Headlines
Loading...
Penulis: Desi

Dua tahun berlalu, Bening telah melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Dia mengambil sekolah yang sama dengan Alifa. Sebuah sekolah di mana ada Dirga di sana. Tetapi bukan itu alasannya, karena sekolah itu adalah satu-satunya sekolah yang terdekat.

Yang terpenting baginya adalah jarak dan waktu tidak mengganggu gerak dakwahnya. Ya, kemana pun mereka melangkah akan berusaha mengamalkan amar makruf nahi mungkar.

Menyampaikan ilmu walaupun hanya satu ayat. Langkah kecilnya begitu mulia karena dibalik itu ada niat agung ingin mengembalikan pemahaman Islam pada umat Islam yang mengalami kemunduran sejak kepemimpinan Islam runtuh.

Banyaknya agenda diluar sekolah membuat mereka berdua semakin sering bertemu. Walaupun begitu, tetapi tidak pernah ada bosan diantara mereka. Justru semakin mempererat jalinan persahabatan.

Persahabatan mereka terjaga karena saling menyayangi karena Allah. Berbagi semangat dalam taat. Siap mengingatkan saat salah satu keliru. Melaju bersama dalam dakwah, berbagi potensi demi agama Allah.

"Ning, besok fix ini mau pake motor?" tanya Alifa memastikan.

"Iya, lah. Pake motor aja, Aku engga sanggup kalo naik bus. Apalagi jauh bisa mabok bolak-balik, Put."

"Ke pusat kota, Ning. Itu engga terlalu jauh. Cuma satu jam perjalanan." Alifa meyakinkan.

"Ya, udah. Kalo kamu mau naik bus engga apa-apa. Aku sendirian naik motor." ucap Bening sedikit kesal.

"Aku cuma khawatir aja, Ning. Kita, 'kan, belum punya SIM."

"Nanti kita tukeran boncengan aja sama yang udah punya SIM, gimana?" saran Bening yang disetujui Alifa.

Hari yang ditunggu akhirnya datang juga. Ahad pagi, semua  yang menggunakan motor berkumpul di rumah Bening. Mereka bersiap untuk menghadiri kajian maulid dengan tema "Kepemimpinan Islami Meraih Islam Kaffah"

Setelah berdoa bersama mereka segera bersiap berangkat. Mereka saling mengingatkan agar waspada dan hati-hati saat berkendara. Jalanan menuju kota sedang banyak yang berlubang. Masyarakat setempat pun menjulukinya dengan _jeglongan sewu_ karena saking banyaknya lubang.

Ibu dan bibinya Bening tidak bisa ikut karena ada kepentingan lain. Bening berboncengan dengan Mba Deni dan Alifa dibonceng Mba Risma. Rombongan pun berangkat berurutan. Bening berada di belakang, sesekali motor mereka saling salip. 

Tak terasa mereka telah sampai setengah perjalanan menuju tempat kajian. Motor yang dikendarai mba Deni tertinggal jauh dari rombongan. Bening menatap lurus ke depan sudah tidak terlihat rombongannya.

Mereka telah melewati jalan panjang yang penuh lubang. Sedangkan dirinya baru memasukinya. Tiba-tiba ada sebuah motor yang terjatuh di depannya. Dengan cekatan Mba Deni menghindari dengan mengambil jalan agak ke tepi.

"Allahu Akbar," sebuah suara kencang mengagetkan Mba Deni. Dengan segera Mba Deni menghentikan motornya. 

"Ya, Allah." Mba Deni terkejut ketika menoleh ke arah Bening. Tangan kiri Bening menutupi wajah bagian kirinya. Ada darah mengalir dari celah-celah jarinya.

"Kamu kenapa, Ning," tanya Mba Deni panik. Bening hanya mengucap nama Allah. 

Orang-orang pun segera mendekat dan memberi pertolongan pertama. Seorang bapak menawarkan tumpangan untuk membawa Bening ke rumah sakit terdekat. 

"Bu, saya nitip motor saya, ya," ucap Mba Deni pada pemilik rumah yang terdekat dari jalan raya.

Bening terus menutup wajah bagian kirinya. Perih terasa begitu menyayat tetapi dia tidak berani mengaduh. Dia teringat kisah sahabat Talhah r.a. yang ditegur Rasulullah saw ketika dia mengaduh saat jarinya putus. Kemudian Rasulullah mengingatkannya untuk mengucap bismillah bukan aduh.

Bening telah sampai di sebuah rumah sakit. Dokter langsung menanganinya. Sebelum masuk ke ruang IGD, Bening berpesan kepada Mba Deni untuk tidak memberitahukan kejadian ini kepada teman-temannya sampai acara maulid selesai.

Mba Deni menangis melihat wajah Bening yang terluka dengan tiga jahitan dan yang membuat Mba Deni semakin merasa bersalah adalah perban yang menutupi matanya. Apalagi wajah Bening mulai terlihat bengkak, hatinya semakin terasa sakit.

"Bagaimana kondisi teman saya, Dok," tanya Mba Deni pada dokter yang menangani Bening.

"Luka yang agak dalam di bawah matanya. Ini diperban karena ada luka sabetan sampe bagian kornea tapi lukanya hanya di bagian luar."

"Mudah-mudahan tidak mempengaruhi penglihatannya," ucap pak dokter seraya berpamitan meninggalkan ruangan.

Mba Deni memeluk Bening. Memohon maaf sudah membuat Bening terluka. Kemudian menanyakan apa yang terjadi sampai dia bisa seperti itu. Karena Mba Deni merasa tidak ada apa-apa tetapi Bening terluka.

"Mba, tadi liat ada pohon kaya rumput yang tinggi di pinggir jalan, 'kan. Ya, aku kena pohon itu," jelas Bening.

"Tapi kok, bisa sampe luka kaya gini?" Mba Deni masih merasa heran.

"Kerasanya kaya ada durinya, Mba," ucap Bening yang juga heran.

Obrolan mereka terhenti ketika sebuah panggilan masuk ke HP Bening. 

"Motor Mba Deni mogok, Put." Bening berbohong agar Alifa tidak khawatir.

"Ning, kenapa engga jujur aja?" 

"Hubungi keluargamu, Ning," atas saran Mba Deni akhirnya Bening menghubungi ibunya.

Setelah beberapa menit ibu dan pamannya sudah ada di hadapannya. Ibunya menangis melihat kondisi Bening. Wajah pamannya pun sangat sedih. 

"Jangan sedih, Aku engga apa-apa. Kalian yang sabar, ya, liat aku kaya gini. InsyaAllah aku juga sabar mendapat musibah ini." Bening menenangkan keluarganya.

Bening berusaha untuk ikhlas atas apa pun yang menimpa dirinya. Dia bersyukur diberi kejutan oleh Allah untuk langsung mempraktekkan ilmu qada qadar yang telah ia terima. 

Bahwa semua yang menimpanya diluar kendalinya adalah qada. Baik buruknya datang dari Allah, tugasnya hanya mengimaninya saja. Toh semua yang ada pada dirinya adalah titipan dari Allah. 

Semua milik Allah jadi kapan Allah akan mengambil titipannya itu menjadi hak prerogatif Allah. Jangankan ayahnya, bagian tubuhnya pun milik Allah.

Penglihatannya pun milik Allah, jika masih Allah pinjamkan, ia akan dedikasikan di jalan Allah. Seperti tekadnya yang ingin mewakafkan hidupnya untuk agama Allah. Demi tegaknya syariat Allah di bumi ini.

Jika ternyata Allah ambil, ikhlas itu telah ia persiapkan. Sebagaimana kisah Abu Sufyan yang telah Bening baca, beliau mengadu kepada Rasulullah saw bahwa matanya cidera di jalan Allah.

Dan lebih memilih surga ketika Rasulullah menawarkan akan mendoakan untuk kesembuhannya. Bening meneteskan air mata membayangkan peristiwa tersebut.

"Ya, Rasulullah. Andai engkau ada di sini menawarkan hal yang sama padaku. Maka aku pun akan memilih surga. Aku rindu wahai Rasul."

_End_

Baca juga:

0 Comments: