Headlines
Loading...
Migrasi TV Digital, Siapa yang Diuntungkan?

Migrasi TV Digital, Siapa yang Diuntungkan?


Oleh Ummu Faiha Hasna

Pemerintah lewat Kemenkominfo telah secara resmi menghentikan siaran TV analog pada Rabu (2/11/2022) pukul 24.00 WIB. Siaran TV analog kini beralih ke siaran TV Digital. Adapun Analog 'switch off' (ASO) berlaku di 222 titik, termasuk Jabodetabek, dan penerapannya dilakukan secara bertahap. Kendati demikian, masyarakat dapat menikmati siaran TV digital dengan menggunakan TV digital langsung ataupun memasang Set Top Box (STB) pada TV analog. STB merupakan alat pengkonversi sinyal digital yang menjadi gambar dan suara,  kemudian ditampilkan pada TV analog atau TV tabung. Penghentian siaran TV analog menjadi perbincangan di Twitter. Warganet pun mengingat kenangan masa kecil saat mereka menikmati TV Analog. Kebijakan ini menuai pro-kontra dari berbagai kalangan. Benarkah kebijakan ini untuk kemaslahatan rakyat? 

Kebijakan yang tidak berlaku secara nasional ini dinilai "double standard" (standar ganda). Hal ini ditegaskan MNC Group terkait pemadaman siaran televisi analog atau ASO. Diperkirakan 60% masyarakat tidak bisa lagi menikmati tayangan televisi secara analog di wilayah Jabodetabek, kecuali dengan membeli set up box,  mengganti televisi digital, atau berlangganan tv parabola.(Nasionalsindonews.com , Jum'at, 4/11/2022) 

Sementara itu, Menteri Kordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan 98 persen masyarakat Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) sudah siap beralih dari siaran televisi analog ke digital. Bagi masyarakat yang belum siap dengan penghentian siaran analog atau "analog switch off" (ASO), pihaknya telah menyiapkan posko-posko bantuan. (kalbar.antaranews.com, 4/11/2022)
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengatakan, TV analog memakan banyak spektrum frekuensi 700 MHz yang sesungguhnya bisa digunakan untuk menyelenggarakan teknologi 5G5. Menurut Ramli, apabila TV analog beralih ke digital, Indonesia akan memiliki frekuensi tersisa atau "dividen digital". Indonesia bisa mengalokasikan 112 MHz yang digunakan untuk keperluan lain. (cnnindonesia.com, 20/6/2022)

Tak bisa dipungkiri, perkembangan teknologi termasuk bidang telekomunikasi. Jika dahulu kita hanya berkutat dengan korespondensi (surat menyurat), kini dengan teknologi modern serba digital, semua akses informasi bisa diakses lebih cepat dan luas. Adanya perkembangan internet, TV digital, dan lain sebagainya menjadi bukti fisik perkembangan tersebut. Sayang, perkembangan teknologi saat ini tidak bisa dijangkau oleh seluruh masyarakat. 

Terkait transformasi TV digital, tidak semua masyarakat siap dengan perubahan ini.
Masyarakat belum siap migrasi ke TV Digital. Hal ini dikatakan langsung oleh Pengamat Ekonomi Digital dari "Institute for Development of Economics and Finance (Indef)" Nailul Huda. Beliau menilai, masyarakat belum siap menghentikan siaran TV analog atau "analog switch off" (ASO) dan bermigrasi ke TV digital. Ketidaksiapan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya faktor ekonomi. Untuk bermigrasi dari TV analog ke TV digital, sebagian masyarakat menengah ke bawah terpaksa harus membeli 'set up box', alat konferensi siaran TV digital. Jelas ini akan merogok kocek mereka semakin dalam. Apalagi, hampir semua sektor kebutuhan publik, termasuk telekomunikasi, juga menjadi bahan komersil.

Layanan telekomunikasi tidak murni disediakan oleh pemerintah tapi juga ada kendala industri . Efisiensi  frekuensi akan menguntungkan korporasi telekomunikasi . Pengamat Ekonomi Indef Nailul Huda, menilai bahwa migrasi ini juga bisa menguntungkan dari sisi pengembangan telekomunikasi  dari 4 G ke 5G,  meski hanya terbatas di daerah tertentu. Karena vita frekuensi bisa dipakai industri telekomunikasi.
Alhasil, di balik gemerlap kecanggihan teknologi digital, akan ada masyarakat yang tidak bisa 'melek' teknologi dan tetap harus berkutat dengan hidup berteknologi manual. Atau beban hidup mereka semakin bertambah ketika ingin  mendapatkan layanan tersebut. Inilah atmosfer kehidupan dalam Kapitalisme. Pemilik teknologi adalah yang mempunyai modal besar. Mayoritas dari mereka adalah swasta. Karena yang penting bagi Kapitalisme, teknologi itu komoditas ekonomi. Orang harus mengeluarkan sejumlah uang untuk dapat menikmati teknologi. Akibatnya,  lambat laun, manusia malah dianggap tidak mempunyai fungsi gegara mereka 'gagap teknologi' (gaptek).

Perbedaan kondisinya jauh sekali bila dibandingkan dengan sistem Islam. Islam memandang, teknologi adalah instrumen kehidupan. Semakin luas teknologi, semestinya berbanding lurus dengan semakin luasnya penyediaan lapangan pekerjaan dan pengelolaan kehidupan yang membaik. 
Kondisi demikianlah yang akan diciptakan oleh Khil4f4h. Sebab, Khil4f4h adalah pelayan (ra'ain) bagi warga negaranya, termasuk urusan kebutuhan telekomunikasi.
Dalam sistem Islam, kebutuhan tersebut merupakan salah satu jenis infrastruktur. Lebih detail,  Syekh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya "Sistem Keuangan Negara Islam" menjelaskan, sarana pelayanan pos, surat menyurat, telepon, kiriman kilat, telegram, sarana televisi, pelantara satelit, dan lain-lain merupakan salah satu jenis infrastruktur milik negara yang disebut dengan "maraafiq". "Maraafiq" adalah  bentuk jamak dari "murfaq", yaitu seluruh sarana yang dimanfaatkan untuk pedesaan provinsi maupun yang dibuat oleh negara  selama sarana tersebut bermanfaat  dan dapat membantu.

"Maraafiq 'ammah" ialah seluruh sarana umum yang disediakan negara yang dimanfaatkan oleh  seluruh penjuru lapisan masyarakat.
Maka, pengembangan TV analog digital dan efisiensi pengguna frekuensi semata-mata akan dikembangkan ntuk memudahkan masyarakat dalam  mengakses informasi. Pengembangan ini akan dibiayai oleh negara. Dananya berasal dari Baitulmal, pos kepemilikan negara. Sumber pos kepemilikan negara berasal dari harta usyur, kharaj, ghonimah, jizyah, dan lain sebagainya.

Dengan adanya tanggung jawab penuh dari negara dalam menyediakan layanan publik telekomunikasi, masyarakat siap dengan berbagai transformasi  teknologi. Apalagi telekomunikasi sebagai salah satu perangkat media akan menjadi perhatian. Maka, efisiensi yang disinyalir mempercepat perkembangan internet  akan digunakan untuk kepentingan media. Sebab, media dalam pemerintahan Islam memiliki peran strategis dalam melayani ideologi Islam.
Media dalam Islam juga akan berfungsi untuk menyebarkan Islam, baik dalam suasana perang maupun damai, untuk menunjukkan keagungan ideologi Islam, sekaligus untuk membongkar kebobrokan ideologi kufur buatan manusia. Dengannya, kewibawaan sistem Islam akan semakin tampak di kancah politik internasional. Sedangkan di dalam negeri,  media digunakan sebagai sarana untuk membangun masyarakat Islam yang kokoh, yakni memberikan edukasi kepada umat dengan tsaqafah Islam, berita keseharian, ilmu sains dan teknologi, informasi politik Islam hingga informasi politik dalam dan luar negeri.

Wallahu a'lam.

Baca juga:

0 Comments: