Headlines
Loading...

Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor


Kasus 'bullying' makin menjadi. Belum lama ini, video tentang perundungan siswa SMP Plus Baiturrahman, Kecamatan Ujung Berung, Kota Bandung, ramai di media sosial. Dalam video, digambarkan seorang siswa tengah duduk memakai helm, ditendang terus-menerus oleh siswa lainnya. Sementara siswa lain ada yang membantu, ada yang tertawa, bahkan ada yang merekam adegan "horor" tersebut. Hingga akhirnya siswa yang ditendang tersungkur di lantai dan pingsan. (detiknews.com, 19/11/2022)

Kepala sekolah SMP Plus Baiturrahman, Saefullah Abdul Muthalib, mengungkapkan peristiwa itu terjadi pada Kamis, 17/11/2022 lalu saat pergantian jam pelajaran. Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung, Hikmat Ginanjar, mengungkapkan bahwa pihak Disdik telah memberikan teguran kepada pihak SMP terkait kasus tersebut. Hikmat pun menjelaskan bahwa pihak Disdik berfokus pada pendampingan psikologis terhadap korban 'bullying'. (kompas.com, 19/11/2022)

'Bullying' (perundungan) ini tak hanya satu atau dua kali terjadi. Tapi terus terjadi dan belum ada titik temu solusi. 

Tak hanya 'bullying', kekerasan lain pun sering terjadi. Salah satunya, sikap pelajar yang memprihatinkan saat terekam menendang seorang nenek di jalanan. Sementara, teman-temannya yang lain  tertawa terbahak-bahak bersama. Ironis. Saat label "pelajar" dikenakan oleh mereka. Namun, perilakunya tidak  terpelajar.

Mirisnya, segala bentuk kekerasan ini juga terjadi di lembaga pendidikan berbasis Islam, seperti pondok pesantren. Masih ingat tentang kekerasan yang dilakukan senior, di salah satu pondok pesantren terkemuka di tanah air? Kekerasan itu akhirnya menewaskan sang korban, yang notabene, adik kelasnya sendiri. Sungguh fakta yang memilukan. 

Perundungan dan kekerasan yang dilakukan pelajar kian memprihatinkan. Hal ini terus terjadi di berbagai daerah. Kasusnya tak kunjung berakhir.  Masalah ini terus berputar, bak lingkaran setan. Implikasinya, ada yang salah dalam pola asuh keluarga dan sistem pendidikan yang kini diterapkan. Fatalnya, dinas pendidikan selalu "menyudahi" segala kasus kekerasan dengan asas kekeluargaan. Padahal tindakan kekerasan pasti menimbulkan trauma mendalam bagi korban. Pindah sekolah atau melaporkan kejadian kekerasan tak dapat menjadi solusi tuntas yang meredakan berbagai kasus yang ada.

Segala bentuk kekerasan yang ada merupakan produk sistem sekuler. Sistem ini rusak, tapi  saat ini masih menjadi pijakan kehidupan, hingga menjadikan moral individu itu hilang. Mereka tak lagi peduli aturan agama dalam kehidupan. Bahkan  kekerasan sudah dianggap kewajaran, yang diwarnai tawa dan canda. 

Menilik fakta ini, pasti ada yang salah dalam sistem pendidikan keluarga dan negara. Masalah kekerasan bukanlah masalah yang sederhana melainkan masalah sistemik yang membutuhkan solusi sistematis. Kehidupan yang kian sekuler dan liberal menjadi biang keladi segala bentuk kekerasan yang terjadi. Jadi kita tak bisa  semata-mata menyalahkan sebagian pihak saja; pelaku, atau mungkin lembaga sekolah terkait. 

Pelajar atau santri tak hanya berinteraksi dengan sesamanya. Mereka juga berinteraksi juga dengan komunitas di luar sekolah, yang berpikir dan berbuat liberal (bebas). Mirisnya, segala sesuatu yang diperbuat di luar sekolah jauh lebih bebas. Ketika berinteraksi di luar, mereka merasa tak perlu  terikat pada aturan sekolah atau pondok pesantren. Akhirnya, perilaku mereka lebih brutal dan liar. Segala perilaku yang ditiru dari luar lingkungan sekolah, mereka bawa ke sekolah. Hal itu mereka anggap sebagai sesuatu yang biasa. Inilah awal dari kerusakan.

Ditambah lagi, begitu banyak konten unfaedah, yang mengotori dunia digital, dan  sangat mudah ditengok siapa pun. Pelajar yang masih terbilang labil ikut-ikutan "konten" yang dikatakan "kekinian". Miris. Nahasnya, yang menjadi viral dan kekinian  adalah konten-konten kekerasan yang kini sering dicontoh. Inilah yang ditiru para pelajar. Tanpa rasa bersalah, mereka melakukan kekerasan, kemudian merekamnya dan menyebarkannya. Perbuatan demikian termasuk dari bagian 'mental illness', penyakit psikis yang berbahaya bagi perkembangan generasi.

Buruknya wajah pendidikan negeri ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi kita semua. Kita tak bisa menyelesaikan semua masalah ini dengan perdamaian. Perdamaian atau  kekeluargaan yang dianggap menyelesaikan. Namun, pintu penyelesaian ini adalah solusi semu yang akan memantik masalah kekerasan lain. Setiap korban kekerasan biasanya berakhir dengan dendam, bisa dengan melampiaskan kekerasan serupa pada temannya yang lain. Kemudian berujung pada lingkaran kekerasan yang tak pernah selesai. 

Bayangkan saja, bagaimana nasib generasi mendatang, jika generasi kini terlalu sibuk dengan perbuatan kekerasan dan segala dampak yang ditimbulkannya. Selayaknya, generasi muda menjadi ujung tombak perubahan menuju kebangkitan umat yang wajib diperjuangkan. 

Sementara, fungsi negara yang seharusnya menjadi tempat bersandar dan berlindung, minim peran dalam mengendalikan berbagai kasus kekerasan. Alhasil, keluarga dan lembaga pendidikan ikut 'oleng'. Mereka tak tahu harus kepada siapa mengadu.

Syariat Islam menegaskan bahwa  kekerasan adalah bentuk perbuatan zalim yang dilarang. 

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim."
(QS. Al-Hujurat : 11)

Untuk menindak tegas segala bentuk kekerasan, wajib ada fungsi negara di dalamnya. Negara memiliki kekuatan untuk membentuk regulasi, aturan yang mengatur hukuman terhadap tindakan kekerasan. Hukuman yang bisa menimbulkan efek jera bagi para pelaku. 

Islam-lah satu-satunya sistem yang dapat menjaga generasi dari setiap bentuk kekerasan.  Akidah Islam menjadi fondasi pendidikan. Akidah Islam yang menjadi nadi utama pendidikan untuk membentuk kepribadian Islam, mampu meminimalkan segala bentuk kekerasan yang terjadi. Proses berpikir dan bersikap senatiasa dikembalikan kepada syariat Islam. 

Dalam sistem Islam, negara menerapkan sanksi sesuai syariat Islam, yang berfungsi sebagai 'jawabir' (penebus) dan 'jawazir' (pencegah). Dengan penerapan sanksi tegas, setiap orang tak bisa sembarangan melakukan kekerasan. Mereka akan berpikir ulang tentang risiko sanksi yang akan mereka terima. 

Islam mengutamakan sikap saling menyayangi. Baik dalam lingkungan keluarga, lembaga pendidikan, maupun kehidupan bermasyarakat. Dalam bingkai syariat Islam kafah yang diterapkan secara sempurna oleh institusi yang 'sahih', hidup akan menjadi terarah dan penuh berkah.  

Wallahu a'lam bishawwab.

Baca juga:

0 Comments: