Headlines
Loading...
Penulis: Desi

Setiap kali Bening ingin menonton, ia ambil buku Sirah Nabawiyah yang belum juga kelar ia baca. Ia tumbuhkan terus rasa suka untuk membaca. Ia berusaha membangun persepsi baik untuk mengalahkan ajakan nafsunya.

Ia akan munculkan visinya mengejar surga ketika sihir yang dibalut indah itu melambai. Ia segera mengambil wudu menghempaskan mantra-mantra yang terdengar mengasikkan menggantinya dengan alunan merdu ayat-ayat Al-Qur'an.

Menekan sekecil mungkin peluang yang akan menjerumuskannya ke dalam kemaksiatan. Tempat kembali manusia hanya dua, jika bukan surga pasti neraka. Surga menjadi impian tertinggi manusia, begitupun dengan Bening yang merindu surga.

Pahala menjadi tiket memasukinya. Melalui amalan-amalan andalan yang dikerjakan dengan ikhlas. Bersama jamaah, Bening berusaha memaksimalkan potensinya sebagai kontribusi membela agama Allah.

[Ralat. Karena ada suatu hal, kajian Ahad besok tidak jadi di rumah Mba Kurnia, ya. Jadinya di rumah Mba Alifa]

Bening membaca sebuah chat masuk dari grup kajiannya. Dan mengucap syukur akhirnya ada kajian yang diadakan di rumah Alifa. Mengingat sebelumnya, Alifa belum mengantongi izin ibunya untuk mengadakan kajian di rumahnya.

Ahad pagi, Bening, ibunya dan bibinya bersiap untuk berangkat ke rumah Alifa. Dengan izin Mbah Uki dan Mang Udin, mereka menuju tempat kajian. Ibu Eli membonceng Bibi Ois dan Bening membonceng Salman yang tiba-tiba ingin ikut.

"Assalamualaikum," mereka hampir bersamaan mengucap salam ketika sampai di pintu rumah Alifa. Rumah Alifa cukup besar sehingga mampu memuat banyak jamaah. Salon ibunya yang berada di samping dan menyatu dengan rumahnya itu ditutup.

Keluarga Bening bersalaman dengan jamaah yang telah hadir terlebih dahulu. Terlihat ibunya Alifa sibuk menyalami tamu yang baru datang. Wajahnya nampak ceria dibalut busana muslim merah marun.

"Put, keliatannya ibumu makin _welcome_" ucap Bening.

"Alhamdulillah, bantu doa ya, Ning. Mudah-mudahan ibuku juga bersedia ngaji kaya ibu dan bibimu."

"Iya, InsyaAllah Aku doain."

Semua mata tertuju pada moderator saat acara dibuka. Sang moderator pun memperkenalkan tiga ustazah yang akan menjawab pertanyaan dari sisi Islam.

Mba Rani sebagai moderator langsung mempersilahkan jamaah untuk bertanya. Tidak ada tema khusus yang diangkat karena itu merupakan forum _jalasah munah_.

Beberapa pertanyaan telah diajukan, kemudian Mba Rani mempersilahkan Ustazah Santi untuk menjawab. Semua telinga bersiap mendengarkan. Tiba-tiba Bening merasa familiar dengan wajah Ustazah Santi. 

"Kayaknya, kok. Aku pernah bertemu beliau, ya." Bening meraba ingatannya.

"MasyaAllah, itu kakaknya Fatih," ingatannya menemukan jika wajah itu milik Mba Santi kakaknya Fatih.

Wanita dengan wajah anak kuliahan itu sudah sangat fasih menyampaikan ilmu Islam. Dalam benak Bening merasa, Allah telah mengirim orang-orang baik disaat yang tepat. Pertemuan yang singkat tapi Bening mendapatkan ilmu yang sangat berharga.

"Mba Santi inget Aku?" tanya Bening saat kajian telah selesai.

"Siapa, ya." Mba Santi mengingat-ingat wajah Bening.

"Aku Bening temennya Fatih yang dulu ketemu di pasar malam," ucap Bening mengingatkan.

"Ooh, iya, inget. MasyaAllah kamu cantik banget. Udah lama ikut ngaji?" tanya Mba Santi.

"Baru hitungan bulan, Mba," jawab Bening.

"Maaf, Ning. Aku lupa engga ngasih tau kamu ada kakaknya Fatih juga di kajian kita. Fatih juga udah lama ngaji loh," jari Alifa menyapu pundak Bening seperti orang meledek.

"Emangnya kenapa kalo Fatih udah ngaji," tanya Bening heran. Alifa dan Mba Santi hanya tersenyum.

"Neng, hayuuk pulang," ajak ibunya yang ingin segera ke pasar.

Bening mengeluarkan motor dari deretan motor jamaah lainnya. Setelah berpamitan dan bersalaman dengan semua yang masih berada di rumah Alifa. Kemudian menuntun motornya keluar gerbang. 

Bening berhenti ketika melihat Fatih duduk di atas motor mengenakan kemeja kotak-kotak, Fatih menyapa dengan mengangkat tangan kanannya. Bening pun membalas dengan mengikuti gerakan Fatih. Motor Fatih berlalu saat Mba Santi naik di jok belakang motornya.

"Bening," sebuah suara berat yang sangat ia kenal memanggil namanya. Bening menoleh, sosok yang pernah Bening puja-puja berada tepat di hadapannya. Mata mereka beradu, seketika jantung Bening berdegup kencang.

"Eh, Kak Dirga." Bening segera mengalihkan pandangannya dan mencoba mengendalikan perasaannya. 

"Pamit, ya, Kak," ucap Bening segera melajukan motornya ketika Salman telah duduk di belakang kemudinya.

Bening tidak peduli meski Dirga terlihat akan mengucapkan sesuatu. Dia tidak mau lagi dirinya dikuasai oleh cinta yang salah. Dia selalu belajar untuk menjadikan aturan agama sebagai standar perbuatan.

Pacaran adalah pintu zina, sedangkan zina adalah perbuatan keji yang Allah murkai. Setelah Bening tahu ayat terkait zina ia telah bertekad untuk menjaga diri dari pacaran.

Dia bersyukur waktu itu cintanya hanya bertepuk sebelah tangan. Apa jadinya jika cintanya berbalas, mungkin dia tengah asik pacaran. Sakit yang sangat dulu rasakan kini menjadi sesuatu yang sangat ia syukuri. 

Bersambung

Baca juga:

0 Comments: