Headlines
Loading...
Oleh. Muflihah S. Leha

"Tumben jam segini kamu dah santai, Dik," Sapa Aldan yang baru saja pulang sekolah. 

"Baru saja gue duduk di sini, gue juga baru pulang," jawab Dika sembari bangkit dari duduknya.

"Loh, kok malah berdiri mau ke mana? Mau kutemani, malah pergi," pungkas Aldan yang melihat Dika masuk ke kamar. 

Setelah mengganti bajunya Dika kembali keluar, sembari memegang ponselnya. 

"HP-an lagi," tegur Aldan yang melihat Dika hendak membuka ponselnya.

"Iya. Ngapain ya biar saya gak hape-an?" sahut Dika yang jenuh dengan waktu kosong.

"Main yuk!" ajak Aldan yang juga bingung. 

"Main ke mana?" tanya Dika penasaran. 

"Main di kali," jawab Aldan yang sudah biasa bermain ke sungai bersama teman-teman se-asramanya.

"Jauh nggak?" tanya Dika yang memang belum pernah main keluar sewaktu di dalam pesantren. 

"Lumayan, Fikri dan temannya sudah pada di sana, kita sedang di tunggu," kata Aldan. 

"Hayuk lah, kalau begitu, dari pada main HP," sambut Dika yang menginginkan suasana baru. 

Sekolah yang mewajibkan membawa ponsel membuatnya kecanduan lagi. Setelah lama bercerai dengan gawai, kini Ia mulai terbiasa lagi.
Sang Ustadz pun tak bisa mengelak, karena satu yayasan dengan sekolahnya.
Namun mereka memilih keluar mencari suasana baru dari pada harus bermain gawai. 

" 'By the way', aku kabari orang tuaku dulu," ucap Dika ketika mau meninggalkan ponselnya. 

"Ma aku mau izin, main ke sungai," tulis Dika di ponselnya yang terkirim untuk orang tuanya. 

"Hah, main ke sungai? Jangan.  Panas-panas kayak gini mau main ke sungai?" jawab Ibunya tanda tidak setuju.  

"Aku tidak ingin meminta persetujuan Mama. Aku hanya meminta izin, aku akan pergi ke sungai," tukas Dika. 

Membaca tulisannya Dika, orang tuanya pun terdiam. Mau bilang apapun, HP nya pasti juga sudah ditinggalkan. 
Setelah mengirimkan 'chat' ke orang tuanya, Ia pun bergegas pergi. Aldan yang sedang menunggu di teras segera beranjak. 

"Bagimana, sudah dapat izin?" tanya Aldan sembari tersenyum. 

"Sebenarnya tak boleh, tapi pasti juga akhirnya mengijinkan," jawab Dika sembari cengengesan. 
Mereka pun pergi menyusuri jalan setapak di belakang asrama. 

"Asyik juga pemandangan di sini," ucap Dika sembari memandangi keindahan kebun dan sawah, pohon-pohon yang berjejer dan batu-batu besar ciptaan Allah. 

"Hih, burung apa itu? Besar sekali, tapi kok berjalan," ucap Dika yang melihat sepasang burung sedang berkejaran. 

"Ehmm, itu burung puyuh," jawab Aldan yang juga penasaran. 

"Lah, kok di sini ada burung puyuh," pungkas Dika penasaran. 

"Pasti ada telor puyuh di sekitar sini. Yuk! Kita cari," ajak Aldan sembari mengejar burung-burung yang seolah tak bisa terbang,

Dengan hati-hati mereka mengejar burung itu, burung yang jalannya pelan tapi ketika sudah dekat bisa terbang,

"Wah, susah juga tuh itik di tangkap," keluh Dika yang hampir bisa memegang burung itu tapi terlepas lagi.

"Lah, kita ada di mana? Sepertinya itu burung milik warga deh," ungkap Dika yang melihat rumah peternak dari kejauhan dan banyaknya burung-burung di dalam kandang itu.

"Hmm, sia-sia deh, kita sudah mengejarnya sampai di sini. Yuk! Kita putar balik," keluh Aldan sembari meninggalkan tempat itu

"Perutku jadi keroncongan," keluh Dika sembari mengelus-elus perutnya.

"Yuk! Kita cari singkong di sana," ucap Aldan sembari berjalan menuju kebun singkong milik warga. 

"Apa boleh kita mengambilnya tanpa permisi?" tanya Dika meyakinkan Aldan. 

"Ya, boleh lah ..., Kan biasanya sang pemilik sedang bersih-bersih di kebunnya. Nah,  kita minta. Pasti di izinkan," jawab Aldan yang seolah-olah sudah terbiasa jalan-jalan seperti bolang.

"Terus, singkongnya dimakan mentahan gitu?!" tanya Dika penasaran. 

"Ya Enggak lah," jawab Aldan tertawa. 

"Lah, terus diapain?" tanya Dika makin penasaran. 

"Dibakar di sawah, tuh kan banyak pak tani membakar rumput-rumput yang sudah kering," ungkap Aldan menjelaskan. 
Dika pun terdiam tanpa bertanya lagi. Ia hanya membulatkan mulutnya sambil berjalan mengekor di belakang Aldan.
Sesampai di kebun singkong, tak ada manusia di sana seperti yang Aldan ceritakan. 

"Mana Mas Aldan, si pemilik singkongnya?" tanya Dika yang ingin memakan singkong bakar. 

"Iya, mungkin lagi libur nggak ke kebun," jawab Aldan sembari tertawa,

"Lah, terus bagaimana ini?" keluh Dika yang sudah mendengar suara di dalam perutnya.

"Lah, masa sih...Tukang kebun setiap hari ke kebun, pasti ada liburnya kan? Kalau kau berani, lu ambil aja tuh singkongnya," jawab Aldan yang suka bercanda. 

"Gue sih mau aja, asalkan Elu yang nanggung dosanya," jawab Dika sembari mempercepat ayunan kakinya.

"Iya deh ..., Gue yang nanggung dosanya," jawab Aldan menggoda. 

"Mendengar ocehan lu, gue kagak jadi laper," cetus Dika sembari tertawa.

Ketika sedang berbicara lapar, Dika tidak menyadari ada seseorang yang sedang mendengarkan pembicaraannya dari dalam gubuk kecil di pinggir sawah, gubuk buatan yang biasanya dipakai untuk makan dan istirahat ketika merasa penat setelah berjam-jam beraktivitas di kebun atau di sawah.

"Dek, sini!" sapa seorang Ibu-ibu yang sedang membereskan makanan. 

"Ada yang memanggil kita kayaknya Dik," ucap Aldan memastikan. 

"Saya nopo, Bu," jawab Aldan

"Iya, iya kalian, sini!" tandas Ibu itu memastikan. 

"Ayuk! Dik, kita ke sana. Siapa tahu dia butuh bantuan," ungkap Aldan sambil mengayunkan kakinya menuju gubuk berpagar setengah. Pemandangan pun masih bisa dinikmatinya meski di dalam gubuk yang adem dan nyaman untuk istirahat.

Bersambung

Baca juga:

0 Comments: