Cerbung
Mata Bening, Part 27 (Tujuan Hidup Manusia)
Penulis: Desi
Ustazah Murniati memberikan materi dengan kalimat-kalimat yang membuat Bening terus berfikir. Tentang dari mana manusia berasal, untuk apa manusia ada di dunia ini dan akan kemana setelah mati.
Tiga pertanyaan mendasar itu belum pernah ada dalam bayangan Bening. Pantas saja selama ini sikapnya sering lepas kontrol, sebab ia tak tahu adanya tiga simpul besar yang harus ia urai.
Melalui lisan ustazah Murniati, jawaban benar dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat Bening ketahui. Bahwa manusia berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya.
Bening begitu detail mencerna kata demi kata yang diucapkan oleh Ustazah Murniati, ia tak ingin salah memaknai hidup. Muda usianya memang, tetapi ia sadar bahwa syarat mati tak harus tua. Ajal bisa datang sewaktu-waktu tanpa peduli si empunya nyawa telah bertaubat atau belum.
Malaikat maut akan datang tanpa kompromi. Tak akan bertanya terlebih dahulu apakah telah siap atau belum. Kesempatan hilang bila ruh telah terlepas dari badan.
Maka, hidup yang hanya sekali ini, tak ingin ia sia-siakan. Harapnya mampu berpikir benar sesuai petunjuk sahih, dari sumber yang akurat. Sehingga, mampu menghasilkan sebuah tindakan yang tepat.
Ia bersedia untuk ditempa dari tumpulnya kebodohan. Menyempatkan waktu sebagai kebutuhan. Mengurai hambatan agar ilmu dapat ia rengkuh dengan utuh.
"Untuk mengetahui tujuan kita hidup itu untuk apa, maka kita harus mengetahui dulu tujuan Allah menciptakan umat manusia untuk apa?" suara Ustazah Murniati terus berkelanjutan dengan sesekali memberi kesempatan yang hadir untuk bertanya.
"Kunci jawabannya ada di dalam surat Az-Zariyat ayat 56 yang artinya, aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku."
"Jadi, tujuan kita hidup di dunia ini untuk beribadah kepada Allah. Coba sebutkan amalan yang bernilai ibadah itu apa aja?" Ustazah Murniati melemparkan pertanyaan dengan jari menunjuk ke arah Bening.
"Salat, puasa, zakat, haji," pertanyaan dari Ustadzah mampu ia jawab.
"Apa lagi?" Ustadzah Murniati masih meminta Bening untuk menyebutkan yang lainnya. Wajah Bening nampak mencari-cari jawaban lainnya tetapi ia hanya mampu menggelengkan kepalanya.
Kemudian pandangan Ustazah Murniati beralih menatap Alifa. Memberi sinyal agar Alifa melengkapi jawaban Bening.
"Menutup aurat, menuntut ilmu, berbakti kepada kedua orang tua, sadaqah, menengok orang sakit, takziyah, memberi salam, mendoakan orang lain, tersenyum dan masih banyak lagi," jawaban Alifa membuat Bening melongo.
"Jadi, ibadah itu segala aktivitas sehari-hari yang Allah ridai. Lalu bagaimana caranya agar Allah rida?" Ustazah Murniati berhenti sejenak, tangannya meraih pegangan gelas dan meminum airnya beberapa tegukan.
"Yang pertama, ibadah itu harus sesuai syariat Allah dan yang kedua adalah ikhlas. Hal ini menjadi syarat diterimanya amal."
"Jika ibadah dilakukan dengan hati tidak ikhlas maka ibadahnya sia-sia. Dan apabila ikhlas tetapi tidak sesuai syariat, ibadahnya tidak diterima."
"Contohnya beribadah ikhlas tapi tidak sesuai dengan syariat itu yang seperti apa, Ust?" Bening memberanikan diri untuk bertanya.
"Baik, contoh sederhananya seperti ini, umpama kita ikhlas menjalankan salat Subuh, tetapi salatnya itu empat rakaat, kira-kira sesuai syariat tidak?" satu contoh dari Ustazah Murniati langsung membuat Bening paham.
Penjelasan demi penjelasan seakan menjadi puing-puing terbentuknya komitmen dengan sendirinya. Otaknya mengaitkan materi pada fakta yang dialaminya, kemudian memberikan sinyal untuk mengevaluasi diri.
Tak terasa waktu telah sampai pada batas akad. Kajian pun ditutup dengan membaca doa kafaratul majlis. Sejenak mereka bercengkrama setelah kajian selesai. Sedangkan Bening dan teman lainnya yang tidak berhalangan, meminta izin untuk salat Ashar terlebih dahulu sebelum pulang.
"Saya pamit undur diri. Assalamualaikum," ucap Alifa berpamitan sambil bersalaman dan diikuti oleh Bening.
Bening pulang dengan membawa oleh-oleh berupa ilmu yang ia ikat melalui tulisan. Ya, dia tidak melewatkan ilmu yang ia dengar. Baginya sangat sayang jika ilmu yang begitu berbobot hanya ia simpan dalam otaknya saja.
Dengan menuliskan materi yang ia dengar, maka ia bisa membaca ulang kapan pun untuk dipelajari kembali. Dia juga berniat untuk menyampaikan kembali kepada ibu dan bibinya.
"Mampir dulu, ya, Ning," ajak Alifa setelah mereka sampai di depan rumah Alifa.
"Tapi bentar, ya. Udah sore."
"Iya, ketemu sama ibuku dulu. Sama itu, aku pengin minjemin buku Sirah Nabawiyah, kamu mau engga?" Alifa menawarkan buku kesayangannya untuk dibaca Bening.
"Boleh, boleh," antusias Bening mendapat tawaran Alifa.
Setelah mengucap salam, Bening menyalami ibunya Alifa lalu naik ke lantai atas. Hanya selang beberapa menit mereka turun kembali.
"Aku pamit, ya, Bu. Udah jam 5," ucap Bening berpamitan dengan ibunya Alifa.
"MasyaAllah begitu nikmat mempelajari ilmu-Mu, ya, Allah. Terimakasih Engkau telah mempertemukan aku dengan Alifa," gumam Bening dalam perjalanan pulang.
"Beri aku kesabaran dalam menuntut ilmu dan istikamah kan aku, ya, Allah." Bening terus saja bergumam.
Deretan doa indah mengantri satu persatu keluar dari lisannya. Bejibun permohonan ia umbar berhamburan. Berharap Allah kabulkan setiap harapnya.
Lirih suara Bening kalah saing dengan deru mesin motornya. Senja yang mulai meredup jingga tak akan jadi penghalang kata-kata mutiaranya mengudara menembus cakrawala.
Bersambung
0 Comments: