Headlines
Loading...

Oleh Ipah Nurlaela Sari, S.H.

Pemberian gelar Doktor Honoris Causa (Dr. HC) atau gelar kehormatan di salah satu kampus ternama menuai protes dari kalangan mahasiswa. 

Dikutip dari TEMPO.co, Sabtu, 22 Oktober 2022 sejumlah mahasiswa mendatangi Auditorium Universitas Negeri Semarang (UNNES) ketika berlangsungnya upacara pemberian gelar Doktor Honoris Causa (Dr. HC) atau gelar kehormatan kepada Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. 

Hal ini bukanlah yang pertama kalinya dilakukan oleh Universitas Negeri Semarang (UNNES), bahkan beberapa perguruan tinggi lainnya pun pernah melakukan hal yang sama. Pemberian gelar tersebut dilakukan tanpa melalui mekanisme yang jelas dan tidak adanya kontribusi yang nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan negara. Fenomena ini seolah menggambarkan hilangnya integritas sebuah perguruan tinggi sebagai pilar lembaga ilmu pengetahuan yang melahirkan para ahli ilmu yang mengabdikan ilmunya untuk masyarakat dan negara. 

Perguruan tinggi hari ini seperti tersandera oleh politik balas budi. Terlebih beberapa tahun ke belakang, pemilihan rektor di perguruan tinggi ditentukan oleh presiden secara langsung. Hal ini membuat hubungan relasi kuasa antara pemerintah dan perguruan tinggi. Seharusnya perguruan tinggi menjadi pihak yang menyeimbangi gerak pemerintahan, bukan berjabat tangan untuk mempermudah berbagai kepentingan kelompok atau perorangan, apalagi untuk melanggengkan kekuasaan.

Dalam Islam, integritas dalam hal apa pun sangatlah dijunjung tinggi terlebih dalam sebuah jabatan atau pemberian gelar, karena itu semua merupakan amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Di masa kekhilafahan dahulu semua pejabat negara, ulama, dan ahli ilmu tidaklah saling berebut mendapatkan gelar atau jabatan. Bahkan bisa saja gelar atau jabatan itu dicopot ketika mereka yang diamanahi itu melanggar hukum syariat. Dengan seperti itu para ulama di masa kekhilafahan dahulu sangatlah banyak membuat karya karena mereka begitu amanah terhadap ilmu yang mereka miliki. 

Begitu pun pada masa kekhilafahan Abasiyah yang dipimpin oleh Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad Al-Mansur yang memilih untuk mengalokasikan dana negara yang besar untuk penerjemahan buku-buku astronomi karya Yunani untuk kepentingan kaum muslimin. Begitulah seharusnya negara mendukung, karena hanya karyalah yang menjadi ukuran sumbangsih nyata ilmuwan terhadap kehidupan.

Wallahualam bissawab.

Baca juga:

0 Comments: