Headlines
Loading...
Ketika Hidayah Menyapa, Part 29 (Tangisan Seorang Ibu di Gubuk)

Ketika Hidayah Menyapa, Part 29 (Tangisan Seorang Ibu di Gubuk)

Oleh. Muflihah S. Leha

"Wonten nopo, Bu? Ada apa, Bu?" tanya Dika dengan menunduk. 

"Tadi Ibu dengar kamu lapar," pungkas si ibu separuh baya sambil membuka lagi rantang-rantang yang sudah ia kemas. 

"Nih, bekal Ibu yang belum dimakan, silakan adik makan," pinta si ibu dengan memohon. 
Dika menatap Aldan. Hatinya bingung. Ia memastikan pada  Aldan apakah makanan itu mau diterima atau tidak.

"Dek, makanlah. Jangan menolak rezeki," pungkas si ibu itu meyakinkan. 

"Duh, Bu, matur nuwun sanget," ucap Dika sembari menerima rantang yang berisi lauk pauk sembari tersenyum ke arah Aldan. 

"Rezeki anak saleh," ucap Dika sembari tertawa yang dilirik oleh Aldan. 

Aldan pun tersenyum dan mereka pun makan bersama dengan lahap setelah menahan lapar sejak tadi.
Usai makan, Dika membersihkan rantang milik sang Ibu dermawan. Di bawah gubuk ada anak sungai yang mengalir jernih.

"Terima kasih, Bu. Semoga rezeki ibu bertambah," ucap Dika sembari menyodorkan rantang yang sudah ia cuci. Mereka pun berpamitan. 

"Kamu adik-adik dari mana, toh? Sopan sekali," tanya si ibu. 

"Dari jauh, Bu. Kami di sini sedang belajar," jawab Aldan sembari menundukkan pandangan. 

"Masya Allah, kalian santri-santri asrama seberang jalan sana...," pungkas si Ibu sembari mengarahkan jarinya ke arah asramanya.

"Njih, Bu," jawab mereka kompak. 

"Masya Allah. Pantas kelakuan anak santri seperti kalian sopan sekali, tidak seperti anak-anak remaja pada umumnya," puji si ibu yang kagum dengan mereka. 

"Memang kenapa dengan yang lainnya, Bu? kita juga biasa-biasa saja," ungkap Aldan penasaran. 

"Kalian nggak biasa. Sungguh beruntung orang tua kalian, memiliki anak yang mau belajar agama, tidak seperti anak saya," keluh si ibu sembari menunduk, mencoba menahan air matanya, yang membuat Aldan dan Dika tak kuasa melanjutkan untuk bertanya.

"Oh, maaf, Bu, kalau kami lancang," pinta Dika sembari mencoba menghibur si ibu yang sedang bersedih. Mereka tak tega meninggalkan si ibu itu meski sudah berpamitan.

"Tidak, Nak. Justru aku bahagia melihat tingkah laku kalian, meski aku tidak seberuntung orang tua kalian," keluh si ibu yang membuat mereka semakin penasaran. 

"Memang kenapa dengan anak Ibu?" dengan berat hati Aldan bertanya sembari melirik ke arah Dika yang disambut kedipan mata Dika, menandakan agar  tidak melanjutkan pertanyaan.
Namun ucapan itu sudah keluar dari mulutnya.

"Anakku dipenjara," keluh si ibu yang sontak membuat Aldan dan Dika terperanjat.

"Di tahanan? Kenapa Bu?" seketika Dika mengucapkan  pertanyaan dengan spontan.

"Sudah setengah tahun. Ia hidup di tahanan, karena ulah kesalahannya," jawab si ibu sembari menguatkan diri untuk bercerita. 

"Salah apa anak Ibu, sampai ia harus hidup di balik jeruji?" tanya Aldan penasaran. 

"Aku yang salah," jawab si ibu yang merasa berdosa. 

"Yakinlah, Bu. Dia anak yang saleh, ibu yang bersalah tapi dia yang menanggungnya," jawab Dika spontan tanpa bertanya apa masalahnya.

"Memang Ibu salah apa? Sampai anak Ibu menanggung beban yang begitu berat?" tanya Aldan penasaran. 

"Salah ibu yang tidak mendidiknya ilmu agama," jawab si Ibu yang membuat Aldan dan Dika semakin tak mengerti. 

"Tidak mengajarkan sopan santun, tidak mengajarkan tata krama, tidak memasukkan ia ke pesantren," keluh si ibu sembari menyembunyikan kekesalannya.

Dika semakin tak mengerti. Ia pun terdiam tanpa berani bertanya lagi. 
Namun Aldan tak bisa menyembunyikan pertanyaan dalam hatinya. 
Kesalahan seperti apa yang membuat anaknya sampai di penjara, dan itu membuatnya semakin ingin tahu lebih dalam.

"Memang kesalahan itu tidak bisa dimaafkankah, sehingga Ia harus di penjara?" Aldan bertanya tanpa menoreh ke arah Dika. 

"Anakku setiap hari keluyuran, tidak mau sekolah, setiap hari mabuk-mabukan. Setiap Ibu menasihatinya, dia membentak ibu, bahkan dia sering memukul  ibu," keluh Ibu sembari meneteskan air matanya. 

"Astaghfirullah al 'adzim," ucap Aldan yang tak kuasa melihat kesedihan si ibu tersebut. Dika tertunduk membayangkan kesakitan yang dirasakan olehnya.

"Anak ibu dilaporkan ke polisi, atas tuduhan telah memperkosa seorang gadis, padahal setiap hari gadis itu mengikutinya.  Pacaran juga sudah lama. Apa si gadis itu tidak takut, mau saja dibawa-bawa dan sepertinya hubungannya pun dilakukan atas dasar suka sama suka." Dika dan Aldan hanya terdiam,
Suka sama suka kok dilaporkan ke polisi. 

"Entah setan apa yang merasukinya. Di saat merayakan tahun baru, mereka katanya menggauli gadis itu bergantian, sembari berpesta miras," keluh ibu sembari menyeka air matanya. 

"Astaghfirullah. Semoga anak Ibu jera, dan segera dibukakan hatinya untuk menyesali semua perbuatannya," ucap Dika sembari mengelus pundak si ibu yang merasakan kesedihan.

Melihat keadaan si ibu, mereka pun tidak tega untuk meninggalkannya,
Melihat mereka terdiam, si ibu bangkit dari duduknya dan menatap mereka. 

"Nak, bukan maksud apa-apa.  Ibu cerita sama kalian, maafkan Ibu sudah menceritakan keadaan anak Ibu, semoga bisa buat pelajaran,"
ucap ibu yang merasa bersalah telah bercerita kepada mereka. 

"Njih, Bu. Kami juga minta maaf, sudah membuat ibu jadi ingat sama anak Ibu."

"Tidak, Nak. Kalian tidak bersalah. Ibu hanya merasa iri  melihat kalian," pungkas si ibu meyakinkan. 

"Sungguh beruntung orang tua kalian, Nak. Semoga kalian menjadi anak yang saleh, yang bisa membanggakan orang tuamu Nak," pesan si ibu mendoakan mereka. 
Dengan kompak, Aldan dan Dika mengaminkan doanya.

Mereka pun berpamitan untuk melanjutkan jalan menuju sungai tempat Fikri dan teman-temannya menunggu.

"Kasihan sekali si ibu itu ya, Dik," ucap Aldan yang masih terdengar di telinganya curhatan si ibu yang baru ia jumpai.   

"Iya, senakal-nakalnya kita,  ternyata ada yang lebih parah ya," pungkas Dika yang merasa tidak seperti yang ibu itu ceritakan.

"Tuh, jangan sekali-kali pacaran.  Sekali berani bawa cewek, tahu kan akibatnya? Si ibu jadi menderita, padahal Allah sangat murka melihat orang tua sampai meneteskan air mata.
Saya jadi ingat pernah dengar cerita pak Kyai," sambung Aldan. 

"Cerita apaan?" cetus Dika memotong. 

"Buatlah Allah bahagia, hidupmu pun akan bahagia," ucap Aldan sembari mengayunkan kakinya,

"Bagaimana kita tahu bahwa Allah bahagia?" tanya Dika bergumam

"Caranya ialah membuat orang tuamu tersenyum. Maka Allah pun rida, dan pasti hidupmu pun akan bahagia," lanjut Aldan.  
"Kenapa aku juga baru ingat pesan-pesan Pak Kyai ya?" gumam Aldan yang seolah lupa pesan-pesan dari kyainya.

"Iya, aneh ya. Kayaknya kalau kita nasehatin orang, mudah ya. Tapi ketika kita sendiri yang sedang mendapatkan kesusahan, seolah-olah otak kita buntu, tak pernah memikirkan siapa yang menciptakan kita," keluh Dika yang merasakan keanehan.

"Iya, itulah dahsyatnya setan, sudah jelas pacaran itu dilarang, tapi tak kuat juga menahan ingin berkenalan," jelas Aldan. 

"Izh, izh, izh, kok jadi pacar sih.  Jangan cerita itu ah, males aku," keluh Aldan yang tak ingin lagi mengulang masa lalu, karena ia pun pernah berpacaran.

Bersambung

Baca juga:

0 Comments: