OPINI
Lulusan Vokasi, Akankah Menjadi Angkatan Kerja yang Sejahtera?
Oleh. Rery Kurniawati Danu Iswanto (Praktisi Pendidikan)
Kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) sejatinya didasarkan pada knowledge based ekonomy dimana pendidikan dijadikan dasar pertumbuhan ekonomi. Sumber daya manusia (SDM) yang dihasilkan dunia pendidikan adalah produk yang akan digunakan untuk menopang kemajuan perekonomian di dunia industri. Hal ini sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai dari program MBKM adalah meningkatkan kompetensi lulusan yang siap dimanfaatkan oleh industri.
Sebagaimana diberitakan rmol.com (31/11/32), Menko Perekonomian, Erlangga Hartanto menyampaikan dalam Festival Pelatihan Vokasi Nasional dan Job Fair Nasional 2022 bahwa jika angkatan kerja disiapkan dengan baik maka akan akan berpotensi besar untuk mempercepat pembangunan ekonomi nasional. Diharapkan angkatan kerja ini bisa sejahtera sebelum usianya tua. Untuk mewujudkan hal tersebut, telah diterbitkan juga Peraturan Presiden no. 68/2022 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi. Bahkan untuk mendukung kebijakan ini, pemerintah juga menyediakan insentif bagi perusahaan yang melakukan kegiatan vokasi seperti pemagangan, pra kerja, dan sebagainya. Insentif ini berupa pemotongan pajak dengan istilah super tax deduction.
Yang dimaksud dengan angkatan kerja pada pernyataan Menko Perekonomian tersebut tidak lain adalah lulusan-lulusan pendidikan tinggi terutama vokasi yang memang dididik agar begitu lulus sudah siap kerja.
Jika dilihat dari cara pandang keuntungan secara materi yang akan didapat, kebijakan itu terlihat sebagai kebijakan yang sangat positif. Terlebih respon dari generasi muda yang juga euporia dengan program MBKM. Kebijakan ini seakan angin segar bagi mereka karena metode belajar yang berbeda, lebih fleksibel, dan dapat segera menghasilkan rupiah. Dibeberapa perusahaan, bahkan mahasiswa magang juga diberikan insentif sesuai dengan tugas yang mereka kerjakan. Jika demikian, tanpa harus menunggu lulus dan mendapat ijazah pun mereka sudah mendapatkan cuan.
Akan tetapi, poin mendasar yang justru menjadi titik lemah kebijakan ini adalah cara pandang knowledge based ekonomy yang berakar dari kapitalisme. Generasi muda sebagai peserta didik, dinilai sebagai angkatan kerja yang akan menjadi mesin-mesin industri. Mereka dilatih dan disiapkan untuk menjadi pekerja, yang akan mengoperasikan sistem industri milik para korporasi.
Ya, mereka mungkin akan langsung mendapat pekerjaan. Tetapi apakah lantas akan sejahtera? Belum tentu. Berapa standar gaji untuk lulusan vokasi? Jika pun Upah Minimum Pekerja (UMP) konon akan naik, cukupkah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari? Apalagi ditengah gelombang resesi dan inflasi ekonomi saat ini, besarnya kebutuhan hidup semakin meningkat saja.
Kesejahteraan bagi angkatan kerja, sungguh masih jauh panggang daripada api. Yang sudah pasti sejahtera dan meningkat pendapatan perusahaannya adalah para pemilik korporasi di negeri ini. Mereka yang akan memanen cuan dari para pekerja terampil lulusan vokasi.
Selain itu, bahaya sesungguhnya dari ilusi kesejahteraan yang diharapkan terwujud melalui penerapan kebijakan pada pendidikan vokasi adalah hilangnya spirit keilmuan di perguruan tinggi. Pendidikan tinggi, pun jika itu vokasi, arahnya harus tetap menghasilkan para ahli dan intelektual. Orientasi pendidikan seharusnya bukan dunia kerja dan industri.
Tetapi dalam sistem ekonomi kapitalis saat ini, tidak dimungkiri, para intelektual, ketika sudah bermitra dengan dunia industri, mereka akan menjadi produk-produk intelektual yang berbayar. Keilmuan yang diperoleh akan dimanfaatkan juga oleh korporasi untuk meningkatkan kapasitas perusahaan. Pada akhirnya, dalam sistem ekonomi yang menilai semua hal dari segi materi, baik ilmuwan maupun angkatan kerja, hanya akan menjadi produk-produk untuk menghasilkan cuan bagi korporasi.
Kesejahteraan sejatinya tidak bisa dinilai dengan uang. Angkatan kerja yang sejahtera bukanlah yang upahnya besar, gajinya di atas UMP, atau standar materi lainnya. Standar kesejahteraan seseorang seharusnya dilihat dari kecukupan kebutuhan pokok sehari-hari. Dalam Islam yang termasuk kebutuhan pokok bukan hanya sekadar sandang, pangan, dan papan. Melainkan juga kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan layanan publik seperti transportasi dan fasilitas umum lainnya. Gaji yang kecil, bisa jadi cukup jika kebutuhan pokok lainnya sudah tersedia secara gratis. Pendidikan tersedia gratis, layanan kesehatan bisa diakses dengan mudah dan gratis, pun transportasi umum semuanya gratis. Dengan demikian, gaji pekerja tidak akan habis untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Begitulah seharusnya gambaran kesejahteraan bagi angkatan kerja, bagi lulusan vokasi maupun akademisi, dan bagi masyarakat pada umumnya.
Terlepas dari janji manis kesejahteraan yang ditawarkan melalui pendidikan vokasi, Allah Swt juga telah menjanjikan kebahagiaan bagi orang-orang yang beriman dan beramal salih. Sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nahl ayat 97, "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."
Sungguh bagi seorang muslim, kesejahteraan akan terwujud jika beriman dan beramal saleh, bukan beramal yang salah. Agar keimanan dan amal yang dilakukan tersebut benar dan membawa kesejahteraan, sudah seharusnya seorang muslim melakukan kajian-kajian keilmuan yang benar pula. Wallahu a'lam bishawwab.
0 Comments: