Cerbung
Mata Bening, Part 24 (Menyambut Hidayah)
Penulis: Desi
"Kamu itu ponakan Mamang satu-satunya. Tapi kamu juga sama seperti anak Mamang" ucap pamannya setelah beberapa menit mereka bercanda.
"Mamang pengin jadi sosok Ayah yang baik, bukan cuma untuk Salman dan Safia tapi juga buat kamu," ucap pamannya lagi.
"Doain Aku, ya, Mang, Bi. Aku juga pengin jadi Anak yang baik dan Kakak yang bisa jadi teladan untuk Salman juga Safia," ujar Bening penuh kesungguhan.
"Iya, Neng. Kita saling mendoakan yang terbaik," ucap bibinya disambut anggukan kepala pamannya tanda setuju.
"Oiya, Aku ada niatan mau ngaji mempelajari ilmu Islam. Aku ingin bener-bener bisa hidup sesuai standar agama. Doain aku istikamah, ya."
"Alhamdulillah, Neng. Itu namanya hidayah," mata Bibi Ois nampak berbinar mendengar ucapan Bening.
"Sinyal hidayah itu sudah sering mampir di pikiran, tapi Aku abaikan. Sekarang Aku udah engga mau lagi nunda-nunda niat baik. InshaaAllah besok mau ketemu guru," ucap Bening mantap.
"Sama siapa, Neng. Harus jelas ngajinya sama kelompok apa. Jangan sampe ikut aliran sesat," ujar pamannya mewanti-wanti.
"Sekarang, 'kan, banyak tuh bermunculan aliran-aliran engga jelas," lanjut pamannya.
"Aliran sesat sih, yang kaya apa, Mang," tanya Bening.
"Ya, contohnya yang pernah diberitakan di TV itu loh. Katanya suruh bayar sama ustaznya sebagai penebus dosa. Makin banyak bayaran makin banyak dosa yang dihapus," ucapan pamannya benar-benar diperhatikan oleh Bening dan Bibi Ois juga, sekalipun sambil menjaga Safia tetapi telinganya fokus mendengarkan suaminya berbicara.
"Ada juga kelompok yang sampe merubah kalimat syahadat," lanjut pamannya.
"InsyaAllah sih, engga kaya gitu, Mang. Selama ini yang aku denger, pembahasannya, ya, lempeng dan baik," ujar Bening.
"Kalo iya bener, ya, Alhamdulillah. Mamang dukung kamu ngaji biar jadi anak yang sholehah," tangan pamannya mengacak rambut Bening.
"Kalo udah ngaji, ini kepala dikerudungin. Aurat, engga boleh diliat sama cowok yang bukan mahram," ucap pamannya mengingkatkan.
"Iih, bukan kalo udah ngaji, Mang. Tapi kalo udah balegh wajib menutup aurat dan bajunya itu harus terusan bukan yang potongan," ucap Bening mengimitasi kalimat Alifa.
"Iih, ponakanku udah pinter. Terus kenapa kamu belum menutup aurat. Kamu kan udah balegh," ledek pamannya.
"Bibi juga belum menutup aurat, baleghnya, 'kan, duluan Bibi Ois." Bening membalas ledekan pamannya.
"Bibi, jadi malu," ucap bibinya meringis.
"Iya, ternyata berjilbab itu bukan sekedar nutup aurat. Tapi ada aturannya, kerudungnya menutup dada, bajunya model gamis, engga boleh potongan, pake kaos kaki." Bening merasa saat ini, seperti menjadi duplikat Alifa.
"Terus gamisnya itu dipake di atas baju rumahan atau baju dalaman gamis, namanya mihnah. Jadi gamis itu baju luar kaya mantel," lancar Bening membahas tentang jilbab.
"Bener kaya gitu, Neng?" tanya bibinya yang merasa asing dengan pembahasan jilbab versi Bening.
"Iya, Bi. Jilbab itu bukan kerudung tapi gamis. Kalo kerudung itu khimar, terus gamisnya juga engga boleh pake bahan yang tipis nerawang, harus yang engga tembus pandang," mulut Bibi Ois melongo mendengar ucapan Bening.
"Terus kaki juga ternyata aurat, makanya dipakein kaos kaki. Perempuan itu hanya boleh terlihat ini dan ini, berati yang lain engga boleh keliatan," ucap Bening sambil menunjuk wajah dan telapak tangannya saat mengucap ini dan ini.
"Iya, itu ada haditsnya. Kewajiban menutup aurat juga ada di dalam Al-Qur'an," ucap pamannya di tengah asiknya obrolan Bening dan Bibi Ois.
"Lah, itu, Paman tau," suara Bening terucap agak keras.
"Iya, Paman tau."
"Kenapa engga ngasih tau kami, Mang," protes Bening.
"Mamang mikirnya ribet. Jadi biarin aja yang penting pake bajunya masih sopan. Terus liat orang-orang sekitar juga pake bajunya engga ada yang rapet banget," ujar pamannya mengeluarkan alasan tidak menyuruh keluarganya menutup aurat.
"Padahal, kalo Aku tau bab menutup aurat dari Paman, ya. Terus aku mengamalkan, itu jadi pahala jariyah untuk Paman," mulut Bening cemberut menyayangkan tindakan pamannya yang menahan ilmu sehingga tidak tersampaikan.
"Iya, deh, maaf. Nih, sebagai gantinya aku modalin kalian buat beli gamis," uang kertas seratus ribuan beberapa lembar dikeluarkan dari dompet pamannya.
"Ayah, kok, punya uang," tanya Bibi Ois yang nampak heran.
"Lah, ini, 'kan, uang yang mau buat beli perlengkapan," jawab pamannya.
"Kok, dikasihkan. Nanti buat belanja perlengkapan gimana?" suara Bibi Ois terdengar khawatir.
"Tenang, nanti ada lagi dari yang lain. Sudah sana siap-siap ke pasar. Aku mau lanjut kerja lagi."
"Beli buat Bening satu, buat Mamah satu. Kalo ada sisanya buat beli kaos kaki. Doain ada rezeki lagi, nanti aku kasih lagi buat beli gamis," ucap pamannya, kemudian berlalu dari hadapan Bening dan Bibi Ois.
"Mumpung masih jam 3, yuuk, kita siap-siap. Nanti mampir di kios ibumu. Kita bantuin ibumu nutup kios," ucap bibinya yang disetujui Bening.
"Bi, punya gamis yang kekecilan engga?" tanya Bening malu-malu.
"Kayaknya ada. Sebentar Bibi carikan," ucap bibinya sambil menyerahkan Safia dari gendongannya.
Bersambung
0 Comments: