Cerbung
Mata Bening, Part 28 (Akal vs Nafsu)
Penulis: Desi
"Alhamdulillah," ucap syukur Bening ketika sampai di halaman rumahnya.
"Assalamualaikum." Bening mengucap salam ketika membuka pintu. Terdengar jawaban salam ibunya dari arah dapur.
"Anak Ibu udah pulang," ucap Ibu Eli disambut senyum mengembang dari Bening.
Bening memeluk tubuh ibunya dari belakang yang sedang sibuk mencuci piring. Bahasa tubuhnya berbicara seolah menceritakan suasana hatinya yang sedang bahagia.
"Bagaimana tadi ngajinya?" tanya ibunya.
"Alhamdulillah berjalan lancar, Bu," jawab Bening seraya melepaskan pelukannya.
"Aku tulis poin-poin pentingnya, Bu. Buat belajar lagi."
"Boleh dong review sama Ibu," pinta ibunya ingin tahu sejauh mana anaknya menangkap materi dari kajian yang dihadirinya.
"Boleh," tangan Bening merogoh tasnya mengeluarkan buku catatan yang ia beri judul kajian Islam.
Memori dalam otaknya memutar kembali rekaman hasil kerja dari indranya. Lisannya mulai mengulang kembali apa yang ia dengar. Sesekali ia mengintip coretan dalam bukunya untuk membantu ingatannya.
Ibu Eli mendengarkan dengan seksama kalimat yang diucapkan Bening. Tangannya menyentuh serbet yang tergantung di antara alat dapur yang tertata rapi. Ia gosokkan pelan menyapu seluruh bagian telapak tangannya yang basah.
Ia ambil tiga gelas sedang, diambilnya gula dan teh kemudian ia seduh dengan air panas yang ia simpan di dalam termos. Dibawanya nampan berisi tiga gelas teh menuju meja makan, Bening mengikuti dan mereka duduk bersebelahan untuk melanjutkan obrolannya.
"Neng, udah pulang," sapa kakeknya yang baru keluar dari kamar mandi. Tangannya menarik kursi sedikit menjauh dari meja makan. Kemudian bergabung untuk menyeruput teh hitam buatan anaknya.
Bening tersenyum melihat kakeknya yang nampak sehat meski tubuhnya makin terlihat renta. Tiba-tiba ia teringat ketika merasakan begitu frustasi saat awal-awal ditinggal mati oleh ayahnya.
Dia sebenarnya mengakui jika ia tidak pernah kehilangan sosok ayah. Kasih sayang kakeknya tak kalah besar dari ayahnya. Petuah-petuah kebaikan pun sering ia dengar dari nasehat kakeknya.
Perhatian besar juga ia dapatkan dari pamannya. Hanya saja ia menolak takdir kematian ayahnya. Baginya terlalu sakit mengakui ayahnya telah tiada. Memelihara perasaan itu semua, ternyata membuatnya kesulitan mengendalikan emosinya.
"Lanjut, Neng," ucapan ibunya membuyarkan lamunan Bening.
"Lanjutannya, Ibu ikut ngaji aja, yuuk." Bening mengucapkan kalimat yang spontan terlintas di pikirannya. Sebenarnya itu hanya usaha untuk menghindari permintaan ibunya untuk melanjutkan review materi.
Tetapi ibunya justru tertarik mengikuti saran Bening dengan mengatakan, "Iya, deh. Nanti ibu bisa ke pasar agak siangan atau tutup lebih awal kalo ada jadwal ngaji."
"Neng bisa kenalin Ibu sama gurumu, 'kan!" ucap ibunya membuat mata Bening terbelalak. Kemudian Bening mengiyakan kemauan ibunya. Terlihat Mbah Uki yang mendengar obrolan anak dan cucunya itu tersenyum bahagia.
Bening mulai akrab dengan agenda kajian yang semakin bertambah. Bagaikan orang yang sangat kehausan, di mana ada air ia akan memburunya. Seteguk air yang akan menghilangkan dahaga, menyegarkan raga dan melegakan rasa.
Kakinya begitu ringan melangkah ke majlis ilmu. Penuh kesadaran menjalankan kewajiban. Ibu dan bibinya pun telah mengikuti jejaknya, bergabung dengan jamaah kajian Islam kaffah yang membahas Islam secara menyeluruh.
Dia begitu bersyukur tidak mendapat hambatan apa pun dari keluarganya. Dia tidak perlu mengalami hal-hal sulit seperti beberapa sahabatnya yang mendapat pertentangan dari keluarga juga tetangganya.
Namun, ada satu hal yang membuatnya sangat resah. Bening begitu kesulitan menghindar dari tontonan yang sudah lama ia gandrungi. Ia selalu kalah pada usahanya untuk memalingkan netranya dari wajah-wajah tampan dan cantik dari kepiawaiannya beradu akting.
Dia pernah berdoa memohon kepada Allah agar dihilangkan kecintaannya terhadap tontonan semacam itu. Tetapi saat malam tiba, seakan ada sesuatu yang menuntutnya untuk menonton, menghabiskan beribu episode lagi dan lagi.
Akalnya telah melarang agar penglihatannya tidak menghabiskan banyak waktu untuk sesuatu yang menambah panjang list dosanya. Akalnya pun mengajaknya berpikir untuk meninggalkan tontonan tidak mendidik itu dengan mengingatkan berbagai materi yang telah ia dapatkan.
Sekian purnama berlalu, tsaqofahnya pun terus bertambah. Tapi dia belum mampu menundukkan nafsunya yang tidak rela melepas Bening dari kecintaan terhadap drama korea yang begitu menggiurkan.
Hingga suatu hari, sebuah kalimat dari salah satu gurunya begitu menghujam dalam otaknya. Pada ceramahnya itu sang guru berkata, "Hijrah itu sepaket dengan ujian. Semua akan menemui ujiannya masing-masing."
Guru itu pun berkata, "Jangan katakan wahai Allah aku mempunyai masalah yang besar tapi katakanlah wahai masalah aku punya Allah Yang Maha Besar. Jangan minta diringankan masalah tetapi mintalah dikuatkan pundak kita untuk menaklukkan masalah."
Sebuah kesimpulan dari resah yang menggelayutinya telah ia dapatkan. Kini ia tahu harus berbuat apa, bukan dengan menunggu keajaiban Allah menghilangkan kecintaannya yang keliru.
Tapi membutuhkan usahanya yang lebih keras lagi agar dia benar-benar bisa lepas dari belenggu itu. Dengan mengucap bismillah dia bulatkan tekadnya untuk membuang semua poster, DVD, menghapus aplikasi tontonan dan segala yang berkaitan akan ia kubur dalam-dalam.
Ia berjanji pada dirinya sendiri akan sabar menahan bisikan yang mengajaknya untuk menikmati tontonan itu lagi. Dia pun memohon kepada Allah agar disibukkan pada aktivitas yang mendatangkan pahala untuk membantu usahanya menghapus kebiasaan buruknya itu.
"Alhamdulillah, terimakasih ya, Allah. Sudah sebulan aku berhasil engga nonton drakor sama sekali. Bantu aku terus agar candu itu benar-benar hilang, ya, Allah." Dengan usaha sungguh-sungguh Bening berhasil keluar dari belenggu nafsunya.
Bersambung
0 Comments: