Headlines
Loading...
Oleh. Ratih FN

Andara memarkir motornya, di depan sebuah rumah bercat biru tua, yang sebagiannya sudah mulai memudar hingga tampak biru muda saat ini. Rumah yang berlokasi di pemukiman padat penduduk, Jatinegara, Jakarta Timur, itu tampak sudah mulai usang di bagian-bagian atapnya. Meski dibandingkan rumah di sekitarnya, masih termasuk diantara rumah yang bagus. 

"Mampir dulu, Dara." Safia menawarkan kepada Andara untuk mampir ke rumahnya. 

Entah karena alasan apa, Andara mengiyakan tawaran Safia. Ada rasa penasaran yang menyusup di benak Andara. Terutama rasa ingin tahunya tentang hubungan Safia dan Alvaro, "Ada apa sebenarnya, diantara mereka berdua?" Pertanyaan yang sedari tadi dia simpan dalam hati. 

"Assalamualaikum, Maaah, Safia pulang. Masuk, Ra!" Safia mengucap salam dan mempersilahkan Andara masuk ke rumahnya. 

Interior rumah yang cukup membuat Andara terpana. Tak menyangka dibalik kesan rumah yang tampak mulai lapuk dari luar, ternyata di dalamnya tertata dengan gaya minimalis dan elegan. 

Lantai bersih mengkilap, dengan dua sofa minimalis warna hitam yang menghiasi ruang tamu. Meja kecil juga berwarna hitam disudut antara dua sofa, dengan vas bunga desember warna biru. Sebuah buffet dua sisi, menjadi sekat antara ruang tamu dan ruang tengah. Berbagai ornamen dan souvenir dari beragam daerah di pelosok negeri, tertata dengan rapi. 

"Duduk dulu ya, Ra. Aku masuk sebentar, mau minum apa kamu, Ra?" 

"Apa aja, Saf. Tapi, kalo ada yang dingin-dingin, air putih dingin pun boleh." Tampak gigi putih Andara berderet-deret saat ia melempar senyum menjawab pertanyaan Safia. 

"Oke, tunggu ya." 

Andara mengangguk dan Safia berlalu ke dalam rumah. Perhatian Andara tertuju pada deretan rak buku di ruang tengah, yang tampak jelas dari ruang tamu, karena sekat diantaranya buffet dua sisi. Dalam hati Andara bergumam sendiri, "Pantas saja Safia cerdas sekali, ternyata dia kutu buku." 

"Maaf ya, Ra, menunggu agak lama. Tadi diminta bantu mamah bentar di dapur. Diminum, Ra, sambil dicicipin, nich, takoyaki buatan mamah." 

"Ya, Saf, makasih. Jadi ngrepotin kamu ma mamah kamu, Saf." 

"Enggak kok, mamah seneng kalo ada temenku yang main ke rumah. Btw, kamu enggak buru-buru kan, Ra?"

"Nggak, memangnya kenapa, Saf?"

"Ehmm... Aku sebenarnya enggak enak mau cerita, Ra, secara kita kan baru kenal. Tapi aku juga bingung mau cerita ke siapa lagi." 

"Jadi, Saf, kamu mau cerita apa?"

"Assalamualaikum." Belum selesai Andara berbicara, suara salam terdengar dari luar rumah Safia. 

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh," Safia dan Andara menjawab hampir bersamaan.

"Alvaro, Saf?" Andara memastikan jika pendengarannya tak salah mengenali suara laki-laki yang barusan datang itu. 

"Iya," Safia menjawab singkat sembari beranjak dari duduknya dan berjalan ke dalam rumah.

"Laah, Saf?" 

"Bentar, Ra. Kamu jangan keluar ya, biar mamah aja yang nemuin Alvaro."

Tak lama berselang seorang wanita paruh baya, dengan gamis hitam polos dan kerudung krem lebar, muncul dari sebuah kamar. Tersenyum penuh kelembutan sembari menyapa Andara. 

"Assalamualaikum, Andara ya? Maaf ya, Tante baru keluar. Lagi tanggung di belakang tadi, jadi sekalian mandi. Dienakin aja ya, Dara, Tante keluar nemuin Alvaro sebentar." 

"Wa'alaikumussalam, iya, Tante." Jawab Andara singkat.

"Sebenarnya, tadi saat aku ke dalam, Alvaro kirim chat, intinya dia mau ke rumah sore ini." 

"Serius, Saf? Dia tahu nomor kamu? Maaf nich, Safia. Kalo boleh tahu, sebenarnya ada hubungan apa antara kamu dan Alvaro?"

"Kami satu SMU dulu, Ra. Waktu itu aku belum berhijab seperti sekarang ini, aku masih suka nongkrong-nongkrong enggak jelas sama temen-temen SMU-ku." 

Safia sejenak terdiam, sebelum melanjutkan ceritanya. 

"Dan... Dulu kami sempat dekat, jadi dia tahu rumahku dan untuk nomor ponselku, aku juga enggak ngerti dari mana dia dapat nomor baruku."  

"Trus, maksudnya kamu minta aku nemenin untuk nemuin dia, kalo nanti dia datang, gitu?" 

"Ya, kurang lebih begitu. Soalnya, dirumah cuma ada aku dan mamah. Ortuku sudah lama berpisah, Ra. Jadi kami cuma tinggal berdua sejak aku duduk di bangku kelas VIII. Tapi, tadi kata mamah, biar mamah aja yang nemuin Alvaro di depan."

"Ooh, maaf, Saf. Kalo aku membuka luka lama kamu." Andara jadi merasa berempati dengan kondisi Safia. 

"Tak apa, Ra, terkait masalah ortuku, aku sudah baik-baik saja kok sekarang." Senyum manis Safia kembali tersungging, menampakkan dua lesung pipinya, yang semakin menambah manis senyumannya. 

"Pantas saja kalo Alvaro tergila-gila sama Safia," batin Andara berbisik lirih. 

"Tapi, Saf. Jadi Alvaro itu sampai sekarang masih ngejar-ngejar kamu?"

"Begitulah, Ra. Sudah berbagai cara aku menolak dia, dari cara yang paling halus sampai yang paling ketus. Tapi enggak mempan, tambeng banget itu anak!" 

Raut muka Safia tampak sekali menunjukkan  kekesalan hatinya. 

"Laaaah...?! Lagian kenapa ditolak? Dia kan ganteng, tajir, dah kayak artis aja dia di kampus, aku sama Mega aja, heran kenapa anak seperti Alvaro kuliah di kampus kita. Haha." 

"Yaa Allah, Ra, dia itu ngajaknya pacaran. Ya aku enggak mau lah, lagian aku juga belum sikap nikah. Ilmuku kurasa belum cukup untuk mengarungi mahligai rumah tangga. Apalagi, aku punya sedikit trauma terkait berumah tangga." 

"Lagian kita baru 20 tahun, masak mikirin nikah sich, Saf? Enggak apa-apa kali pacaran dulu, sambil mempersiapkan diri satu sama lain. Yang penting kan, enggak berbuat macam-macam." 

Andara menanggapi dengan santai, ia belum paham bahwa dalam Islam pacaran itu dilarang. 

"Astaghfirullah, Dara Dara... Mana ada pacaran yang enggak macem-macem. Pastilah nanti setan berbisik untuk macem-macem. Lagian ya, Ra, dalam AlQur'an juga sudah jelas diperintahkan, bahwa kita disuruh menjauhi zina. Dan pacaran itu salah satu pintu zina."

"Hemm... Begitu kah?" Andara manggut-manggut dengan raut yang masih ragu. 

"Makanya, kita harus belajar Islam lebih dalam, Ra. Karena Islam bukan hanya tentang syahadat, salat, puasa, dzakat dan haji."

Safia sejenak diam, "Islam itu juga tentang bagaimana mana cara kita berpakaian, apa yang kita makan dan minum, bagaimana kita harus bersikap kepada orangtua, teman, kepada lawan jenis, bahkan bagaimana kita bermu'amalah atau bertransaksi, semua ada aturannya dalam Islam." 

Tak bisa terelakkan, Andara terkesima dengan penjelasan singkat Safia. Keningnya berkerut, menunjukkan ada kebingungan atau tanda tanya dalam benaknya. 

"Ngomong-ngomong, mamah kamu cantik banget, Saf. Mirip banget ya sama kamu?" 

"Masyaallah kamu bisa aja, Dara. Iyaa lah cantik, kan perempuan. Kalo laki-laki lhaa, ganteng, hehe." 

Mereka terkekeh berdua. Ada rasa nyaman mengobrol dengan Safia. Padahal mereka baru kenal kemarin, rasanya sudah lama bersahabat. Senyum ramah dan sapaan lembut Safia selalu membuat Andara ingin berlama-lama berbincang dengannya. 

Padahal kemarin saat pertama bertemu, seperti ada rasa iri dalam hati. "Siapa sich mahasiswi ini? Kok semua dosen tersenyum ramah saat dia menyapa dan tiba-tiba masuk ruangan ujian, dengan waktu yang singkat bisa menyelesaikan soal."

Perbincangan Andara dan Safia sore ini, semakin membuat Andara penasaran dengan sosok sahabat barunya ini, Safia Qatrunnada. 

Bersambung...

Cilacap, 19 Oktober 2022

Baca juga:

0 Comments: