OPINI
Multaqa Ulama Al-Qur’an Nusantara, Moderasi Menjadi Sasaran Utama
Oleh Deny Rahma
Komunitas Setajam Pena
Indonesia adalah negara dengan jumlah umat muslim terbanyak di dunia. Tak heran, banyak ulama yang lahir di negeri ini. Namun banyaknya ulama tak menjamin bahwa negeri ini akan terhindar dari polemik perbedaan pandangan, pendapat bahkan sikap terhadap Islam itu sendiri. Mungkin dari sinilah pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) menggelar Multaqa Ulama Al-Qur’an Nusantara. Acara ini adalah ajang pertemuan untuk para ulama yang dilangsungkan di Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta pada 15-17 November 2022.
Acara tersebut menghadrikan beberapa tokoh penting, antara lain KH. Bahauddin Nursalim (Gus Baha), Said Agil Husain Al-Munawar dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Prof Dr. M. Quraish Shihab. Adapun nara sumber lain terdiri dari berbagai latar belakang. Direktur PD Pondok Pesantren yakni Waryono menerangkan bahwa,
“Mereka bukan hanya teoretisi Al-Qur’an, tetapi juga praktisi yang sehari-hari bersama para santri mengajarkan sekaligus mempraktikkan Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.” Mereka yang datang berasal dari berbagai daerah, antara lain: Makasar, Bogor, Sumedang, Jombang, dan Pati. Ini mencerminkan bahwa Multaqa Ulama Al-Qur’an itu memang dihadiri para ulama dari berbagai daerah di nusantara." (kemenag.go.id, 17/11/2022)
Acara tersebut mengangkat tema “Pesan Wasathiyah Ulama Al-Qur’an Nusantara”, yang kemudian melahirkan enam rekomendasi. Pertama, pemerintah Indonesia khususnya Kemenag perlu terus memberikan perhatian penuh kepada upaya peningkatan pelayanan, pengawasan dan evaluasi pendidikan Al-Qur’an mulai dari sisi bacaan, hafalan, beserta implementasinya di masyarakat.
Kedua, di tengah heterogenitas kehidupan masyarakat Indonesia, perlu diarusutamakan wasathiyah sebagai metode berpikir, bersikap dan beraktivitas sehari-hari. Sehingga terwujudlah keberagamaan yang moderat, toleran, ramah dan rahmah di tengah kebinekaan Indonesia.
Ketiga, melihat antusiasme masyarakat dalam belajar dan mendirikan lembaga pendidikan Al-Qur’an, Kemenag khususnya Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren perlu segera menindaklanjuti usulan revisi peraturan pemerintah No. 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan yang salah satunya mengatur tentang penjenjangan Pendidikan Al-Qur’an mulai tingkat dasar hingga tinggi.
Keempat, Desain Kurikulum pendidikan Al-Qur’an perlu disusun secara berjenjang dan berkesinambungan dengan memuat materi terkhusus ilmu-ilmu Al-Qur’an ditambah dengan wawasan kebangsaan, keagamaan dan isu global dengan bingkai wasathiyah Islam.
Kelima, perlunya lembaga-lembaga pendidikan Al-Qur’an memerhatikan ketersambungan sanad, baik dari sisi bacaan, pemahaman maupun pengamalan. Kemenag perlu memfasilitasi proses dokumentasi dan pencatatan jalur sanad keilmuan ulama Al-Qur’an di Indonesia.
Keenam, menghimbau kepada masyarakat khususnya orang tua, pendidik dan pengelola lembaga pendidikan Al-Qur’an untuk menanamkan ajaran Al-Qur’an secara komprehensif, mendalam dan moderat sehingga dapat menjadi petunjuk dan rahmat bagi umat, bangsa dan semesta.
Dari hasil Multaqa tersebut, maka sesungguhnya umat berharap agar hasil Multaqa akan memberikan pengaruh positif terhadap kehidupan umat, melalui penerapan Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang diterapkan, yang akan mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Namun, harapan ini sangat tipis jika mengingat saat ini justru moderasi beragama berasal dan diaruskan oleh negara. Bahkan kegiatan yang dilaksanakan oleh para ulama di Multaqa ini mengusung moderasi beragama bagi umat Islam di negeri ini. Maka, apakah Islam yang sejatinya adalah agama yang benar dan berasal dari Allah Swt. akan digantikan dengan modernisasi aturan sesuai dengan perkembangan zaman?
Apakah Allah rida dengan tindakan yang dilakukan manusia, khususnya oleh mereka, para ulama yang notabene adalah wali Allah dan para ahli ilmu. Hal tersebut hanya bisa terjadi karena negeri ini adalah negeri yang menganut sistem kapitalisme. Asas kapitalisme adalah sekularisme, yang memisahkan aturan agama dari kehidupan.
Akibatnya, Islam tidak digunakan sebagai sumber hukum. Yang dijadikan sebagai sumber hukum adalah kebijakan manusia. Segala sesuatunya, tak terkecuali aturan Allah, dapat dirundingkan dan dipesan sesuai kebutuhan. Bahkan ulama yang terkenal alim pun jika terjebak dalam jeratan dunia pasti akan 'khilaf' juga. Rasulullah telah menegaskan dalam sabdanya, bahwa ulama tersebut tak akan merasakan bau surga.
“Siapa yang mempelajari satu cabang ilmu yang seharusnya untuk mencari rida Allah, tetapi dia gunakan untuk meraup kenikmatan duniawi maka dia tidak akan merasakan bau surga di hari Kiamat.” (HR. An-Nasa’i dari Abu Hurairah)
Jika saja Islam yang menjadi aturan dalam berkehidupan, akan lain ceritanya. Karena hanya dengan aturan Islam, negara akan menjadi pengontrol bagi aturan-aturan yang akan dikeluarkan.
Hanya dengan aturan Islam dalam bingkai negara khil4f4h,
- Multaqa ini akan memberi dampak positif terhadap kehidupan, membangun masyarakat yang makin bertakwa dan membawa rahmat bagi sesama
- Multaqa ini akan menjadikan ulama berada di garda terdepan dalam penegakan syariat Islam secara kafah, dan tidak enggan dalam mengkritisi kebijakan penguasa yang zalim.
Wallahu a'lam bishawwab.
0 Comments: