OPINI
Korupsi Marak Bukti Demokrasi Tak Layak
Oleh Masyithoh Zahrodien, S.S.
Korupsi seperti menjadi hal lumrah dan membudaya di negeri ini. Dari jajaran terendah hingga jabatan tertinggi, tak luput dari jeratan korupsi. Korupsi juga menggurita di lembaga peradilan dan penegak hukum.
Dilansir dari nasional.sindonews.com (4/10/2022), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan tersangka terakhir dalam kasus suap pengurusan perkara yang menyeret Hakim Agung nonaktif, Sudrajad Dimyati. Tersangka itu adalah Ivan Dwi Kusuma Sujanto selaku debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana. Ia akan ditahan selama 20 hari ke depan di Rutan KPK Gedung Merah Putih di Kuningan.
Dalam perkara tersebut, KPK total menetapkan 10 orang menjadi tersangka. Lima orang dari kalangan MA ditetapkan menjadi tersangka penerima suap. Mereka adalah Sudrajad Dimyati, Elly Tri Pangesti, Desy Yustria, Muhajir Habibie, Albasri, dan Redi. Sementara, para tersangka pemberi suapnya adalah Yosep Parera, Eko Suparno, Heryanto, dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto. Dimyati diduga telah menerima suap sebesar Rp800 juta rupiah agar membuat putusan kasasi yang menetapkan Koperasi Simpan Pinjam Intidana pailit. (nasional.kompas.com, 3/10/2022)
Bagaimana negeri ini bisa terbebas dari korupsi jika lembaga peradilan dan penegak hukum juga terperangkap masuk dalam lingkaran setan ini? Memang zaman sekarang manusia gila harta dan dunia, menghalalkan segala cara agar bisa mendapatkan materi sebanyak mungkin. Pikir mereka, mumpung mereka masih menjabat, manfaatkan jabatan sebaik-baiknya untuk menumpuk pundi-pundi. Korupsi terjadi bukan hanya karena kemauan, tetapi juga karena jalan dan kesempatan kepadanya terbuka lebar. Ketika mayoritas orang melakukan korupsi, yang lain pun lambat laun ikut arus korupsi dari sistem rusak ini.
Jargon pemberantasan korupsi hanya angin lalu dan tak berpengaruh sama sekali, selama dia masih mempunyai kekuasaan dan jalan. Karena itu, perlu langkah baru yang jitu, tidak sebatas omong doang (omdo) dan tidak tebang pilih.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, mengatakan bahwa pemerintah akan membentuk konsep besar sistem peradilan di Indonesia. Hal tersebut dilakukan untuk melakukan reformasi hukum peradilan pasca insiden kasus korupsi Hakim Agung Sudrajad Dimyati.
Namun, mampukah pembentukan kerangka baru lembaga peradilan ini nantinya akan benar benar memberantas korupsi? Padahal, sedari dulu juga sudah ada Undang Undang yang mengatur Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Faktanya, korupsi tetap saja terjadi. Lalu, di manakah masalah utamanya?
Korupsi yang terjadi di negeri ini sudah mendarah daging. Keinginan untuk mendapatkan keuntungan adalah hal yang utama. Apa saja akan dilakukan orang demi mewujudkan keinginan tersebut. Kaidah berpikir orang yang sekuler menafikan dirinya sebagai seorang muslim yang sejatinya memiliki standar halal-haram. Sebaliknya, dalam kehidupan Demokrasi, manusia bebas menghalalkan segala cara tanpa takut kepada azab Allah.
Demokrasi adalah bagian integral yang tak terpisahkan dari sistem kapitalis. Manusia hidup untuk mencari materi. Sistem kapitalis ini juga menjauhkan peran agama dalam negara sehingga manusia bisa berbuat sekehendak hatinya.
Dengan mainset kapitalis materialis yang sudah mengakar dalam benak manusia hari ini, perubahan apa pun yang dilakukan tak mungkin dapat memberantas korupsi secara tuntas. Apalagi keberadaan politik transaksional membuat reformasi hukum tak akan mampu menegakkan supremasinya. Semua akan diam dan tunduk di hadapan uang atau materi. Sungguh, sistem Demokrasi tak layak dipakai untuk menyelesaikan permasalahan umat manusia.
Berbeda halnya jika individu itu bertakwa dan takut pada Sang Pencipta, maka dia tidak akan berani melakukan korupsi. Ia menjalankan perintah dan larangan-Nya dengan penuh kesadaran bahwa dirinya hanyalah makhluk Allah yang akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap perbuatannya kelak. Seandainya mainset hidupnya bukan untuk mencari harta, melainkan hidup untuk ibadah, korupsi tak mungkin terjadi.
Seandainya individu yang bertakwa ini hidup dalam aturan Islam yang sempurna, bukan aturan buatan manusia yang sarat kepentingan, jelas korupsi akan sirna. Ditambah lagi, kontrol sosial masyarakat yang melakukan amar makruf nahi mungkar, saling menasehati dalam kebenaran dan tidak takut untuk membela keadilan, korupsi akan hilang dengan sendirinya.
Sayang, hal itu tak mungkin terjadi jika kita masih hidup dalam belenggu sistem Demokrasi yang bebas dan ngawur. Sungguh Demokrasi tak layak diharapkan untuk mewujudkan keadilan dan kebaikan bagi masyarakat. Yang kita butuhkan adalah peran sinergis individu, masyarakat dan negara yang menjalankan Islam secara kafah. Hanya sistem Islam yang mampu memberantas korupsi secara tuntas.
Wallahu a'lam.
0 Comments: