembus tulang. Dika duduk sendiri menatap langit yang tak berbintang.
Di tengah kepiluan yang ia rasakan, ia mendongakkan kepala menatap langit yang begitu luas.
"Tuhan, mengapa Kau ciptakan aku dengan kebingungan?", keluhnya sendiri dengan mengamati semua ciptaan-Nya.
Setelah berhari-hari tidak masuk sekolah, karena ingin pindah sekolah, hati Aldan tidak tega melihat hari-hari Dika.
**
Mengetahui keadaan anaknya, orang tua Dika akhirnya mengalah. Mereka pun menuruti keinginannya dan memindahkan Dika ke sekolah M.a.n.u.s.a, tempat Aldan belajar.
Namun Ia harus menelan pil pahit, ketika mengetahui jurusan yang sama seperti sekolah sebelumnya sudah tertutup. Ia pun kembali pasrah.
Ketika menginginkan jurusan seperti Aldan, ia ditentang keras oleh Ibunya.
Ia pun diberikan pilihan jurusan yang tidak Ia inginkan.
Hari-hari dilaluinya tanpa ada gairah untuk menata hidup.
Hari-hari dilaluinya hanya dengan melamun, menyendiri, penuh kesedihan.
"Dik, dah malam. Yuk tidur," pinta Aldan yang mengetahui keadaan Dika.
Ia berusaha mencari cara bagaimana menasehatinya. Sikap Dika yang susah ditebak membuat Aldan bingung memikirkan caranya.
Meskipun selalu bersama sejak kecil, sikap Dika belum juga bisa ia mengerti.
Aldan menghidupkan suasana, berharap agar Dika mau bercerita.
Aldan menghampirinya. Ia duduk bersila di samping Dika tanpa menatapnya.
"Beginilah hidup. Sebenarnya aku juga takut untuk menatap masa depan," ucap Aldan,
"Kamu takut kenapa?" tanya Dika penasaran mendengar pengakuan Aldan yang takut dengan masa depan.
"Takut akan seperti apa masa depanku," keluh Aldan, memulai cerita.
"Bukankah Allah sudah menentukan segala sesuatu?" pungkas Dika, meyakinkan Aldan,
"Nah begitulah. Apa yang kita rasakan saat ini adalah kehendak Allah kan?" ungkap Aldan membalikkan ucapannya.
"Tapi mengapa tidak adil buat aku?" keluh Dika yang merasa sedih sendirian.
"Bukankah Allah Maha Adil?" jawab Aldan sembari berpikir dengan cara apa ia menjelaskan.
"Di mana letak ketidakadilannya?" Aldan kembali bertanya sembari mengajak Dika untuk berpikir.
"Aku ingin pindah sekolah. Orang tuaku sudah memindahkannya, tapi mengapa jurusannya tidak sama dengan kamu?" keluh Dika,
"Memang mengapa orang tuamu tidak mengizinkan kamu sejurusan sama aku?" tanya Aldan penasaran.
"Entahlah. Orang tuaku melihat keponakannya yang jurusannya sama sepertimu, toh dia nganggur sekarang. Padahal aku sudah bilang, rezeki itu dah diatur. Tapi mereka seperti tak percaya rezeki itu sudah ada yang ngatur," keluh Dika yang mulai kesal lagi.
Aldan terdiam.
"Lah terus bagaimana jadinya jika kamu sering bolos sekolah? Aku jadi ikut bingung," lanjutnya.
"Entahlah," pungkas Dika menunduk pasrah.
"Sudahlah Dik. Pasti ada rencana Allah di balik semua kejadian. Terkadang kita menginginkan sesuatu, tapi tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Karena kita hanya makhluk yang lemah," ungkap Aldan yang sebenarnya juga tidak tahu akan seperti apa masa depannya.
"Sebenarnya aku hanya ingin belajar agama. Tak usah sekolah tak mengapa," pungkas Dika
"Bersyukurlah Dik, kita masih bisa sekolah. Coba tengok ke bawah, mereka yang tak bisa melanjutkan pendidikan. Beruntung kita bisa sampai di sini," hibur Aldan.
"Iya mas Aldan, meskipun rasa tak karuan menyeruak di benakku, aku tetap menjalaninya, meskipun hatiku menjerit," pungkas Dika sembari meninggalkan tempat itu, Aldan pun berjalan mendampinginya.
Mereka pun masuk ke dalam kamar dan tidur bersama.
**
Meski tidur larut malam, mereka bisa bangun pagi, mencoba untuk menata masa depan yang dirasa semakin sulit untuk dilalui.
Usai mengikuti kultum pagi, Aldan dan Dika kembali ke asrama. Mereka bersantai sejenak sembari mempersiapkan diri untuk sekolah.
Ketika Dika duduk termenung menatap fajar yang begitu indah, Aldan datang menghampirinya.
"Melamun terus kamu," sapa Aldan sembari duduk di sebelah Dika.
"Kamu masih ingat saat kita suka keluyuran dulu?" tanya Dika seketika membuat Aldan tersenyum.
"Masihlah, asyik yo!" jawab Aldan sembari mengingat masa lalu yang penuh tawa itu.
"Iya, masa remaja yang sedang asyik-asyiknya. Begitu cepatnya waktu berlalu ya," pungkas Dika yang merasa tidak bahagia lagi.
"Tuh lihat," ucap Aldan sembari mengacungkan jarinya ke arah bulan yang masih tampak meski matahari sudah mengeluarkan cahayanya.
"Ada apa dengan bulan itu?" tanya Dika penasaran.
"Semalam bulan itu bercahaya, tapi cahayanya hilang seketika, terkalahkan oleh cahaya matahari," jawab Aldan.
"Ya, iyalah malam sudah berakhir," cetus Dika tanpa berpikir.
"Begitulah masa depan kita, Seharusnya secerah matahari yang mengalahkan masa semalam," cetus Aldan disertai tawa kecil, yang membuat Dika pun ikut tertawa.
"Iya tapi kalau malam datang, matahari itu akan pergi lagi," jawab Dika sembari cengengesan.
"Ia tak pergi, hanya saja membiarkan bulan lewat," pungkas Aldan yang menjawab sekenanya sembari cengengesan.
"Bulan lewat ke mana? bulan dan matahari terus berputar tiada henti, justru bumi yang..." Belum sempat Dika meneruskan, Aldan sudah menabraknya
"Yang apa? Yang tak bergerak, kalau bumi tak bergerak lautan tumpah ruah," ucap Aldan yang mengundang gelak tawa.
Suasana menjadi hangat, tak terasa semua teman sudah memakai seragam sekolah.
"Yuk! Berangkat," ajak Aldan
"Yuk," sambut Dika.
Meskipun hatinya setengah enggan bersekolah tidak sesuai jurusan yang ia inginkan, ia berusaha menjalaninya dengan penuh keyakinan, berharap bisa melawan hatinya yang selalu bertentangan.
Ia tidak ingin mengecewakan orang tuanya, meski luka hatinya tak didengarkan orang tua.
Karena Ia pun sadar sudah membuat orang tuanya menderita karena ulahnya.
Bersambung
0 Comments: