Headlines
Loading...

Oleh Ratih Fn

Riuh lalu-lalang mikrolet, kopaja, bus kota, juga bus trans Jakarta, memadati jalanan kota metropolitan. Tepatnya di Jalan Raya Otista, arah ke Terminal Kampung Melayu. 

Sang surya tersenyum ceria menebarkan cahayanya, menghangatkan jiwa-jiwa yang gersang, akibat terjebak dalam  rutinitas yang sama di ibukota. 

Fariha keluar dari kamar kos-nya, berjalan menuju jembatan penyeberangan. Ia hendak berangkat kerja ke kantornya di daerah Pancoran. Bahagianya pagi ini hatinya, mengingat hari ini tanggal 24 (itu artinya esok pagi), Fariha akan menerima gaji bulanannya. 

Kejadiannya pas sekali, di saat uang di dompetnya sudah berteriak-teriak minta diisi. Karena uangnya memang tinggal selembar-lembarnya. Lima puluh ribu rupiah, itupun ia letakkan di dompet recehnya, bersama beberapa uang receh lima ratusan dan seribuan lainnya.

Fariha harus mengeluarkan ongkos sekitar Rp 5.000,- untuk sampai ke kantornya. Rp 2.000,- untuk naik mikrolet sampai Terminal Kampung Melayu, dan Rp 3.000,- untuk ongkos bus kopaja dari Kampung Melayu ke Jl. Dr. Suprapto, Pancoran. Kopaja pagi ini lumayan penuh, Fariha tadi duduk agak berdesakan di dalam angkutan. 

Alhamdulillah, setelah sekitar 45 menit bergumul dengan kepadatan angkutan umum ibukota, akhirnya Fariha sampai juga di kantornya.

"Assalamualaikum, bestie-bestie," Fariha menyapa penuh semangat kepada beberapa teman yang sudah lebih dulu sampai.

"Wa'alaikumussalam, hai, Fariha. Cerah ceria banget yaa menjelang gajian?" 

"Iya lah, alhamdulilah. Kamu pun juga sama, kan, Lan?" 

"Iya lah. He he he," Wulan menampakkan deretan gigi putihnya. 

"Allahu Akbar Allahu Akbar..." Kumandang azan terdengar dari masjid terdekat dengan kantor.

"Alhamdulillah, azan juga. Maksi dulu, yuuk, Fariha, Wulan, udah laper banget aku." Desi tampak beranjak dari kursi kerjanya, mendekat ke meja Fariha dan Wulan yang memang bersebelahan. 

"Kalian duluan, aku insya Allah shaum. Tapi jika tak merepotkan, bolehkah aku titip air mineral botol? Untuk persiapan nanti sore, jadi aku enggak perlu mampir beli, saat perjalanan pulang nanti." 

"Oke, bolehlah." 

Fariha merogoh tasnya, mencari benda berbentuk tabung tipis, yang biasa ia gunakan untuk menyimpan uang receh. Namun, setelah beberapa menit lamanya, tak kunjung ditemukannya.

"Lama, iiih, udah uangnya nanti aja gampang, aku beliin dulu." 

"Oke, makasih Wulan." 

Fariha masih penasaran, ia bongkar seisi tasnya, dan ternyata memang dompet receh yang ia cari tak ia jumpai di tasnya. 

"Inna lilaahi, masak aku kecopetan? Astaghfirullah... " Lirih Fariha bergumam.

"Kenapa, Fariha? Kamu enggak keluar makan?" Mbak Wita, supervisor Fariha, seperti membaca raut muka cemas Fariha.

"Enggak, Mbak, aku insya Allah shaum. Aku mau ke musala dulu ya, Mbak." 

Fariha berusaha menenangkan hati dan pikirannya dengan menyegerakan salat dhuhur. Usai salat, ia merasa hatinya lebih tenang. Fariha masih bersyukur karena dompet yang berisi kartu-kartu pentingnya, tidak ikut hilang. Itu artinya, dia hanya perlu menahan diri sampai besok pagi, ia juga ingat di kamar kos-nya masih ada sebotol besar air mineral dan sepotong roti tawar, insya Allah cukup untuk mengganjal perutnya sampai besok pagi. 

"Fariha, ini air mineralnya."

"Makasih, Wulan. Tapi, maaf banget, aku utang dulu ya ini air mineral. Dompet recehku hilang, kayaknya tadi pagi aku kecopetan di kopaja."

"Inna lilaahi, terus gimana nanti kamu pulang sama makan malamnya?" 

"Ini di kantong depan tasku masih ada Rp 5.000,- buat ongkos pulang. Dan di kamar kos-an masih ada makanan buat buka puasa, insya Allah cukup."

"Bener? Kalo enggak ada, bilang aja, Far. Aku masih ada lima puluh nich, bisa kita bagi dua." 

"Yaa Allah, makasih, Wulan. Tapi insya Allah cukup, kok." 

Tak terasa jam pulang pun tiba. Di saat Fariha hendak keluar kantor, Mbak Ana, supervisor di divisi sebelah, mengajaknya pulang bersama. Kebetulan rumah mereka memang searah. Saat di kopaja, Mbak Ana membayarkan ongkos Fariha.  Mbak Ana memang selalu begitu. Menurutnya, dia sudah seperti kakak bagi tim di bawahnya, jadi sudah sepantasnya jika ia  membayarkan ongkos angkot. 

Mereka sama-sama turun di Terminal Kampung Melayu.  Hanya saja, Mbak Ana lanjut naik mikrolet arah Pulo Gadung. Sedangkan Fariha naik mikrolet arah Cawang. 

"Fariha, aku pengen makan bubur ayam dulu, deh. Kita makan bubur ayam dulu, ya. Di Terminal Kampung Melayu nanti, kamu mau kan temenin aku makan? Aku yang traktir kamu, Oke?" 

Tak habis rasa syukur Fariha panjatkan. Ia hanya bisa berucap terima kasih, dan berdoa dalam hati semoga Allah membalas kebaikan Mbak Ana dengan kebaikan yang lebih banyak. 

Azan Maghrib berkumandang, mengiringi semangkuk bubur ayam yang tersaji di tangan Fariha senja itu. 

"Alhamdulillah ala kulli hal, bubur ayamnya enak banget, ya, Mbak," Senyum Fariha terkembang sempurna. Semakin yakinlah dia akan jaminan rezeki dari Allah bagi setiap makhluk-Nya. Butiran air mata hangat perlahan meleleh di pipinya. Ia menyeka air mata syukurnya.

The End

Cilacap, 21 November 2022

Baca juga:

0 Comments: