Headlines
Loading...
Ketika Hidayah Menyapa, Part 30 (Menggapai Cita-cita)

Ketika Hidayah Menyapa, Part 30 (Menggapai Cita-cita)

Oleh. Muflihah S. Leha

Malam begitu gelap, angin sepoi-sepoi menggoyangkan pepohonan. Usai salat berjamaah, Dika buru-buru masuk ke kamar santri. Dengan cepat Ia melipat badannya. Rasa kedinginan memaksanya untuk harus istirahat. Ia pun membungkus tubuhnya dengan sarung.

"Dik, waktunya murajaah, Yuk!" ajak Aldan yang melihat Dika tidak seperti biasanya. 

"Badanku menggigil, Mas Aldan.  Tolong izinkan aku malam ini," pinta Dika memohon. 

"Kamu sakit," jawab Aldan sembari memegang kepala Dika yang mengagetkannya. Badan yang begitu panas membuat Aldan tak tega meninggalkannya.
Dengan  cepat Ia meminta izin kepada ustadz yang mengajar.  Setelah mendapatkan izin, Aldan membeli minyak untuk mengobatinya.

"Sini, Dik, aku kerokin," pinta Aldan. 

"Kamu nggak ngaji?" tanya Dika yang merasa bersalah. 

"Nggak, tapi aku sudah izin," pungkas Aldan meyakinkan.

"Kamu kenapa sakit?" tanya Aldan. 

"Allah sedang mengurangi dosaku," jawab Dika dengan membuka sarung yang menutupi kepalanya.

"Asyiknya sedang di kurangi dosanya. So, bagaimana yang tidak pernah sakit?" tanya Aldan yang membuat Dika membalikkan badannya. 

"Jangan tanya sama aku. Otakku belum sampai untuk berpikir ke sana," jawab Dika sembari mengernyitkan kening,  merasakan pusingnya kepala.

"Lah kok kamu tahu kalau sakit itu sedang dikurangi dosanya," pungkas Aldan sembari mengoleskan minyak di punggungnya. 

"Kayaknya Elu sakit karena melawan orang tua deh, Dik," ucap Aldan yang membuat Dika bertanya. 

"Maksud lu?" Tanya Dika penasaran. 

"Iya. Lu minta izin ke orang tua lu kan, tadi siang waktu mau main ke sungai? katanya tidak diizinkan, tapi kenapa lu main saja?" cetus Aldan yang membuat Dika berpikir.

"Iya kali," jawab Dika pasrah. 

"Ya udah aku mau minta maaf, mana ponsel saya," lanjut Dika. 

"Nanti saja aku yang ngabarin ke orang tuamu, kamu istirahat saja," pinta Aldan sembari menutup badan Dika yang sudah dibaluri minyak kayu putih.

***
Dika tidur dengan pulas. Bajunya basah oleh keringat. Ia terbangun merasakan kepanasan, kepala yang berat terasa enteng seketika.

"Jam berapa sekarang, ya?" bisiknya dalam hati. Kamar yang gelap penuh dengan teman-teman yang tidur berjejer-jejer membuat Dika susah mengenali siapa saja. 
Perlahan-lahan ia membuka matanya sembari duduk sejenak.  Ia berdiri dan keluar dengan perlahan, rasa gerah seketika menjadi dingin ketika Ia memegang air, membasuh muka dan berwudhu. Niat hati ingin langsung mandi namun ia urungkan.

Usai berwudhu, ia ayunkan kakinya menuju ke masjid. Ada beberapa santri yang sudah berada di masjid lebih dahulu.  Merekalah santri-santri pilihan, yang di setiap sepertiga malam, mereka salat tahajud dan bermunajat.

Baru selangkah kakinya memasuki masjid, hatinya sudah bergetar. Tanpa menengokkan kepala dengan arah satu pandangan, wajahnya mengarah ke depan. Ia mengambil sajadah dan membentangkannya. 
Baru saja Dika takbiratul ihram, hatinya bergetar kembali. Dika tak kuasa menahan semua rasa yang akan ia luahkan.
Rasa yang tidak karuan seketika menjadi tenang, tidak terasa air matanya menetes. 
Isak tangisnya tak dapat ia tahan. Usai salat, ia duduk dengan tangan menengadah ke atas, berdoa dengan tangisan yang ia adukan kepada Sang Pemilik Kehidupan. Aldan yang mendengar tangisnya seketika membalikkan badan. 

"Dika ..." lirih suara Aldan. 
Dika yang tidak tahu di depan sajadahnya adalah Aldan seketika tersenyum, dan mengusap kedua matanya. 

"Mas Aldan, kok aku tidak tahu ada kamu di depanku," ucap Dika pelan. 

"Kamu sudah sembuh," tanya Aldan. 

"Alhamdulillah, sudah enteng.  Terima kasih, Mas Aldan," jawab Dika sembari menunduk. 

"Iya sama-sama," balas Aldan. 

Usai berdoa, Aldan mengajak Dika ke asrama.

"Yuk! kita tidur lagi," ajak Aldan. 

"Tidur di sini saja sambil menunggu azan subuh," pungkas Dika yang masih duduk berzikir. 

"Aku mau tidur di asrama saja," jawab Aldan sembari meninggalkan Dika. 

Dika berzikir hingga mata terpejam.
Suara azan berkumandang, mengagetkannya. Ia bergegas ke kamar mandi, dan berwudhu.

Usai salat berjamaah,
Dika merasakan kedamaian, seolah-olah mendapatkan nyawa baru dalam hidupnya.
Dengan senang hati ia belajar, menghafal dan sekolah,  meskipun tak suka dengan jurusan yang ia tempuh. Namun ia percaya suatu saat pasti ada hikmah di baliknya. 
Karena manusia hanya berencana tapi Allah-lah yang menentukan segalanya.
Terkadang kita suka dengan sesuatu, tapi belum tentu Allah rida. 
Sifat sayangnya Allah kepada hamba-Nya tidak ada bandingannya.
Allah memberikan apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan.
Hanya saja, manusia jarang menggunakan akalnya, sehingga ketika memandang setiap yang diinginkannya tidak sesuai dengan harapan, langsung  meragukan keadilan-Nya, padahal ada hikmah di setiap ujian yang datang. 
Hanya merekalah yang terpilih, yang apabila diuji Allah dengan segala sesuatu, mereka kembalikan kepada-Nya. Karena setiap manusia yang mengaku beriman pasti akan diuji Allah. 

"Tumben Dik, kamu dah siap-siap sepagi ini," sapa Aldan yang senang melihat perubahan Dika. 

"Iya. Aku akan bersemangat menggapai cita-cita, menjemput masa depan agar masa depanku cerah, secerah matahari di pagi ini," jawab Dika sembari tersenyum pasti. 

"Hiz ... Asyik," jawab Aldan sembari tersenyum.

"Aku jadi semangat menatap masa depan," lanjut Aldan sembari mengambil tas dan memakai sepatu. 

"Yuk! Kita berangkat, kita kejar impian yang akan menghampiri kita." 
Mereka dengan gembira dan semangat berjalan ke depan, bergandengan tangan menggapai cita-cita yang mereka cita-citakan. 
Semoga apa yang mereka cita-citakan; menjadi hafidz Qur'an, berbakti pada orang tua, berguna bagi agama, nusa dan bangsa, dapat tercapai. Aamiin ya Rabbal alamiin.

   SEKIAN

Baca juga:

0 Comments: