Headlines
Loading...
Oleh. Raty S Leman

Nikmat sekali rasanya Rara bisa setiap saat salat berjemaah di Masjidil Haram. Selalu ada kerinduan untuk menuju ke sana walau kaki masih terasa pegal-pegal, tidak enak badan  dan hidung meler terus karena flu.  Banyak jamaah yang batuk, pilek, serta masuk angin, tapi semua itu dikalahkan oleh semangat berburu pahala, memperoleh ampunan dan rida Allah.

Betul juga apa yang pernah dikatakan pembimbing manasik, "Di Makkah yg tidak batuk cuma onta ha..ha...ha...". Guyonan ini muncul karena hampir semua  terserang batuk dan pilek.  Kalau tidak batuk berarti temannya onta. Haha ....

Salat di Masjidil Haram begitu menyenangkan. Bacaan imam terdengar sangat merdu, indah, jernih, dan menyayat hati. Sempurna sekali. Imam sering tersedu-sedu hingga menangis pertanda paham apa yang dibaca. 

Tiba-tiba terdengar "uhuk..huk..huk" di seberang sana, "uhuk..huk..huk" di seberang sini dan "uhuk...huk...huk" di seberang lainnya. Ramai suara batuk bersahut-sahutan.  Usai salat, seorang ibu berkomentar, "Begitu salat kok ya pada batuk ya? kayak kontes kodok ngorek".

Pada awalnya, alhamdulillah Rara tidak terserang flu.  Tapi begitu jemaah memenuhi jalan-jalan dan Masjidil Haram, akhirnya banyak yang batuk. Tentu saja banyak virus beterbangan ke mana-mana. Ada sekitar 5 hari suara Rara serak dan akhirnya hilang tidak bisa keluar sama sekali. Benar-benar jadi tarzan kalau bicara, karena tak ada suara dari pita suara. Kalau berkomunikasi memakai bahasa isyarat atau bahasa tubuh. Haha ....

Tapi itulah ajaibnya.  Badan pegal-pegal dan masuk angin tak dihiraukan.  Serasa ada magnet yg menarik diri untuk selalu datang salat berjamaah di Masjidil Haram dan selalu berusaha bisa di depan Kabah.  Entahlah, ada perasaan bahagia yg tidak bisa diceritakan dengan kata-kata. Bahagia sekali bila menatap Kabah seolah-olah serasa terbang bagai di surga. Begitulah rasanya, susah sih menguraikannya dengan keterbatasan kosakata.

Menurut tafsir Al Qur'an, surga adalah tempat yang diliputi oleh suasana tenang dan damai, keindahannya tidak bisa dilukiskan, tidak terbayangkan oleh mata. Nah itulah yg terjadi, hati 'nyes', tenang, tentram, damai saat-saat menatap Baitullah. Ya, begitulah bagai di surga itu tadi. Mungkin terdengar berlebihan tapi sungguh tak bosan-bosannya Rara menatap Baitullah. Setiap ada kesempatan, ia gunakan untuk menatapnya, memandanginya, penuh rasa. Rasanya ia tak ingin beranjak dari sana.

Kegiatan ibadah di Baitullah saat ini dirasakan sebagai sebaik-baik aktivitas hidup. Alhamdulillah semata-mata atas izinNya, Rara memperoleh rasa kedekatan itu. 

"Syukran, terima kasih Yaa Allah. Biarlah kubawa terus rasa bahagia ini,  biarlah kubawa pulang rasa selalu ingin dekat dengan Mu. Izinkanlah kutebar rasa damai pada saudara-saudaraku. Izinkanlah hidupku berkah setelah pulang dari rumah-Mu. Izinkanlah Yaa Allah," pinta Rara.

Pada saat-saat awal menatap Baitullah, yang ada hanya rasa kagum, takjub dan syukur.  Yang meluncur dari mulut dan yang berdetak dalam hati hanyalah istighfar, syahadat, sholawat,  tasbih, tahmid dan takbir. Lupa dengan doa-doa yang sudah Rara kumpulkan untuk diadukan pada-Nya. Pada saat ingat,  Rara merasa malu mengucapkannya.  Rasanya semua nikmat sudah Allah curahkan padanya.  Kurang apa lagi?  Bacaan Qur'an surat Ar Rahman tergiang-ngiang mengepung telinga menggetarkan hati, " Nikmat Tuhan yg mana lagi yg hendak kamu dustakan?" bisik Rara.

Aduh, rasanya malu ya Allah. Hanya Engkau Yang Maha Besar.  Hanya Engkau yang harusnya aku ingat, hanya Engkau bukan yang lain.  Bukan masalah-masalah hidup yang ruwet. Masalah-masalah dan hajat-hajat Rara yang selama ini dianggap problem besar dan sangat serius adalah masalah kecil. Sangat-sangat ringan untuk Kau atasi. Bagi Mu hal itu amatlah mudah. "Hai masalah, aku punya Rabb Yang Maha Besar" pekik Rara.

Setelah beberapa hari mengunjungi Baitullah, baru bisa mengadu pada Allah. " Yaa Allah, sudah terlanjur ditulis ini doa-doa. Banyak doa titipan dari teman-teman dan saudara." Rara pun mulai berdoa.  Berdoa berganti-ganti di tempat-tempat mustajab. Di depan Multazam, hijr Ismail, di bawah talang emas,  maqam Ibrahim, di rukun yamani dan di dekat hajar aswad.

Ketika menunggu waktu shalat selain membaca Qur'an, berdzikir, berdoa dan menatap Kabah disertai merenung, bertafakur dan bertadabur. Subhanallah, yang datang ke ruma- Mu ini kulihat hanya orang-orang biasa yang Kau kehendaki.  Kalau menuruti kehendakku sendiri,  tentunya aku ingin ketemu orang-orang terkenal yang biasa menghiasi media massa. Tapi tidak, Kau kehendaki aku bertemu dengan orang-orang biasa, yang barangkali lebih Kau cintai karena kesederhanaan dan kerendahhatian mereka. Kudengar mereka datang seperti halnya diriku yg hina dina ini. Semata-mata membawa dosa, memohon ampun dan ingin meminta ridlo Mu. Rara berkontemplasi. 

Ada juga pemandangan menarik setiap ke Masjidil Haram. Terlihat baju, kerudung, sarung, penutup kepala yang beraneka ragam mode dan warnanya. Subhanallah, indah sekali. Bermacam-macam mode dan warna tapi dengan satu prinsip yaitu menutup aurat secara sempurna  memenuhi perintah Qur'an surat An Nur 31 dan Al Ahzab 59. Indah sekali,  kaya akan kreativitas mode perlengkapan ibadahnya.

Kalau ada wanita pakai mukena dapat ditebak itu kira-kira dari Indonesia. Tapi jangan salah kira hanya orang Indonesia saja yang shalat memakai mukena putih. Saudara-saudara kita dari Malaysia, Singapura, Thailand dan Birma memakainya juga. Pernah suatu kali di samping Rara ada seorang jamaah diajak ngomong melayu, eh dia tak tau katanya dari Thailand, bahasa yang dipakainya pun membuat Rara bingung tidak paham. Subhanallah, manusia diciptakan  berbangsa-bangsa,  bersuku-suku, bermacam bahasa digunakan, bukan untuk bermusuhan. Bukan, justru agar 'lita'aarafuu' (saling mengenal). Yang mulia di antaramu adalah yang paling bertakwa.

Wanita-wanita India dan  Pakistan memakai baju dan kerudung kain sari.  Wanita India shalat tanpa penutup kaki dan rambutnya keluar kerudung. Wanita Turki bergamis lurus dengan belahan samping dan pada jubahnya terdapat topi seperti mantel. "Wah, jadi pengen coba pakai madam. Habis, modis betul sih!" gurau Rara

Kaum laki-laki Indonesia berpeci hitam atau berkopiah putih. Pria Afganistan dan India bertopi melingkar seperti sorban. Laki-laki Turki bertopi khas Abu Nawas dengan cenil di atasnya.  Pokoknya macam-macam deh model penutup kepalanya.

Kalau diingat-ingat di Indonesia saja penutup kepala para ulama bermacam-macam.  Ada kopiah, peci, sorban, blangkon.  Bagaikan kontes topi' saja di Masjidil Haram ini.  Rara kagum akan improvisasi dan kreativitas dalam rangka ketaatan menjalankan syariat. Al Qur'an  menerangkan secara umum saja. Ayat-ayat-Nya mengilhami ragam budaya manusia. Al Qur'an surat Al Hujurat 13 menusuk-nusuk kepala Rara untuk berpikir.

Alangkah nikmatnya salat di Masjidil Haram, tapi alangkah banyaknya juga alasan untuk tidak menuju ke sana padahal tujuan semula datang ke tanah suci adalah untuk beribadah. Kata Abinya Rara, "Kerjaan kita di sini cuma STMJ tapi bukan Susu Telor Madu Jahe, melainkan Sholat Tidur Makan Jalan lagi ke Masjidil Haram" kata beliau sambil tertawa. Ya sungguh sayang apabila biaya, waktu, tenaga yang telah dikorbankan akhirnya hanya diisi dengan kesibukan makan, tidur-tiduran, ngobrol 'ngalor-ngidul' di maktab. 

Nikmatnya shalat di Masjidil Haram, siapa yang bisa melukiskannya? Tak terkira, Allahu Akbar. Janji-Mu adalah benar, Ya Allah. Janji-Mu benar adanya, batin Rara.

Baca juga:

0 Comments: