Cerbung
Mata Bening, Part 23 (Bucat Bisul)
Penulis: Desi
Alifa begitu banyak mengenal tokoh-tokoh Islam dan paham dengan kisahnya. Jika Bening ditanya tentang mereka pasti gelagapan dalam menjawab. Jangankan paham, nama-nama yang tadi disebutkan oleh Alifa saja, baru dia dengar.
Lidahnya pasti akan lebih lancar menjawab jika ditanya drama Korea terbaru, drama terlaris di pasaran dengan segenap kisahnya. Begitupun dengan nama-nama pemerannya, akan fasih Bening sebutkan.
"Put, seragam kamu dijahit di mana?" tanya Bening sambil memakai kaos kaki di lantai sebelah kanan masjid sekolah. Mereka baru saja selesai melaksanakan salat Zuhur.
"Di ibunya temenku, Bu Mirna namanya, dia udah biasa nyambung baju potongan. Hasil jahitannya bagus, Ning," jawab Alifa.
"Aku mau dong seragamku dibikin gitu," ucapan Bening sontak membuat Alifa menengok.
"MasyaAllah, kamu yakin, Ning," tanya Alifa memastikan.
"Iya," jawab Bening dengan menganggukkan kepala.
"Besok ke rumahku bisa?" tanya Alifa.
"Tapi kamu pulang dulu. Nanti aku jemput aja pake motor, biar kamu engga capek," lanjut Alifa.
"Sekalian aku kenalin sama guruku sama temen-temen ngajiku juga," ucapan Alifa terus saja disambut anggukan kepala Bening.
"Kamu siapin mana aja baju yang mau dijahit. Nanti kita ke rumah Bu Mirna dulu baru ke guruku," antusias Alifa menyambut niat baik Bening.
"Rok panjang sama kaos panjang kamu juga itu bisa disambung, Ning. Pasti nanti kamu butuh untuk keluar rumah." Alifa memberi saran.
"Iya deh. Nanti aku bawa tiga pasang untuk ganti-ganti," ada rasa bahagia dalam hati Bening. Seolah menemukan sesuatu yang telah lama ia cari.
"Cepetan, Ning. Yang lain udah ke kelas," ucap Alifa.
Mereka berjalan menuju kelas untuk bersiap pulang. Sudah menjadi kebiasaan, mereka akan berjalan beriringan menuju tempat parkir, mengambil sepeda dan menuntunnya bersama sampai gerbang sekolah.
Mereka saling melambaikan tangan, menjalankan sepeda sesuai arah pulang mereka. Melaju semakin menjauh dari sekolah tempat mereka mencari ilmu. Tempat yang mempertemukan mereka berdua dan menjadi sahabat sejati meski memiliki kebiasaan yang berbeda.
Walau begitu, mereka sedang berusaha menyamakan kebiasaan untuk meraih pemikiran yang sama. Sesuai dengan pemahaman Islam agar sama-sama memiliki kepribadian Islam.
Tak terasa Bening telah sampai di depan rumahnya. Memasuki garasi sederhana untuk menyimpan sepedanya. Kemudian memasuki rumah, berganti baju dan makan siang.
Setelah beberapa menit, Bening keluar rumah dan memasuki rumah pamannya. Dia telah mantap tidak akan menunda-nunda lagi dan berpikiran jika tidak hari ini maka besok pun belum tentu.
"Assalamualaikum." Bening mengucap salam, tanpa menunggu jawaban, dia langsung masuk ke dalam.
"Waalaikum salam," suara Bibi Ois terdengar dari dapur.
Terlihat paman dan bibinya sedang makan siang. Tanpa menunggu aba-aba, Bening langsung duduk di sebelah pamannya. Bibi Ois nampak heran tapi ada rasa bahagia melihat Bening nampak ada niat baik.
"Makan sama apa, Mang," tanya Bening.
"Kamu bisa liat, 'kan, ini sayur apa?" pamannya justru bertanya balik dengan wajah tetap mengarah pada piring makanannya.
"Iya tau, itu sayur oyong sama bihun engga enak," ucap Bening melengos.
"Eeh, jangan bilang engga enak, ya. Cobain dulu," nampaknya Bibi Ois tidak terima masakannya dibilang tidak enak.
Bening tertawa dan berkata, "iya, deh. Masakan Bibi paling enak sedunia."
"Cocok," singkat pamannya menjawab sambil menyodorkan piring kosong kepada istrinya.
"Mang, maaf, ya. Aku udah keterlaluan sama Mamang," ucap Bening dengan dagu diletakkan di bahu dan tangannya melingkar di perut pamannya.
"Ini perut Mamang lagi kenyang jangan dipeluk-peluk," ujar pamannya sambil melepaskan tangan Bening.
"Mamang juga minta maaf, ya," ucapan pamannya begitu melegakan hati Bening, begitu pun dengan Bibi Ois yang menunggu moment seperti ini dari kemarin.
"Alhamdulillah, asa bucat bisul, Neng. Meuni ngemplong hate teh," ucap bibinya.
"Apa artinya, Bi." Bening sama sekali tidak mengerti bahasa bibinya yang berasal dari kota kembang. Sedangkan dirinya di besarkan di kota yang terkenal dengan penjara tengah laut.
"Asa bucat bisul itu artinya seperti pecah bisul. Kalo punya bisul terus pecah kan rasanya lega. Sama seperti liat kalian baikan rasanya lega banget," jelas bibinya.
"Ooh, begitu toh artinya," setelah bibinya menjelaskan Bening baru mengerti.
Kalbu Bening bersorak, akhirnya ia dapat menaklukkan kekakuan lidahnya. Serasa bagai terbebas dari ikatan yang membelenggu. Gunung es yang menghalangi dirinya dengan pamannya kini telah mencair.
Hatinya gerimis, mata mengharu biru. Dawai syukur tak henti bernada dalam dada. Begitu sangat melegakan, itu yang Bening rasakan. Tekadnya tak ingin lagi mengalami kegundahan sebab salah memilih ucap dan sikap.
Tak ingin lagi kata kotor terlontar. Begitupun sikap kasar jauh-jauh akan ia lempar. Sebab mendatangkan penyesalan, membuatnya ingin mengulang hari untuk menghapus bercak noda yang telah ia tumpahkan.
Bersambung
0 Comments: