OPINI
Sistem Kesehatan Rapuh, Butuh Solusi Menyeluruh
Oleh. Ramsa
Kesehatan merupakan pilar penting bagi suatu negara. Jika pengaturan kesehatan buruk, tentu akan ada banyak dampak negatif yang mengiringinya. Sebut saja penyakit yang tak kunjung teratasi dan lemahnya sumber daya manusia jadi muaranya. Negara yang besar akan menaruh perhatian besar bagi sistem kesehatan di negerinya.
Negeri ini belum keluar dari virus yang sudah merenggut jutaan jiwa, menyisakan nestapa yang dalam. Belum tuntas urusan virus Covid-19, beberapa waktu lalu tiba-tiba terjadi serangan gagal ginjal akut pada anak-anak. Kematian penderita disebabkan penggunaan sirup yang terkontaminasi EG. Peristiwa ini menelan korban jiwa yang cukup banyak. Dari dua peristiwa ini saja sudah memunculkan tanda tanya 'ada apa dengan sistem kesehatan di negeri ini'. Bagaimana peran serius negara sebagai pengayom rakyat?
Sistem Kesehatan Rapuh Buah Liberalisasi Kesehatan
Kesehatan merupakan hajat hidup orang banyak. Kesehatan merupakan hak setiap warga negara. Artinya jika ini adalah hak rakyat, maka kewajiban negara adalah melayani urusan kesehatan rakyatnya. Dengan kata lain, jika ada rakyat sakit, mereka akan datang ke fasilitas kesehatan dengan pelayanan terbaik dan harga murah. Atau l setidaknya minim biaya. Idealnya demikian. Namun, faktanya jauh panggang dari api.
Banyak kasus pasien pulang tanpa penanganan karena tak mempunyai uang untuk "membeli" pelayanan kesehatan. Bahkan, tak jarang pasien pulang dalam keadaan tak bernyawa, pulang tinggal nama lantaran rumitnya sistem pelayanan kesehatan di negeri tercinta. Banyak kisah terangkai soal pelayanan yang sulit didapatkan disebabkan masalah dana alias keuangan.
Inilah sekelumit cerita buruknya sistem kesehatan di negara yang menjadikan kesehatan sebagai bagian dari mencari untung semata. Nyawa rakyat urusan belakang. Yang penting uang dulu, baru pelayanan. Hal ini merupakan cermin penerapan sistem pelayanan kesehatan berbasis kapitalis. Harus ada profit alias kejar untung. Nyawa urusan belakang.
Sebagai negara berkembang, Indonesia tentu akan berusaha mencari cara agar bisa memperbaiki sistem kesehatan. Harus diakui, pemerintah kita berupaya meningkatkan pelayanan kesehatan. Salah satunya adalah dengan mencari dana, baik dana dari negeri sendiri maupun dari negara donor. Sehingga ketika ada kesempatan untuk mendapatkan dana dari pendonor, ini akan menjadi santapan enak, siap diamankan. Walaupun harus dengan menambah utang negara. Adanya 'pandemic fund' pun disambut dengan riang hati.
'Pandemic fund' diresmikan oleh Presiden Joko Widodo, Ahad siang, 13 November 2022. Sejauh ini, dana yang terkumpul sejumlah US$ 1,4 miliar atau setara dengan Rp 21,7 triliun. (Tempo, 13/11/2022)
Dana yang sangat besar untuk melayani kesehatan suatu negara.
'Pandemic fund' merupakan dana cadangan untuk menyelesaikan pandemi di suatu negara, terutama negara berkembang. Tatkala dana kesehatan diambil dari utang, resikonya pelayanan akan berbasis tingkat ekonomi. Maksudnya jika ekonomi tinggi,i maka pelayanan maksimal bisa diraih. Jika ekonomi rakyat sebagai pasien sulit, tentu pelayanan prima juga sulit diraih. Tak heran muncul ungkapan "orang miskin dilarang sakit". Inilah ironi di negeri kaya.
Pelayanan Kesehatan Berkualitas Prima Wujud Ketaatan
Sungguh siapapun mendambakan pelayanan kesehatan terbaik. Pelayanan yang tidak berbasis strata sosial ataupun tingkat ekonomi. Tidak ribet dan berbelit-belit. Pelayanan kesehatan dengan memandang manusia sebagai rakyat yang wajib dilayani. Tanpa membedakan agama dan ras. Pelayanan setulus hati sebagai bentuk ketaatan.
Tentu dana yang dibutuhkan banyak. Karena pelayanan terbaik juga membutuhkan fasiltas, sarana dan prasarana penunjang. Dokter spesialis, alat-alat canggih dan tempat yang nyaman. Dana kesehatan dalam Islam diambil dari dana kemaslahatan umum. Sumbernya bisa dari hasil pengelolaan sumber daya alam yang melimpah. Jika dana itu tidak mencukupi, maka bisa digalakan wakaf untuk kesehatan.
Sistem kesehatan Islam meniscayakan pelayanan kesehatan prima dan tanpa biaya. Sebagai contoh, ada salah seorang pejabat negara Islam bernama Saifuddin Qalawun penguasa di zaman Khilafah Abbasiyah yang mewakafkan hartanya untuk memenuhi biaya tahunan rumah sakit. Yaitu rumah sakit al Manshur sebuah rumah sakit di Kairo pada tahun 1284 M.
Wakaf beliau bisa menggaji karyawan dan semua keperluan rumah sakit. Dana yang diwakafkan mencapai 600.000 dirham. Dana ini bisa membantu operasional rumah sakit agar berjalan optimal. Selain ketersediaan obat-obatan dan pelayanan yang menyenangkan, juga ditunjang oleh adanya petugas khusus yang mengujungi rumah sakit untuk memberikan motivasi dan 'mental recovery' (pemulihan mental). Kesehatan fisik dan mental berjalan berbarengan. Ditambah lagi adanya dana khusus bagi pasien yang memang tak mampu. Ketika pulang, pasien tersebut akan diberikan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hal ini memberikan gambaran bagaimana Islam menyelesaikan masalah kesehatan secara menyeluruh dari hulu sampai hilir. Dana yang disiapkan besar. Semuanya ditanggung negara, atau bisa dari wakaf individu, tidak berbasis utang. Dengan konsep ini, pelayanan kesehatan dalam Islam mampu mewujudkan kesehatan prima yang melahirkan sumber daya manusia berkualitas. Semua dijalankan karena ketaatan pada Allah Swt. skaligus karena takut berbuat maksiat pada Allah. Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam QS. Al An'am: 15,
"Katakanlah: "Sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar (hari kiamat), jika aku mendurhakai Tuhanku."
Wallahu a'lam.
0 Comments: